Rabu, 18 September 2013

Chara

Hmmm, hampir setahun yah semenjak awal pertemuan itu. Tapi tahu tidak sebenarnya aku telah mengenal namamu jauh sebelum pertemuan pertama kita saat itu. Namamu pernah menjadi perbincangan hangat bahkan menjadi buah bibir para pengangum atau mungkin lebih tepatnya secret admirer nya kamu. Aku sih tak terlalu peduli, toh aku belum mengenal kamu. Toh akupun belum pernah bertemu denganmu. Aku sebenarnya telah lupa pertemuan pertama kita, tapi yang kuingat kita pertama bertemu di sebuah meja bundar dimana saat itu kita dan beberapa yang lain menaruh sebuah harapan besar bahwa kita akan tetap saling menjaga dan saling menguatkan.

Tuhan selalu punya skenario lain dibalik script-script kehidupan yang telah kita susun. Hanya keyakinan saja bahwa Tuhan adalah sutradara yang paling hebat. aku pun tak menyangka bahwa ternyata catatan tentang hujanlah yang kembali bisa membawa keakraban diantara kita. Kita telah banyak berbincang tentang hujan, telah banyak berbincang tentang bencinya kita pada hujan, tentang cerita-cerita yang akhirnya melahirkan sebuah kenagan bersama hujan, dan tentang metafora-metafora kita tentang hujan.

Malam ini sebenarnya aku tak ingin membincang tentang hujan, aku hanya ingin bercerita tentang mata sendumu. Hahaha, lucu juga yah kalau mamamu bilang kalau matamu itu adalah mata selalu ngantuk. Iya juga mungkin yah, kan kamu suka begadang. Hehehe :P #Peace yah. Eh, kok aku jadi membincang tentang itu padahal masih banyak topik yang bisa kita bincangkan bersama. Wah gaya menulisku pun sudah sangat berubah gara-gara membincang tentang itu, aku sudah ikut-ikutan menjadi Geje. Hahaha. Yah sudahlah.

Malam ini aku hanya ingin menulis, meski tak tahu apa yang saya ingin tulis pokoknya aku hanya ingin menulis. Mungkin tentang kamu, tentang hujan, tentang harapan, tentang kepo, dan semua yang terlintas dalam lintasan pikirku.

Ah sudahlah, aku tak mau terlalu banyak berpersefsi tentangmu yang kau tahu sekarang kau adalah Ms. Chara yang melantunkan melodi indah, :)

Minggu, 25 Agustus 2013

Fase Rasa yang Berulang

Fase itu pun kembali berulang layaknya sebuah siklus yang pernah saya ungkapkan pada tulisanku sebelum ini. Sebenarnya bukanlah sebuah fase pengkhianatan hanya sebatas fase pengikatan kembali dan kemudian melepas tanpa hati. Secara kasar dia,mereka dan kamu mungkin akan melihatnya seperti itu. Aku kan sekarang menjadi tokoh antagonis dan kalian menjadi tokoh protagonisnya. Aku adalah sutradara dari semua ini, aku selalu memberi tekanan dan mengatur semua siklus dalam cerita ini. Plot dari cerita ini adalah rekaan dari kemauan dan hasratku. Begitu kan yang kalian pikir tentang semua ini? Aku salah dan kalian benar.

sumber gambar


Kata salah benar pun kini menjadi sangat rabun bagiku. Aku pernah menanyakannya padanya "Siapa sih yang sebenarnya salah, aku atau kamu?" Katanya mengapa harus membahas salah dan benar? bukan itu yang kita cari saat ini, terus bagaimana mungkin aku harus meminta maaf atau memberi maaf saat aku tak tahu siapa dan apa yang salah? Ataukah maaf hanya sebatas pelengkap dan pemanis ucapan saja kala simpul hampir saja putus?

Kini semuanya sudah jelas, dan semuanya telah berakhir. Saat aku mulai yakin padanya dia kembali memberikanku keraguan. Baginya mungkin itu bukanlah hal yang substansial tapi bagiku itu adalah hal yang sangat penting. Aku merubah mimik dan caraku berkata namun ia menganggapnya hanya sebagai lelucon. Yah sudahlah kita memang tak cocok dan kitapun harus saling melepas. Jalani hidupmu dan aku jalani hidupku, jangan datang padaku sekalipun hanya seperti hembusan angin.

"Dia adalah Dh*s* yang pernah memberiku yakin namun kembali melahirkan ragu saat keyakinanku padanya telah memuncak. Aku ucapkan terima kasih atas kejujuranmu memberiku keraguan sehingga aku akhirnya bisa melepasmu dan tahu bahwa aku telah kehilangan orang yang sebenarnya tak pernah mencintaiku "

Rabu, 31 Juli 2013

Pilihan dan Harapan

Persimpangan itu pun akhirnya hadir, sebuah persimpangan rasa yang mengharuskan untuk memilih. Menurutkan rasa atau justru bertahan atas dasar empati. Aku terlalu naif telah membawa mereka pada jalan seperti ini.Apakah aku yang membodohi atau justru aku yang telah terbodohi. Sebuah hubungan yang dibangun atas dasar kebohongan pasti akan melahirkan kebohongan-kebohongan selanjutnya untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya. Sebuah hubungan yang diawali dengan pengkhianatann kepada pasangan semula  pun akan melahirkan pengkhianatan-pengkhianatan selanjutnya, toh pengkhianatan bagi mereka telah menjadi hal yang lumrah dan bukanlah sebuah hal yang perlu dihiperbolakan.

Mari bercerita tentang persimpangan ini, sebuah persimpangan yang akhirnya telah melahirkan berbagai luka. Aku di sini masih bersama dia, bukan atas dasar sayang hanya atas dasar menghargai. Aku pun telah berjanji pada hatiku tak akan mengusik hidupmu di sana, cukup kau menjadi teman berbagi bagiku. Mungkin aku harus meninggalkan semuanya untuk mencari sesuatu yang baru, mungkin akan terlihat seperti sebuah siklus pengkhianatan, tapi aku harus melepaskan semua kenangan dan berpindah pada dimensi lain dari hidup ini. Dimensi dimana kamu, dia dan mereka menjadi sesuatu yang biasa dan seolah tak pernah terjadi sesuatu antara kita. Ini bukan tentang melupakan, hanya berpindah fase.

Kelak di fase itu, aku akan menemukan seseorang yang pantas untukku, kan kaupun telah menemukan seseorang yang mungkin kau anggap pantas untukmu. Dan "dia" semoga dapat melanjtkan fasenya atau justru kembali pada orang yang masih mencintainya melebihi rasa sukaku padanya. Semoga saja tak ada yang tersakiti satu fase setelah fase ini.

Rabu, 03 Juli 2013

"Janji" Senja dan Jingga


Aku cemburu pada Setianya Jingga pada Senja
Biarkan aku bercerita tanpa tema, topik, bahkan judul hari ini. Biarkan aku untuk saat ini hanya menikmati irama-irama keyboard yang saling beradu dengan jemariku. Biarkan aku tak terusik oleh rindu yang bahkan dengan kata pun aku tak bisa takar kadarnya. Biarkan aku menikmati terik siang ini tanpa pernah merindukan hujan di bulan Juli. Biarkan aku kacau dalam sekacau-kacaunya kacau!!!

Panas telah meradang menelanjangi bumi dengan teriknya saat semua yang terasa masih tetap terasa. Sedang aku telah bersepakat pada siang untuk tak mengusik senja nanti. Biarkan senja dan jingga bercumbu lebih lama dibanding waktu-waktu biasanya. Bukankah matahari senja adalah pejanji yang tak pernah ingkar untuk selalu menemui jingga di waktu yang tetap sama. Aku cemburu padanya, aku cemburu pada kesetiaanya.

"Janji", Senja dan jingga mungkin tak pernah mengikrarkan janji, tapi toh mereka tetap saja setia pada rutinitas yang kelihatannya sangat membosankan itu. Bertemu di angka enam dan berpisah di angka tujuh. Ikatan yang sudah lepas pasti akan sulit terikat kembali. Aku hanya ingin membuat simpul untukmu, seperti yang dulu pernah aku janjikan. Aku tak akan memberimu sebuah harapan apalagi janji. Cukup kau berjalan di jalanmu dan aku akan tetap menjadi pengangummu di sini. Cukup itu saja, toh dengan angin yang bertiup padamu pun aku enggan mengusik. 

