Aku telah merasakan sebuah kesepian yang menggila, saat Tuhan menawarkan segala keindahan yang kuanggap utopis, saat rintik hujan berbicara pada serat bumi hanyalah ilusi di ekuilibrumku dan saat ketakpastian rasa menjadi sebuah hal yang menjadi konsumsi rutin jiwaku. Aku berfantasi dengan kehidupan yang kurasa hanyalah sebuah permainan kosmologi pikiran. Skeptis akan adanya rindu, sayang, cinta dan bahkan skeptis akan adanya diriku. Sementara rintik hujan, lembayung senja, dan goresan pelangi dan bahkan dirimu seakan menawarkan sebuah gambaran Gestalt yang menampilkan dua buah nuansa berbeda dan bahkan sangat berbeda. Sebuah gambaran yang tak bisa dipisahkan dan hanya bisa dipilah dari dua persfektif berbeda, bukan dengan paradigma berbeda. Aku terlalu lama terdiam dalam keangkuhan onani berpikirku, tak ada gunanya semua reason mu, penjelasanmu, tau mungkin juga alibi dan apologimu saat kebenaran dalam pikirku hanyalah aku sendiri (aku adalah kebenaran). Ego menjadi pembatas antara kewajaran nalar, perasaan dan kebenaran absolut. Tapi apakah ada sebuah kebenaran yang absolut selain dari katakbenaran itu sendiri? Aku tak tahu. Sama tak tahunya diriku dengan kesejatian dan keberterimaan sebuah cinta.
Aku dulunya meyakini bahwa kesejatian sebuah cinta ketika ada keberterimaan dua insan. Keberterimaan itupun kuanggap sebagai pernyataan rindu, sayang dan cinta yang terucap tanpa tedeng aling-aling dan tanpa intervensi dari segala ruang. Haruskah keberterimaan tersebut menjadi prasyarat untuk saling mencinta, bukankah kata hanya menjadi jembatan penyampai rasa. Kenapa mesti yang esensi harus terlupkan hanya karena metode? Gila!!!! Aku mungkin telah beranjak gila. Kegilaan yang hanya kunikmati sendiri dalam lumpur badai ketakwarasan syarafku.
Pengakuan tanpa tendensi dan mencintai tanpa alasan itukah cinta? jangan kau tanyakan itu padaku. Aku hanyalah pengelana rasa yang mencoba menyelami setiap desir darah, setiap denyut nadi, dan setiap keringat dari pori-pori kulitmu saat aku mendekap erat tubuhmu dengan rasa yang akupun tak tahu itu. Pengakuan bagiku dulu pernah menjadi penting, sangat penting dan bahkan menjadi yang utama dari sebuah hubungan. Namun, saat itu kumiliki aku merasa tidak mencintai engkau yang dulu. Sosok yang dulunya menjadi oase di tengah kehausan cintaku, gelap dalam silau dan jenuhnya mataku terhadap sinar, atau bahkan tongkat yang menopangku saat ku akan terjatuh. Aku mendapatimu dalam sosok yang lain, aku seakan bermain dengan boneka tanah liat yang kubentuk sendiri, bonek yang dapat kujamah sesukaku dan kuciumi setiap lekuk yang kuinginkan. Ah, ini bukan yang kuinginkan, aku tak ingin mencintai boneka atau bahkan mencintai wanita bebal tak bernyawa.
Ah, aku berada dalam kebimbangan!!! Jangan bertanya lagi dan akupun tak akan meminta lagi!!!