Kembali pada sebagian perjalanan, merekam kembali potongan-potongan memori yang pernah terusik jarak dan waktu. Mengenang potongan-potongan yang sama seperti potongan puzzle kehidupan yang gambar akhirnya pun belum bisa kutebak saat ini. Tapi, ada namamu yang selalu terselip di tengadah tanganku di awala sebelum pagi menjemput dan saat senja berganti gelap. 

Jawaban atas tanya pada diri selalu saja datang dari diri juga. Apakah kita akan memilih jalan memutar untuk kembali bertemu di ujung sunyi sana ataukah kita akan bertemu pada sebuah persimpangan yang tak lagi deterministik. Tak perlu gusar akan simpul yang masih samar di halaman terakhir jalan kita. Ternyata aku terlalu yakin akan diriku, terlalu yakin akan sanggupku dan terlalu yakin akan rasa yang tak sakit.

Jodoh dan Rezeki telah dituliskan Tuhan dalam kitab-Nya. Pikiran jenakaku selalu saja muncul, bertanya pada diri seberapa besarkah kitab Tuhan itu? Mungkikah Tuhan menuliskan namaku dan namamu pada halaman yang sama? Tahu saja bahwa namamu dan namaku berada pada halaman yang sama sudah membuatku melayang, apalagi kalau tahu bahwa namamu dan namaku berada di paragraf yang sama atau bahkan berada di garis yang sama. Itu hanya pikiran jenakaku saja kok. 

"Aku cemburu pada senja dan jingga, tapi tak secemburu ketika pada ilalang yang kau berikan senyuman terindahmu"




Pembantai Kata-kata


Siang itu matahari terasa berada pada titik terjauhnya, terasa tapi tak terlihat. Padahal jarum jam telah jenuh bermain di angka sebelas. Ada Chaos dalam alur pikirku kali ini, aku tak kacau dalam berpikir, hanya saja ada ketakaturan dalam keteraturan yang saya rasa. Semua terjadi dalam sistem deterministik seperti senyum yang kau berikan saat melihat ilalang bergoyang tertiup sepoi angin. Aku jadi lelaki pecemburu bahkan jadi posesif,  pada ilalang pun aku cemburu. Kenapa mesti kau berikan senyumanmu pada ilalang itu hanya karena ia bergoyang dengan lembut? apakah kau akan memberiku senyuman yang sama saat aku menari-nari di depanmu. Ah, mungkin aku terlalu kekanak-kanakan.

Aku jadi ingat dengan istilah butterfly effect, sebuah istilah dalam dunia fisika yang banyak diadopsi oleh para penulis untuk menganalogikannya denga sesuatu di luar hakikat sebenarnya. Mungkin saat ini aku berada pada butterfly effect sama seperti yang mereka maksud, sebuah resonansi sederhana yang mampu menjadikan sistem yang sangat deterministik menjadi sangat kompleks. Yah, kau hanya menyunggingkan senyummu sebagai katalisatornya dan sampai saat ini aku masih berpikir tentang dirimu. "Aku sudah tak logis".

Di luar masih hujan, rintik-rintiknya terdengar jelas membentuk sebuah irama khas. Hujan selalu mampu meresonansikan kenangan. Hujan waktu itu di kotamu adalah hujan pertama yang kunikmati bersamamu. Sebelumnya kita pernah empat kali bertemu di empat pulau yang berbeda pula. Kau sangat suka hujan, bahkan saat dalam kondisi tak wajar pun kau masih saja suka dengan hujan. Aku memang kadang suka hujan apalagi setelah mengenalmu, tapi tentunya tak sesuka aku pada dirimu. Tapi, aneh kan kalau kita masih bisa berlindung di bawah terpal-terpal emperang kios di pasar lantas kita bermain hujan? Tapi, andai itu kau pilih saat itu aku dengan senang hati akan menemanimu, toh aku belum pernah menikmati hujan bersamamu.

Dewasamu dalam berujar ternyata belum mampu menyembunyikan polosnya mimik dirimu. Kamu tahu kan, di luar sana banyak manusia yang katanya sangat suka dengan hujan. Tapi, saat hujan turun mimiknya tak jauh berubah bahkan mereka bersembunyi di balik payung. Kau pun bukanlah pemain drama yang hebat, kau tak bisa bersandiwara dengan ekspresimu. Ah, aku tak bercerita tentang pertemuan kau dan mereka. "Aku adalah lelaki pecemburu tapi bisa menyembunyikan perasaanku itu, karena aku sadar aku dan kau tak seperti sebelum pertengahan bulan terakhir tahun kemarin".

"Aku hanya ingin lebih lama di sini bersamamu"






Jumat, 28 Juni 2013

Mencintai Bintang

Andai bayangan dapat hadir tanpa cahaya aku ingin jadi bayangan

Kamu suka bintang kan? Namun pernahkah kau berpikir untuk memiliki bintang itu? Mungkin saja iya. Aku juga suka bintang, dulunya sih tidak. Aku mulai menyukainya sejak mengenalmu waktu itu bahkan kaupun menunjukkan padaku rasi bintang yang kau asrimanya kautarik sendiri. Kau menyebutnya rasi bintang beruang kecil. Jujur, aku sih belum bisa membedakannya dengan rasi-rasi bintang yang lain, bahkan bentuknya saja aku belum tahu secara jelas. Tapi, itu selalu saja menjadi topik yang menarik ketika kamu dengan sangat  antusias bercerita tentang bintang, hujan, atau tentang ilalang. Aku secara tak sadar pun telah suka dengan hal-hal yang dulunya tak pernah kuanggap sebagai sesuatu yang istimewa. mungkin aku terlihat terlalu berlebihan yah? Mungkin seperti mendramatisir segala sesuatunya untuk dapat menyentuh sisi lainmu kembali. Mungkin iya bagi sebagian orang atau mungkin pula dirimu, tapi tidak bagiku. Aku hanya bercerita tentang diriku dan yang lahir dari mereka itu hanyalah sebauh persefsi.

Lingkar ingantanku tak lagi tersambung pada paragraf sebelum paragraf ini kumulai. Aku tak lagi temukan lintasan ide yang pernah bergelayut dalam otakku entah beberapa jam yang lalu. Tapi, gejolakku untuk menulis tak lagi dapat kubendung. Aku tak menemukan objek lain yang jauh lebih hebat daripada menulis untuk menumpahkan semua rasaku pada bait-bait kalimat yang mungkin bagi orang lain tak bermakna. Tak usahlah peduli kata mereka, toh aku ingin jadi pemendam rasa.

Pemandam rasa? Yah seperti itulah. Aku ingin diam untuk mengagumimu. Hmmm,,, kenapa tiba-tiba saja ketika aku memulai paragraf ini aku ingin menjadi bayangan saja. Yah, bayangan dirimu, supaya aku selalu dapat melihatmu dalam terangnya cahaya. Tapi, aku tiba-tiba ingat bahwa bayangan kan tak akan ada tanpa ada cahaya, padahal aku ingin mengagumimu meski dalam gelap. Aku terlalu sombong yah? Aku sudah tak logis, mencoba memetaforakan diriku dengan yang lainnya. Mengapa aku tak menjadi angin saja, angin kan tak pernah mengenal waktu. Aku akan bertiup kala pagi dengan tiupan yang berbeda pada senja. Aku hanya akan bertiup saja dan tak akan mengusikmu atau bahkan mengusik ramianya lelaki yang mengejarmu. Sama seperti saat ini, aku menulis tentangmu dan tak pernah berharap kau akan membacanya hari ini, esok atau bahkan ketika nantinya kau telah menjadi nenek dan aku menjadi kakek. Sepertinya aku lebih nyaman seperti ini, yah menjadi seorang pemendam yang tak tahu ujung jalannya akan kemana membawanya.

Aku selalu saja menyukai setiap tingkah kanakmu yang kadang muncul dibalik dewasamu yang sangat dominan. Aku suka caramu menyandarkan pipimu dengan lesungnya di meja makan di sebuah warung kecil dengan payung warna-warni sebagai penghalang sinar diatasnya. Mungkin agak berlebihan caraku menyukai hal itu, padahal aku tahu waktu itu kau sedang sakit. Aku juga caramu tersenyum melihat tingkah kanakku menikmati burger daging yang kuasup di sebuah bangku taman yang bentuknya seperti bangku pantai. Aku terlihat lebih pendek darimu jika aku duduk di situ, tapi aku suka dengan hal itu. Karena aku dapat dengan mudah melihat setiap senyum yang kau sunggingkan saat kau kembali merapatkan pipimu di meja makan itu. Aku juga suka melihat dirimu meniupkan angin dari bibirmu ke ujung jilbabmu. Jilbabmu kau pakai sekenahnya waktu itu, katamu cuaca akhir-akhir ini jauh lebih panas dari biasanya jadi kau tak pakai pelapis jilbab agar udara bisa masuk ke rambutmu. Aku hanya melihatmu seperti itu di tempat yang katamu pertama kali kau diterima sebagai mahasiswa di kampusmu, sekali atau mungkin dua kali seperti itu. Tenang saja aku adalah pemendam yang baik kok.

Aku akan mencintaimu seperti aku mencintai bintang. Aku akan memandangmu dengan sangat hati-hati, menikmati setiap cahaya yang terpancar darimu. Aku akan menuliskan setiap liukan cahaya yang kudapat, atau bahkan hanya sebuah titik diantara gelap akupun akan tetap menulisnya. Kau tak usah bertanya tentang kapan aku akan berakhir menulsi tentangmu. Kau hanya perlu tahu bahwa aku tak akan bisa tak menulis tenatngmu lebih dari sepurnama, dan saat aku tak menulis tentangmu lebih dari itu. Mungkin aku telah menemukan cahaya lain atau mungkin pula telah berada di dimensi lain.


"Aku akan menjadi pemendam yang bai kok, Aku tak akan mengusikmu atau bahkan mengusik orang-orang yang berada di dekatmu. :) 

Kamis, 27 Juni 2013

Pertemuan Rasa


Apakah sakit dapat terobati dengan begitu cepat? Ataukah hanya diriku yang terlalu tak tahu diri datang padamu mencoba mengetuk pintumu yang dulunya pernah aku robek? Apakah pintumu masih kau buka sedang aku telah pernah membuka pintu yang lain? Mengapa kau masih menyimpan semua tentangku sedang sebagian tentangmu telah pernah aku lupa? Mungkin aku harus mengais-ngais kembali semuanya tentangmu. Itu hanya persefsiku saja. Bukankah aku terlalu naif untuk berkata bahwa kau masih punya rasa. Aku terlalu arogan untuk itu sedang pastinya ada di kamu.

Kau masih terlihat sama seperti dulu, sama seperti pertemuan awal kita di bulan kelahiranmu di kotaku. Hanya saja kali ini aku yang lebih cerewet darimu, kau lebih sering diam dengan sunggiman senyuman di bibirmu sebagai bentuk respon minimal dari setiap pernyataan, tanya dan permintaan yang terlontar dariku. Hmmm, malam ini aku ingin bercerita tentang hari kemarin. tentang pertemuan singkat kita. Sahabat Lintas Pulau itulah kita, kembalilah seperti itu. Menjadi asing bagiku dan bagimu untuk waktu yang singkat. Ada selaksa rasa senang ketika melihatmu dalam keadaan sehat dibarengi dengan sesungging senyuman manis dari dirimu. Ah, bahasaku menjadi lebay yah hehehe. Tak apalah, toh ini pertemuan pertama kita sejak setahun yang lalu. Pasti banyak yang berubah di antara kita. Namun, satu yang tak berubah darimu yaitu setiap katamu yang masih saja kucatat dalam memori jangka pendekku yang kemudian akan aku tulis agar tak hilang nantinya ditelan waktu.

Aku ingin memberimu sebuah surprise yang sebenarnya sudah sangat terlambat. Tapi tak apalah, itu sebagai simbol persahabatan kita saja. Tak ada maksud lain seperti ingin membuatmu melupakan kesalahan yang pernah kubuat, sama sekali tak ada. Bagiku sekarang kau adalah sahabatku, Yah sahabat yang selalu menginspirasiku dalam batasan diriku di titik nadir. Ada dua warna yang mewakili tiga jasad hijau untukmu dan untuk Mabrur, dan putih untukku. Banyak cerita yang lahir dari pertemuan singkat kita waktu itu. Aku ingin membaginya dengan rasa.

Senang

Aku pasti senang dapat bertemu denganmu bahkan mungkin lebih dari sekadar perasaan senang. Bukan pada persoalan aku dapat kesempatan untuk membuka pintu yang sudah tertutup. Sama sekali bukan, tapi memang karena aku selalu merindukan pertemuan ini. Aku rindu akan dirimu yang selalu saja menampilkan pesona dari orang-orang yang pernah kutemui, akuaku senang dengan senyummu meski sudah tak seperti senyum yang dulu pernah kulihat, dan aku suka setiap kata yang kau lontarkan yang jauh lebih dewasa dibanding kalimat anak seumuranmu. Ah,,,, aku tak lagi berucap tentang rasa senang ini maka biarkanlah aku menikmati kesenangan ini tanpa perlu kamu dan mereka tahu.

Gugup

Gugup? Mengapa gugup? Yah aku gugp berhadapan denganmu, bahkan jauhb lebih gugup dibanding aku harus bertemu dengan para petinggi kampus atau tokoh nasional sekalipun. mungkin karena kau banyak tahu tentangku. Gugupku ini akhirnya dapat aku atasi setelah kau jabat tanganku dan kau sunggingkan sebuah senyuman padaku.

Salah Tingkah

Aku salah tingkah, yah wajar saja kan. Aku bahkan memesan minuman yang sebenarnya aku tak tahu apa yang sedang aku pesan. Bahkan aku tak menjadi diriku untuk beberapa saat. Aku lebih sering memandangi wajahmu seakan tak acuh dengan keramaian sekitar.

Firasat

Aku ingin memasukkan firasat dalam rasa. Firasat kan buka rasa? Iya mungkin tapi aku tak tahu mau menempatkan hal ini dimana? Aku suka dengan firasat, karena sepertinya aku dapat mengintip dimensi paralel antara kau dan aku di luar dimensi kita sekarang ini. kita sedang bersama di dimensi itu. Ada sulaman rasa yang mengikat antara diriku dengan dirimu (Ah, Aku terlalu berharap). Aku sudah merasakan hadirmu jau sebelum kau menemukan kami secara tak sengaja. Bahkan aku sebenarnya ingin mengambil jalan memutar yang cukup jauh namun aku merasa berat pada teman yang sudah susah payah mengantarku.

Kagum

Yah, aku tak perlu menjelaskan ini. Aku sudah mengagumimu jauh sebelum ada ikatan dan lepasnya ikatan itu.

Harap

...

"Hanya sebagai catatan pengingat tentangmu. Sahabat semoga tentang bisa menjadi sahabat"





Masih Mengagumimu

Tetaplah Jadi Bintang dan Biarkan Aku Tetap Mengagumimu
Juni masih hujan, yah tak seperti tahun-tahun sebelumnya. musim kan seharusnya telah berganti. Apakah musimnya sudah tak beraturan lagi ataukah memori jangka panjangku saja yang mulai trouble. Ah, tak usahlah aku berdebat dengan diriku sendiri tentang hal itu. Toh, perdebatan ini tak akan mengembalikan musim seperti sedia kala. Kita bertemu kembali di persimpangan jalan rasa yang terbisukan dan ku tak mau kita berpisah di ujung jalan yang terbisukan pula. Lisankan kalimat, klausa, frase, kata atau cukup dengan morf saja! agar nantinya aku memiliki kesibukan untuk merangkai setiap morf-morf yang kau beri dan kemudian menerjemahkannya sesuai inginku. Kemarin aku memberimu sebuah isyarat merah, bukan abu-abu agar kau faham bahwa aku ingin membawamu pada sebuah kepastian harap. Aku membiarkanmu pulang untuk mengeja kembali setiap abjad yang sempat terlisankan, dan hari tak lagi senja maka istirahatkankanlah dirimu pada matimu yang sementara. Aku tak ingin ada tendensi rasa dariku untukmu, aku membiarkanmu melebarkan sayap-sayap rasamu menerawang jauh melampaui imajimu, atau kalau kau tak mampu untuk itu mari bersamaku menjejali setiap inchi pasir pantai, setiap desibel suara debur ombak, dan setiap gemericik air sungai.

Aku suka caramu tersenyum padaku ketika aku menjadi diriku, tapi kadang aku alfa kapan aku menjadi diriku dan kapan aku menjadi orang lain. Aku selalu saja menemukan cara membuatmu berada pada sebuah pilihan. Ah, pikirku menantang! Aku terlalu ego untuk itu. Aku seakan mengatur Tuhan dengan takdirnya. Aku seakan memaksakan bumi untuk berputar melawan arah rotasinya atau mungkin menantang angin malam untuk menjadi angin laut. Aku memang egois ketika berhadapan denganmu, mungkin karena keterbatasanku untuk pantas bagimu hingga aku harus memilih memaksakan hati dan dan pikirku agar aku terlihat seimbang. Ah, itu apologiku saja barangkali! Bukankah aku sudah terlalu lihai untuk menyakiti tanpa pernah berpikir orang yang aku sakiti. Bukankah aku adalah manusia berhati dingin yang tak tahu arti kehangatan kasih sayang. Aku mungkin memegang satu sisi kontradiktif dunia namun tak bisa melihat satu sisi lainnya bahkan untuk merasakannya aku tak bisa.

Ini semua memang salah, gila, dan sangat tidak logis. Bukankah hati sama seperti tanah. Mengapa harus tanah? Logikanlah hati sebagai tanah dan paku sebagai pencipta sakitnya. Aku pernah menancapkan paku di tanahmu. Satu kali, dua kali, tiga kali, pasti lebih dari itu hingga aku tak dapat lagi menghitungnya. Aku kan manusia berhati dingin yang tak tahu tentang arti hangatnya kasih sayang. Aku terlalu naif menganggap bahwa ketika aku mencabut paku-paku itu maka tanah itu akan seperti sedia kala. Tidak kan, tanah itu berlubang dan retak. Tanah saja akan retak meski pakunya telah tercabut, bagaimana mungkin hatimu akan seperti sedia kala untuk legowo menerima setiap salah yang pernah kucipta. Bukankah aku terlalu arogan untuk itu. Aku ingin menutup tulisanku ini dengan kata yang sangat engaku suka menurutku "Bintang".

"Tetaplah menjadi bintang dan akupun akan tetap menjadi laut, Laut selalu saja mengagumi bintang. Tapi apakah laut ingin memilki bintang dan menyelipkannya dalam palungnya. Iya, itu dulu. Sekarang laut tahu bahwa bintang tak pantas untuk di palungnya, Bintang terlalu rendah untuk berada di dasar laut. Biarlah bintang tetap berada di langit dan biarkan pula laut untuk tetap dapat mengaguminya"



Rabu, 29 Mei 2013

Penenun Harap

Siang masih setia pada jarak yang ia buat, serta malam masih setia pada setiap lembaran-lembaran mimpi yang masih terus melayang. kita pernah bersama di tempat ini, mengembalakan imaji pada siluet-siluet jingga di ufuk barat. Dan, hari ini aku tak menemukan itu pada lembaran-lembaran imaji yang dulunya pernah kutenun untukmu di penghujung malam saat bulan tak lagi betah dengan kelam. Usahlah aku berpikir tentang mengapa bulan selalu berubah bentuk tiap malamnya, mengapa kupu-kupu mesti terlahir dari seekor ulat dan kembali melahirkan ulat, atau tentang mengapa hati masih saja merindu saat tak ada lagi asterima rasa yang terbentuk dari nalar dan bibir. Karena kuyakin, cinta masih sama seperti pertama ia lahir, masih saja belum bisa dijelaskan dengan otak tapi dengan hati. 

Aku ingin mengajakmu keluar malam ini, membebaskanmu dari kastil yang masih saja mengurungmu dalam kecemasan rasa. Lalu aku akan mengajakmu mencari jejak-jejak basah diantara rimbun pinus. Mungkin kau akan merasa sesak karena kekurangan oksigen, tapi aku ingin agar kau tetap ada karena di ujung jalan sana ada taman yang ingin kutunjukkan padamu saat mentari telah menyonsong cerah. Akan kuajak kau mendengarkan melodi alam pembentuk rasa, lalu akan aku sandarkan kau pada sebuah penopang yang akan selalu mampu memberimu kuat saat kau rapuh pada yakinmu padaku. Di sini, kita akan bersama menenun khayal, imaji dan cerita menjadi sebuah harap yang akan kita tanam di taman harapan saat sore telah memberi bias jingga.

Kita pun  kembali pada pembaringan kita, menikmati tenunan harap yang telah kita tanam di taman harapan. Entah kapan, rindu akan memanggil kita lewat isyarat denyut nadi, degup jantung, atau bahkan lewat lintasan imaji yang masih saja setia pada namamu di imajiku dan namaku di imajimu.Lembaran-lembaran kata yang tela kita pungut dan tenun sebelumnya akan turut andil tuk menagih janji yang telah kita layangkan pada lembaran-lembaran harap di taman harapan. Lalu mestikah kau masih bertanya padaku tentang keseriusan lewat tatapan ragu dari sudut matamu? Apakah kau masih saja bertanya apakah ini cinta? lalu kita pun akan mengurai kembali semua cerita panjang yang telah kita bingkai, mencoba menghubungkannya dengan rasa yang masih saja berkecamuk dalam jiwa.

Saat malam telah bosan dengan gelap, aku pun telah menuntaskan yakin diantara sekian banyak arah yang dulunya ada untukku. Aku masih ingin disini bersamamu menuntaskan rasa, harap, serta cerita yang y=tak kunjung selesai tentang kita. 

#Aku masih di sini berharap kau datang menuntaskan cerita-cerita yang pernah kita tenun.

Jumat, 24 Mei 2013

Pertemuan Terakhir? #maybe

Pagi masih saja selalu menyajikan kicau burung yang tak pernah alfa untuk singgah di ranting-ranting pohon jambu air yang buahnya telah kemerahan. Aku pun hanya sekilas memandang mereka, ada semacam kebahagiaan dibalik siul merdu yang mereka cipta. Langit pun sudah tak seperti beberapa tahun terakhir, aku masih saja menemukan rintik di pertengahan tahun. Adakah seseorang yang gundah hingga Tuhan menurunkan hujannya di pertengahan tahun, memberinya waktu untuk menangis sejadi-jadinya di tengah derasnya hujan? "Entahlah", kau adalah perempuan pembenci hujan, aku tahu itu dari almanak yang telah kususun sangat rapi tentangmu pada sebuah catatan kecil di dunia tak nyata. Aku akan membiarkan kita berada pada sebuah dimensi dimana kau dan aku akan menerjemahkan rasa, menulusuri denyut nadi dan jantung masing -masing dan bersama mebuka tudung rahasia yang selama ini aku dan kamu simpan dengan baik-baik.

Aku tak bermaksud mengajakmu untuk menelusuri kenangan yang pernah kita rangkai, aku  hanya ingin mengajakmu bermain di alam khayal yang masih saja terlalu indah untuk sebuah alam nyata. Aku ingin mengajakmu menulusuri sepoi angin pantai, semburat jingga matahari terbenam, atau hanya sekdar menimkmati sepotong bulan sabit.Membiarkan mereka bermain dengan inginnya dan kita pun seakan acuh dengan tatapan kita pada mereka, bukankah mereka memang diciptakan untuk dinikmati. Sikap apatisku bangkit menerobos tubuhku yang lemah dan berubah menjadi sebuah pragmatisme semu. Pragmatisme yang lahir karena obsesi tinggi akan hadirmu pada sebuah rekaman senja di sebuah bangku tua menghadap laut.

Pernah pula kita menikmati sebuah drama yang kau sebut "Studio 31", filmnya pun bisa kita hendaki sesuai dengan keinginan kita. Saat itu kita menonton sebuah film Bolywood. Dinding rumah dalam sekejap kita sulap menjadi layar pemantul cahaya dari proyektor. Kita pun menikmati setiap dialog, adegan dan konflik yang mengalir begitu saja, sesekali pula aku menikmati wajahmu yang dengan sangat serius menikmati dinding tembok yang kini sudah berubah menjadi layar. Kita juga tak lupa menikmati cemilan berat yang beda antara kau da aku, aku menikmati cemilan dengan cokelat di tengahnya dan kau lebih memilih martabak. Aku jadi ingat gara-gara cemilan cokelat itu, akupun kau anggap belum sepenuhnya menegrti tentang dirimu. yah aku faham kalau kamu tak suka dengan cokelat, tapi sungguh waktu itu aku betul-betul lupa kalau makanan itu isinya adalah cokelat. Sesaat setelah itu saat aku sebenarnya telah ingin beranjak untuk kembali, hujan seakan memberi isyarat untukku agar masih tetap tinggal bersamamu. malam pun semakin larut, Drama yang kita putarpun telah selesai. kita mengganti filmnya dengan sebuah film komedi tempo dulu, sebuah komedi favoritmu dan favoritku. kita pun kembali seperti aktivitas dua jam sebelumnya, dan entah sejak kapan kau telah melayang dalam alam mimpimu. Aku membereskan semuanya dan memabngunkanmu setelahnya. 

Hatiku sebenarnya bergemuruh tentang kalimat yang terucap dari bibirku di saat kau sedang menikmati sepiring nasi goreng merah. Aku ingin kembali mengucapkan kalimat itu, namun aku berpikir aku telah membuatmu tidak mood untuk menghabiskan nasi goreng yang biasanya kau sangat doyan, apakah aku harus mengulang kata yang membuatmu sesak itu? Aku menerka sendiri dalam pikirku dan memberikan sebuah konklusi dari semua kata balasan yang kau berikan atas semua permintaan yang telah kuberi. "Mungkin ini adalah terakhir kalinya kita bertemu". Sebuah kata yang terlontar dari bibirku yang merupakan hasil konklusi dari semua jawaban yang kau beri. Aku tak mau berada dalam kepura-puraan dan akupun tak mau selamanya berada pada sebuah kepalsuan dan ketakpastian.  Setelah itu aku pun berada pada sebuah hentakan gelombang besar yang akhirnya aku pun tak tahu dan aku tak pernah tahu tentangmu.


#Adakah kesempatan keempat jika kesempatan ketiga telah kau tutup?



Rabu, 22 Mei 2013

Catatan tak Usai Tentangmu

Penat masih menyelimuti ubun-ubunku saat aku mencoba kelaur dari zona kejenuhanku. Sejumput rasa masih menggelatung pas di rongga tak berdasar di dalam seonggok daging. Kembali menyusuri perjalanan panjang yang masih tak berujung, perjalanan anatara kata "Aku", "Kamu" yang masih belum bisa untuk menjadi "Kita". Aku kadang iri dengan cerita-cerita Bolywood sama seperti film kesukaanmu yang selalu saja bahagia di akhir episodenya. Kenapa kita tak pernah mempertanyakan itu, padahal kita doyan sekali menyaksikan kemesraan dan konflik yang mereka nikmati. Ah, aku tak mungkin dapat membaca jalan pikirmu dn kau pun tak mungkin dapat membaca jalan pikirku.

Aku kembali membaca catatan-catatan yang tersimpan dengan manis dengan judul empat huruf nama yang sering sekali aku pakai untuk memanggilmu. membiarkanya abadi dalam sebuah sistem kode biner yang kemudian menajdikannya abjad-abjad yang dapat aku dan kamu mengerti. Selalu ada perpisahan yang seolah kita menyukainya, mungkin untuk membangkitkan rindu atau mungkin pula untuk menghilangkan jenuh yang lahir dari ketakalfaan. butuhkah hati kelafaan untuk mencinta? Maaf kini sudah menjadi langganan bibir kita, kata yang selalu hadir diantara abai yang menggelantung dibalik bentuk perhatian semu yang terlisankan. Kembalilah kita pada malam yang tak lagi ramai dengan bayangan-bayangan sesal yang akan tetap menjadi sesal.

Malam masih seperti kemarin, selalu saja menyajikan menu tanya dan tawa dari bintang-bintang. Tanya tentang pilihanku untuk meninggalkan atau mungkin dipaksa untuk meninggalkan. Tawa tentang kesabaranku atau mungkin kebodohanku yang selalu saja masih berharap pada garis semu pengikatn komitmen. Aku ingat beberapa kata atau mungkin bait yang kau tuliskan tentangku, sebuah perihal paling abadi yang akan terekam selamanya. Sederet judul-judul film, tempat makan, atau mungkin jalan-jalan yang pernah kita lalui bersama, membuang sifat lupa dan abaiku dan abaimu sejenak kemudian menyelami semua kenangan yang bangkit dari memori kealfaan yang dulunya selalu lupa.

Kemarin di sebuah senja yang teduh, aku menuliskan nama yang pernah kuberikan padamu denganbbatu-batu putih dan kerang yang kukumpul. Aku merangkainya dengan hati yang masih saja merindu atas kealfaan hadirmu dalam diriku. Kita pernah menjadi sepasang sejoli di sebuah lepas pantai dengan kursi plastik menghadap laut. Berdua menyelami senja diantara matahari yang hanya tinggal sepotong. Aku ingin terlahir kembali dan menjadi orang baru untukmu. Seorang yang memiliki memori masa lalu tentangmu dan kaupun tak memiliki memori masa lalu untukku. kau kembali menjadi asing bagiku dan akupun menjadi asing bagimu. Mungkin sepeerti sesutu yang impas, tapi apakah kita akan melupakan sakit di sebuah masa sebelum itub terjadi? Apakah itu masih terlihat adil ketika masa lalu telah ikut campur pada blue print yang kita rancang?

Aku selalu menemukan sejumput rasa saat aku bertemu denganmu. Aku tak pernah bisa membaca arti lengkungan di bibirmu, arti cubitan di lengan sebelah kananku, dan arti tatapan sinis yang selalu saja kau berikan. Aku adalah orang bebal dalam memahami tanda dan penanda. Aku hanya mampu memaknai lokusi dan ilokusi tanpa pernah mau tahu dengan pragmatis dan perlokusi yang seharusnya aku ambil. Tapi kau pun tak pernah mau mengerti akan kebebalanku pada sudut itu.





Trust Me

Matahari masih melayang saat semburat jingga menelan keangkuhan rindu yang tak berdasar. Aku seperti pecinta langit yang kehilangan bintang, membentur angan menerobos ruang waktu. Dirimu ada di sana bersama sosok yang kukenal, mungkin tak hanya sekadarar saya kenal. Ada sejumput rasa yang berbeda padanya, tapi "trust me" dia bukanlah bintang yang mampu memberi cahaya. 

Kita adalah dunia yang saling berbeda yang bertemu dalam dunia yang kita bentuk sendiri. Dunia yang hanya kau dan aku mengerti, dunia tanpa mereka. Apakah kita benar? Entahlah. Yang kutahu kau adalah sosok yang tak mungkin bisa gantikan dengan sosok-sosok lainnya. Duniamu dan duniaku adalah dua dunia yang berada pada dua dimensi yang berbeda. Kau dengan egomu dan aku pada egoku. Kita mungkin akan bertemu pada sebuah episode daeri bab pertengahan sebuah adaptasi kisah.

Aku hanya takut dunia kita yang sangat berbeda ini namun kita mencoba untuk menyamakannya akan menjadi sebuah tekanan dahsyat bagi hati yang menamoung segalanya dan nantinya akan meledak dan menjadikannya kenangan-kenangan yang hanya bisa kita pungut. Aku kadang menahan rasa rinduku padamu, tak mengungkapkannya. Aku tak mau engkau jenuh dengan semuanya, bukankah kita memang terlahir dengan sebuah perbedaan.

Ada kealfaan dalam ketakpastian, ada ketakpastian dalam keraguan tutur dan ada pengabaian dari kealfaan rasa. Jingga hanyalah menjadi pewarna senja saat ini, tak ada kesan romance di antara laut dan metahari di jingga. Aku masih merasa merah di antara ungu dan kemuning yang telah kau beri. tak usahlah membangkit rasa yang telah terkubur. Kita sudah terlalu lama bermain rasa dalam kealfaan rasa, mencoba mahfum meski tak pernah mengerti arti almanak yang dilalui.

Aku tak tahu apakah aku telah memberimu rasa ragu ataukah engkau yang telah membangkitkan rasa ragu itu? Akhirnya aku pun pergi dan kutahu engkau masih akan merindukan kehadiranku di sana, aku hanya ingin kamu percaya bahwa hati ini masih terbuka kala kaun kembali dengan hati yang sudah berubah.

Selasa, 23 April 2013

Bimbang

Bimbang, mungkin itulah aku saat ini. Aku tak mengerti apa yang harus aku lakukan, seakan aku berada pada dua, tiga atau empat pilihan yang sangat sulit. Ini bukan cerita mengenai buah simalakama, namun ini hanyalah sebuah cerita tentang seorang lelaki yang dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Cerita tentang buah simalakama adalah cerita yang efeknya telah diketahui jika memilih satu diantara dua pilihan tersebut, namun aku berbeda. Aku sama sekali tidak tahu mana yang harus aku pilih dan apa efek dari pilihanku tersebut. Ini sangat berbeda dengan pilihan-pilihan sebelumnya, dulu aku sangat yakin pada setiap pilihanku atau mungkin saja aku memilih karena tak ada piihan lain. 

Aku sebenarnya masih berada pada bayang-bayang sang Andromeda, dan aku merasa sangat sulit memilih karena sebelumnya aku telah menemukan sosok yang sempurna bagiku. Aku memang tak bisa memungkiri bahwa perbandingan selalu ada padaku. Mungkin aku tak akan menemukan sosok yang lebih indah dari sang penyuka ilalang itu. Tapi, apakah aku harus selamanya berada pada persimpangan ini dan seolah memberikan harapan pada empat arah itu. Aku seakan berada sebuah perempatan jalanan, sedang aku berada di tengah dan tak tahu arah mana yang akan saya pilih Utara, Selatan, Barat, atau Timur. Akupun semakin sulit memilih karena bayangan serta memori masa laluku masih sangat jelas menempel. Aku tak mengira selam hampir lima bulan setelah semuanya berakhir di pertengahan Desember bayangnya serta memori masa laluku tenmtang dia masih sangat segar.

Aku kadang membuka beranda FBnya, menulis status tentangnya walau kadang aku samarkan dengan panggilan bintang. Tapi aku tahu kalau dia tahu siapa yang aku maksud. Mungkinkah ia merasakana hal yang sama denganku? Ah mungkin saja tidak. Aku kan sudah membuat luka yang terlalu dalam untuknya,. Aku berharap ia tak mengingatku supaya ia tak semakin benci padaku. Aku tak tahu apa yang kucari saat itu dan saat ini. Dulunya aku telah memiliki seorang sosok yang tak bisa aku jelaskan dengan kata, namun aku masih mencari. maka tepatlah kisah yang diceritakan Aristoteles mengenai seorang pemuda yang mempertanyakan tentang cinta sejati yang kemudian ia disuruh untuk berjalan di hutan dan mengambil ranting yang paling bagus menurutnya. Namun, semakin ia mencari maka semakin ia melihat sesuatu yang lebuh indah dari apa yang pernah ia lihat. hingga akhirnya......



Selasa, 16 April 2013

Rasa yang Tak Tuntas

Lelaki yang malang dengan malam sebagai perisai hatinya. Malam tak berarti gelap baginya karena malam adalah waktu yang tepat untuk dapat merengkuh dan mengotak-atik seluruh alam tak nyatanya. Ia selalu berdiri menantang langit dan bintang dan sesekali mengeryitkan dahinya saat sebuah batu langit habis terkikis oleh lapisan atmosfer di atas sana. Ia kini telah ragu akan apa yang pernah ia percayai, ia dulu sangat yakin akan mitos jika ada sebuah bintang jatuh maka berdoalah kelak doamu itu akan jadi kenyataan. Dahinya yang mengkilap diterpa cahaya lampu petronas yang tergantung bebas di beranda rumahnya malam itu seakan menggambarkan betapa hari ini ia lalui dengan penuh penat di kepalanya. Ekspresinya kini berubah, ada sebuah keanehan yang terjadi. untuk pertama kalinya ia menarik ujung bibirnya untuk saling berjauhan membentuk sebuah garis lengkung yang sudah sangat lama tak pernah ia lakukan. Ia mendongakkan kepalanya menantang langit yang kini telah berubah menjadi kelam tersapu oleh awan hitam pembawa hujan di awal April, ekspresinya masih sama namun sebuah suara lembut terucap dari bibirnya. "Terima kasih untuk  waktumu malam ini" adalah kata yang terlontar bebas dari bibirnya.

Entahlah, apa yang telah ia alami malam itu hingga mampu membangkitkan lagi gairah yang sudah satu triwulan terkubur. Adakah wanita yang sudah mampu mengais kembali serpihan-serpihan hatinya yang dulu telah terkubur dengan rapi? Ataukah malam telah mengutus Afrodit untuk menemaninya menuntaskan semua yang belum tertuntaskan pertengahan Desember tahun lalu? Semuanya terasa buram layaknya kaca jendela yang terkena uap udara panas dan dingin.

Rintik hujan kini mulai jatuh membuat sebuah gelombang di air tergenang depan rumah, satu gelombang saling bersatu dengan gelombang lainnya. Awalnya berbentuk gelombang dengan lingkaran penuh namun saat bertemu dengan gelombang lainnya menjadi sebuah gelombang yang abstrak. Resonansi bunyi dari genteng yang ditabrak oleh rintik hujan pun kini beradu pacu dengan suara gemericik genangan air depan rumah. Semuanya kini membentuk sebuah irama tanpa peduli pada lelaki yang masih terduduk menantang langit. Bintangnya kini telah hilang berganti dengan hujan yang sebenarnya bukanlah sebuah substitusi yang sempurna. Bukankah hujan adalah pelengkap malam ketika kejenuhan akan bintang telah hadir?



Selasa, 02 April 2013

Selamat Ulang Tahun Bintang

Kau adalah Bintangku, namun berbeda dengan bintang. Kau terlalu manis untuk ukuran sebuah bintang. Tak terasa sudah dua tahun sejak pertama kali kita bertemu di Pulauku "Sulawesi". Seiring berjalannya waktu, banyak cerita, kisah, tawa, senyum, dan tangis yang telah kita lewati bersama. Aku masih sering memandangi  foto wajahmu di Handphoneku, yah masih sama seperti dahulu. Kadang pula aku menunggu panggilan nama akrabmu padaku "Han". Sayang, aku telah membuat luka yang terlalu dalam untukmu hingga mungkin luka itu tak mungkin akan sembuh dengan ribuan siraman maaf. Satu hal yang bisa aku syukuri saat ini yaitu kau masih ikhlas tuk memberikan senyumanmu padaku, icon yang begitu khas di setiap akhir pesanmu  "^_^".

Cinta, rindu, dan sayang mungkin kini hanya menjadi sebatas kata usang yang tak lagi berlaku, namun aku yakin kita menyayangi bukan karena kata tapi karena rasa. Bintang, hari ini adalah hari ulang tahunmu, maaf tak bisa ada di sampingmu di hari bahagiamu dan maaf belum ada yang bisa saya berikan untukmu saat ini. Aku hanya bisa menitipkan doa dan harapan indah padamu.

Kamis, 07 Maret 2013

Andromeda

"Andromeda" Aku pernah menyebutmu seperti itu. Entah apa yang mebuatku suka memanggilmu seperti itu. Mungkin karena nama itu kedengaran indah di telingaku atau mungkin arti dan filosofi dari nama itu. Kamu tahu tidak arti dari Andromeda itu? Secara iseng aku mencoba mencari arti kata itu dengan browsing di internet dan artinya memang sangat cantik sama seperti dirimu. Andromeda berasala dari bahasa Yunani yang berarti Gadis Jelita. Aku teringat ketika pertama kali akrab denganmu, aku menjadi penggila bintang. Tiap malam kadang aku keluar menyendiri menikmati secangkir kopi atau kadang ditemani sebatang rokok sambil memandangi bintang di langit. Pernah pula aku mengunduh aplikasi yang bisa melihat posisi rasi bintang kapan saja dan dimana saja. Aku sudah lupa nama aplikasinya. Kadang kita saling bertanya apa kamu lihat rasi bintang ini dan itu? mungkin saat itu kita pun saling tertawa menertawai kepolosan kita mencari rasi bintang. Aku pun ingat rasi bintang yang paling sering kita cari adalah rasi bintang beruang kecil, yaitu rasi bintang yang kamu rangkai sendiri dan hanya kita berdia yang tahu tenmtang rasi bintang itu.

"Andromeda" nama itu kembali hadir kembali setelah sempat berakhir diangka yang sebenarnya tak pernah kukeramatkan (Hehehe). Nama itu pernah hilang diangaka 16122012. Angka yang tidak ada istemewanya sama sekali bagiku. Aku tak mau mengingat kesalahan itu lagi yang pernah kuperbuat padamu. Aku hanya ingin nama itu tetap ada dan tetap ada walaupun mungkin tak bisa sama seperti dulu lagi. Sama seperti remah kertas yang tak mungkin kembali seperti seutuhnya kembali.

"Andromeda" mungkin tepat di angka 16032013 aku dan kamu akan berjumpa kembali. Mungkin kita bisa merngkai sebuah asterima tapi sulit untuk menjadi rasui kembali seperti yang dulu. Ada titik yang telah hilang dari kita

Selasa, 26 Februari 2013

Di Pertigaan Jalan

"Bukan kau yang salah karena telah menyakiti tapi aku yang salah karena telah mencintaimu" tiba-tiba saja potongan kata-kata itu membuat mataku berhenti sejenak untuk membaca postingan-postingan di dinding akun Facebookku. Kata yang cukup sederhana dan sangat ringan namun punya sejuta makna dibalik ringannya kata itu. Aku memang tak pernah sadar telah terjatuh dalam sebuah labirin rasa yang awal dan akhirnya tak pernah aku tahu. Aku tak pernah tahu awal aku masuk dalam labirin itu dan sekarang aku tak tahu arah mana yang akan aku pilih tuk keluar dari labirin itu. Aku mungkin bisa mengatakan bahwa ada titik kulminasi diatas titik nadir. Yah, sebab aku telah pernah merasakan bagaimana rasanya berada di titik nadir dan sekarang aku merasakannya lagi bahkan labih. Akupun tak pernah tahu kapan engkau masuk mengisi celah kosong dalam sudut kelam hatiku. 

Ada beberapa kata yang sangat sederhana namun mampu menyentuh sisi lain dari kerasnya hatiku. Kau pernah bertanya padaku di sebuah pertigaan jalan "Apa yang kau suka dariku?" katamu sambil mendekapku dengan lembut. Aku menjawab semua tentangmu. Kau kembali bertanya "kenapa kau bisa cinta akitipadaku" aku terdiam sebab aku tak pernah tahu apa dan kapan aku mulai mencintaimu. Sekalabat saja rasa itu datang dan mengisi ruang-ruang kosong dalam diriku. "Sulit kan?" tanyamu lagi. Aku hanya mengangguk mengiyakan pernyataanmu. Kaupun kembali bertanya lagi dengan pertanyaan yang bukan aku tak tahu jawabannya tapi tak sanggup aku menjawabnya. "Bagaimana nantinya jika aku meniggalkanmu?" tanyamu. Aku terdiam, sebegitu ringannyakah pertanyaan itu terlontar darimu? Aku tak mau menjawabnya kataku waktu itu. Berarti kau tak pernah siap untuk hal itu, kita harus membicarakannya. Aku takut kecewa dan aku takut menyakitimu katamu saat itu. Bukankah kau telah menyakitiku saat ini dengan pertanyaanmu? jawabku. Setelah itu kita pun saling terdiam, hingga nada dan intonasi suara kita berubah. lembut namun serak seakan tak mampu melawan angin malam yang sepoi berhembus. Hanya satu kata yang sempat kuingat saat itu kau berkata "hari itu sudah dekat, hari dimana aku akan meniggalkanmu" setidaknya itu yang saya fahami dari redaksimu yang tak sepenuhnya sampai pada otakku.

Hari ini pun aku meragu apakah hari itu adalah hari ini atau masih ada hari setelah hari ini untuk aku dan kau dan untuk "Kita".

Senin, 25 Februari 2013

Pagi Ini

Pagi ini matahari begitu angkuh tuk menampakkan wajahnya di depanku, hanya biasnya yang dengan santainya menerobos masuk ke dalam kamarku dari celah-celah jendela yang tidak tertutup rapat. Bias yang tak hanya mengobrak-abrik seluruh sisi gelap di ruang sempit tempat aku bernostalgia dengan kenangan-kenagan yang baru kemarin "aku dan kamu" rangkai, tapi juga mampu menembus serabut-serabut saraf kecil dan aliran darah di kelopak mata yang masih enggan untuk terbuka. "Ah, masih terlalu pagi" pikirku, toh hari ini aku enggan beranjak dari pembaringanku. Aku masih ingin menikmati dekapanmu, suara manjamu, sinismu dan tatapan tajammu padaku saat kau meminta penjelasan dariku. Semua itu masih terlihat jelas di mataku, tapi bukan saat aku membuka mata tapi saat aku terlelap.

Kemarin dan dua hari yang lalu kita masih sempat bercengkrama, berbincang dan kadang diselingi dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang menurutku masih wajar. Saat mentari telah beranjak dari jarak terdekatnya dari bumi, kita pun beranjak meninggalkan tempat yang telah banyak menggoreskan tulisan-tulisan yang belum sempat aku perlihatkan padamu. Tulisan-tulisan yang dulunya aku ingin berikan di hari spesial nantinya, hari dimana hijau, hitam, dan putih menyatu menjadi warna yang peripurna tanpa ada sekat sedikitpun.Kita beranjak menyusuri lorong-lorong kecil, lorong yang belum pernah aku lewati sebelumnya. Kau dekapkan tanganmu di pinggangku dengan manja, aku pun hanya terdiam dan merasakan setiap gelombang yang kau alirkan melalui tanganmu. Gelombang lembut yang jauh lebih lembut dari nuansa cahaya jingga dan kuning, namun aku harus akui kalau aku terjatuh dalam gelombang kelembutannya.Gelombang yang tanpa dialiri listrik namun mampu membuat jantungku berdegup tiga kali lipat dari biasanya, pembuluh darah pun makin membesar tuk membuat desiran darah ini makin lancar tuk mengalir. Kaupun makin mengeratkan dekapanmu dan kita pun melaju menuju tempat yang menjadi tujuan awal kita. Aku layaknya seorang juru kemudi sedang kau adalah navigatornya. Yah maklum saja aku tidak tahu tujuan akhir dari perjalanan ini.

Kita pun akhirnya sampai di sebuah toko tanpa etalase, pengunjungnya lumayan sepi. Aku sebenarnya agak kikuk memasuki ruangan yang cukup legah tersebut, di sekitar hanya kaum hawa yang ada tak ada seorang pun laki-laki dalam ruangan tersebut. Aku hanya duduk tak menemanimu mencari barang yang kau cari, bukan karena malu tapi biasanya selera saya aneh dan takutnya beda dengan seleramu. Tak berselang begitu lama kau membisikkan padaku beberapa kata yang mengisyaratkan bahwa kita harus beranjak meninggalkan tempat itu. 

Selepas dari itu, kaupun kembali menjadi navigatorku tapi kali ini bukan navigator arah tapi navigator hatiku yang mencoba menenangkanku saat emosiku kian membuncah dengan pengemudi yang ogal-ogalan. Sesampainya di sana, aku mengisi kekosongan selah-selah jemariku dengan jemarimu, bukan tuk mengisyaratkan bahwa bisa seperti mereka tapi karena aku hanya ingin membuatmu merasakan bahwa aku ada dan akan tetap ada di sampingmu. Setelah beberapa lama menyusuri ruang-ruang yang dipenuhi dengan lemari-lemari yeng terpajang dan menyusuri celah-celah sempit dimana setiap orang layaknya sibuk dengan dirinya dan tak pernah mau untuk saling menyapa kaupun menemukan apa yang engkau cari. Satu kata yang sebenarnya membuatku terparanjak saat kau ucapkan kata "maaf" telah merepotkan. Kenapa mesti ada kata itu saat aku dan kamu telah menikmati kebersamaan ini? Apakah jarak antara kita masih terlalu jauh?

Kita menikmati malam yang tak biasanya. Aku mengajakmu bertemu dengan orang-orang yang aku dan kau kenal. Bukan untuk mengumbar hubungan kita, bukan! Kondisi yang membuat kita harus seperti itu, namun harus aku akui bahwa aku senang kau mau ikut bersamaku, setidaknya kita telah mampu untuk saling meyakinkan. Keyakinan yang tak perlu kita jelaskan panjang lebar.

Saat hari tak bisa dikatakan senja lagi kita bercengkrama dengan suara yang terbawa angin lalu. Aku kadang mencoba menerka dari apa yang kau ucapkan padaku. Kau sandarkan tubuhmu padaku dan maaf  jika aku pada saat itu merasa "telah memilikimu dan akupun adalah milikmu". Malam itupun kita tutup dengan perbincangan biasa dan petanda bahwa aku menyayangimu.




 




Kamis, 21 Februari 2013

Mooi dan Hujan

Alunan lembut lagu-lagu lawas kini menemaniku siang ini, tak ada yang istimewa sih dari semua itu. Hanya sekadar pengusik rasa kebosananku sendiri di ruangan yang cukup lapang ini. Ruangan sekitar 7x4 meter dengan pencahayaan dan pendingin ruangan yang terbilang cukup bagus. Lagu-lagu itu mengalun dengan bebasnya dari Black Berry warna putih di sebelahku, hingga tiba pada satu lagu yang membuatku mengingat sebuah nama dan membangkitkan kenanganku beberapa waktu yang lalu "Mooi". Lagu Ethiopia "Hujan" yang ternyata mampu menembus alam bawa sadarku dan membawaku pada alam fantasi yang cukup dalam.

Hujan bagiku dan bagi kamu mungkin tak hanya berarti rintik air yang turun dari langit. Hujan memiliki banyak arti bagi kita. Entah itu sebagai sebuah kenangan maupun hanya sebatas objek yang sama-sama kita sukai. Hujan adalah sebuah siklus madya dari proses panjang perjalanan air. Bolehkah aku memaknainya bahwa kita sebenarnya sama halnya dengan rintik hujan. Rintik hujan yang menguap dari laut dan tak tahu akan jatuh ke mana dan akan bertemu dengan siapa. Jarak bukanlah alasan bagi sang rintik untuk bertemu dengan rintik yang lain, toh mereka akan bertemu di laut juga nantinya. Seperti itu pulalah kita, dipertemukan secara tak sengaja oleh waktu. Menyatukan rasa layaknya gaya adhesi pada air, dan harus terpisah pula layaknya percabangan sungai. Kita pun kembali bertemu dengan gaya adhesi yang lebih kuat, mencoba memberi warna melalui bias pelangi. Kita pun berani menantang matahari, melipat keangkuhan jarak dan waktu untuk memberi warna pada pelangi kita dan membentuk rasi bintang kita dengan asterima yang kita bangun bersama.

Di antara warna pelangi itu pernah kita selipkan mimpi untuk hidup bersama dalam sebuah rumah bernuansa hijau, halaman yang ditumbuhi tanaman hijau, dan juga balkon yang dengan bebasnya kita dapat menikmati panorama malam melalui teropong bintang di balkon itu. Kita pun hanya tersenyum-senyum kala membayangkan hal itu, serasa kita telah mengalahkan sang waktu, melompati dimensi yang membatasi kita. Maka biarkanlah mimpi itu berada pada lipatan dimensi jarak dan waktu yang suatu saat nanti kita sibak bersama.

Rabu, 13 Februari 2013

Bintang Penginspiras

Hilang dalam keberadaan adalah kata yang pantas untuk kusematkan pada diriku saat ini. Hati, pikiran, dan Jasad memang masih ada, namun hal lain yang tersirat dari semuanya seakan berada pada ruang keabsuran tanpa batas. Abjad-abjad yang dulunya setia menari bersama jemariku kini tertahan dan terbelenggu bersama kekosongan rasa dalam benakku. Aku pernah bercerita tentang rindu, sayang, benci, dan semua tentangmu. Aku bercerita dengan morf-morf yang membentuk sebuah makna. Aku pun pernah bercerita tentang rintik hujan, asterima, rasi bintang, ilalang dan tentang apapun itu. Sekarang aku hanya ingin bersamamu, melewati malam bersama kepingan-kepingan puzzle yang akan kita rangkai bersama malam yang semakin menggila. Aku ingin kau kau mendengar degup jantungku, mendengar lirih nadaku, atau hanya sekadar melihat tatap mataku.

Dimensi yang menjadikan kita jauh, ingin rasanya melipat dimensi ruang dan waktu agar kau akan selalu ada bersamaku. Atau izinkan aku untuk meminjam bayang tubuhmu, hanya sekadar untuk menyandarkan tubuhku ke pundakmu, atau izinkan aku mendekapmu tuk merasakan setiap degup jantungmu, setiap rona lembut halus kulitmu dan merasakan setiap tarikan nafasmu. Bukan karena lelah, penat atau karena ku tak mampu untuk berdiri. Aku hanya ingin kau rasakan rindu yang semakin membuncah dari seorang perindu yang tak tahu ungkapkan rindu.

"Inspirasi", kau adalah inspirasi dalam setiap kata yang kau ucap. Tapi, aku menyayangimu bukan karena sekadar itu. Kau lebih dari sekadar penginspirasi, aku melihatmu sebagai seorang yang berbeda dan sebagai penyempurna dari ketaksempurnaanku. "Karena aku berbeda" katamu saat itu. Aku tetaplah laut seperti dulu yang penuh dengan gelombang ketakjelasan yang selalu menepi di pantainya, dibalik gelombang itu aku punya dasar yang gelap dan dingin.


Kamis, 24 Januari 2013

Comfuse

Aku selalu yakin dengan kekuatan mimpi dan akupun yakin kalau Tuhan selalu memeluk mimpi-mimpi hamba-Nya. Waktu pertama aku menjadi mahasiswa aku pernah bermimpi untuk menjadi ketua umum di salah satu lembaga kemahasiswaan dan itu tercapai meski pada saat itu aku sebenarnya takut dan merasa belum siap untuk mengembang amanah tersebut. Ketika aku mengikuti pengkaderan di salah satu lembagaku akupun bermimpi ingin pada suatu hari bisa berada di depan sambil membawakan materi dan itupun kini telah pernah bahkan telah sering kualami. Mimpiku pun makin bertambah dari hari ke hari, aku pernah bermimpi ingin menginjakkan kaki di seluruh pulau besar di Indonesia dan itupun kini telah hampir tercapai. 

Aku sebenarnya ingin sekali ke Singgalang atau Merapi dan lebih dari itu aku sebenarnya ingin sekali bertemu dengan seorang sahabatku di sana. Ia pernah bercerita kalau rumahnya diantara dua gunung tersebut, di depannya ada hamparan sawah dan udaranya sangat sejuk. Minggu ini aku sebenarnya bisa mewujudkan mimpi itu andai sahabatku itu pun punya keinginan untuk bertemu, namun diamnya kini membuat aku tak tahu mengartikan semuanya. mungkin belum waktunya memang aku bertemu dengan dia untuk saat ini. Aku pun memutuskan untuk tak berangkat ke Bukit Tinggi atau Padang, aku hanya ingin menikmatui semuanya di Palembang. Aku masih punya mimpi untuk dapat bertemu dengan sahabatku itu di event lain di Universitasnya pada bulan Maret nantinya.

Senin, 14 Januari 2013

Maaf

"Kadang sebuah kesenangan bagi seseorang menjadi awal atau sumber kesedihan bagi orang lain." aku coba mencari sebuah istilah yang cocok dengan diriku, dirimu dan mereka. Aku bukanlah seperti apa yang saya tuliskan di awal tulisan ini. Aku bukanlah tersangka dan kau bukanlah semestinya korban dan mereka bukan pulahlah tumbal dariku. Hanya saja ini terjadi di luar kontrolku, kamu dan mereka. Rasa yang bermain namun nalar menjadi kabur. Ini bukan tentang rasaku, namun rasa mereka, tapi harus kuakui bahwa aku lupa menutup celah yang ada dalam ruang yang entah aku mau namakan apa. Aku akui bahwa persefsi akan lahir bahwa aku adalah orang yang memberi harap dan pengobral janji. Aku tak pernah berjanji pada meraka kok. Hanya saja penyimpangan terhadap rasa yang sulit untuk mereka pungkiri.

Terkhusus untuk sang bintang, penyuka warna hijau dengan lesung pipi kala ia tersenyum aku mau minta maaf atas salahku. Ini sangat berat kuucapkan semoga engkau membaca ini dan ketika kau membacanya kuharap senyummu masih merekah. ^-^

Sabtu, 05 Januari 2013

Terserah

Aku telah melepas semuanya, bagai langit yang menumpahkan hujan ke bumi tanpa pernah meminta air itu kembali padanya. Aku rombak semua pemikiran dan idealismeku tentang perasaaan yang selama ini kupertahankan. Namun, apakah itu berarti bagimu? kau mungkin menganggapnya sebagai usahaku untuk memperbaiki namaku yang telah buram di matamu.Ah, terserah! Ku sudah tak peduli dengan semua persefsi yang akan lahir. Aku sudah tak ingin membuat kesalahan yang sama, yah sama seperti yang pernah aku perbuat padamu "Gadis Lesung Pipi" beberapa waktu yang lalu.

Sayang kini tak hanya menjadi penghias bibir ataukah hanya sebagai petanda. Ia kini telah menemukan kehakikiannya. Aku telah menemukan kebahagian menyayangimu tanpa ingin membentukmu menjadi apa yang kuingin, menjadikanmu wanita yang anggun seperti yang selalu kuinginkan. Sekarang aku telah mendapati dirimu adalah sebuah penyempurna bagiku makhluk yang tak sempurna dan menjadi paripurna karenamu. Apakah engkau tahu atau tidak perasaan ini, aku tak lagi peduli. Aku hanya ingin mencitaimu saat ini, nanti, dan selamanya. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...