Jumat, 28 Juni 2013

Mencintai Bintang

Andai bayangan dapat hadir tanpa cahaya aku ingin jadi bayangan

Kamu suka bintang kan? Namun pernahkah kau berpikir untuk memiliki bintang itu? Mungkin saja iya. Aku juga suka bintang, dulunya sih tidak. Aku mulai menyukainya sejak mengenalmu waktu itu bahkan kaupun menunjukkan padaku rasi bintang yang kau asrimanya kautarik sendiri. Kau menyebutnya rasi bintang beruang kecil. Jujur, aku sih belum bisa membedakannya dengan rasi-rasi bintang yang lain, bahkan bentuknya saja aku belum tahu secara jelas. Tapi, itu selalu saja menjadi topik yang menarik ketika kamu dengan sangat  antusias bercerita tentang bintang, hujan, atau tentang ilalang. Aku secara tak sadar pun telah suka dengan hal-hal yang dulunya tak pernah kuanggap sebagai sesuatu yang istimewa. mungkin aku terlihat terlalu berlebihan yah? Mungkin seperti mendramatisir segala sesuatunya untuk dapat menyentuh sisi lainmu kembali. Mungkin iya bagi sebagian orang atau mungkin pula dirimu, tapi tidak bagiku. Aku hanya bercerita tentang diriku dan yang lahir dari mereka itu hanyalah sebauh persefsi.

Lingkar ingantanku tak lagi tersambung pada paragraf sebelum paragraf ini kumulai. Aku tak lagi temukan lintasan ide yang pernah bergelayut dalam otakku entah beberapa jam yang lalu. Tapi, gejolakku untuk menulis tak lagi dapat kubendung. Aku tak menemukan objek lain yang jauh lebih hebat daripada menulis untuk menumpahkan semua rasaku pada bait-bait kalimat yang mungkin bagi orang lain tak bermakna. Tak usahlah peduli kata mereka, toh aku ingin jadi pemendam rasa.

Pemandam rasa? Yah seperti itulah. Aku ingin diam untuk mengagumimu. Hmmm,,, kenapa tiba-tiba saja ketika aku memulai paragraf ini aku ingin menjadi bayangan saja. Yah, bayangan dirimu, supaya aku selalu dapat melihatmu dalam terangnya cahaya. Tapi, aku tiba-tiba ingat bahwa bayangan kan tak akan ada tanpa ada cahaya, padahal aku ingin mengagumimu meski dalam gelap. Aku terlalu sombong yah? Aku sudah tak logis, mencoba memetaforakan diriku dengan yang lainnya. Mengapa aku tak menjadi angin saja, angin kan tak pernah mengenal waktu. Aku akan bertiup kala pagi dengan tiupan yang berbeda pada senja. Aku hanya akan bertiup saja dan tak akan mengusikmu atau bahkan mengusik ramianya lelaki yang mengejarmu. Sama seperti saat ini, aku menulis tentangmu dan tak pernah berharap kau akan membacanya hari ini, esok atau bahkan ketika nantinya kau telah menjadi nenek dan aku menjadi kakek. Sepertinya aku lebih nyaman seperti ini, yah menjadi seorang pemendam yang tak tahu ujung jalannya akan kemana membawanya.

Aku selalu saja menyukai setiap tingkah kanakmu yang kadang muncul dibalik dewasamu yang sangat dominan. Aku suka caramu menyandarkan pipimu dengan lesungnya di meja makan di sebuah warung kecil dengan payung warna-warni sebagai penghalang sinar diatasnya. Mungkin agak berlebihan caraku menyukai hal itu, padahal aku tahu waktu itu kau sedang sakit. Aku juga caramu tersenyum melihat tingkah kanakku menikmati burger daging yang kuasup di sebuah bangku taman yang bentuknya seperti bangku pantai. Aku terlihat lebih pendek darimu jika aku duduk di situ, tapi aku suka dengan hal itu. Karena aku dapat dengan mudah melihat setiap senyum yang kau sunggingkan saat kau kembali merapatkan pipimu di meja makan itu. Aku juga suka melihat dirimu meniupkan angin dari bibirmu ke ujung jilbabmu. Jilbabmu kau pakai sekenahnya waktu itu, katamu cuaca akhir-akhir ini jauh lebih panas dari biasanya jadi kau tak pakai pelapis jilbab agar udara bisa masuk ke rambutmu. Aku hanya melihatmu seperti itu di tempat yang katamu pertama kali kau diterima sebagai mahasiswa di kampusmu, sekali atau mungkin dua kali seperti itu. Tenang saja aku adalah pemendam yang baik kok.

Aku akan mencintaimu seperti aku mencintai bintang. Aku akan memandangmu dengan sangat hati-hati, menikmati setiap cahaya yang terpancar darimu. Aku akan menuliskan setiap liukan cahaya yang kudapat, atau bahkan hanya sebuah titik diantara gelap akupun akan tetap menulisnya. Kau tak usah bertanya tentang kapan aku akan berakhir menulsi tentangmu. Kau hanya perlu tahu bahwa aku tak akan bisa tak menulis tenatngmu lebih dari sepurnama, dan saat aku tak menulis tentangmu lebih dari itu. Mungkin aku telah menemukan cahaya lain atau mungkin pula telah berada di dimensi lain.


"Aku akan menjadi pemendam yang bai kok, Aku tak akan mengusikmu atau bahkan mengusik orang-orang yang berada di dekatmu. :) 

Kamis, 27 Juni 2013

Pertemuan Rasa


Apakah sakit dapat terobati dengan begitu cepat? Ataukah hanya diriku yang terlalu tak tahu diri datang padamu mencoba mengetuk pintumu yang dulunya pernah aku robek? Apakah pintumu masih kau buka sedang aku telah pernah membuka pintu yang lain? Mengapa kau masih menyimpan semua tentangku sedang sebagian tentangmu telah pernah aku lupa? Mungkin aku harus mengais-ngais kembali semuanya tentangmu. Itu hanya persefsiku saja. Bukankah aku terlalu naif untuk berkata bahwa kau masih punya rasa. Aku terlalu arogan untuk itu sedang pastinya ada di kamu.

Kau masih terlihat sama seperti dulu, sama seperti pertemuan awal kita di bulan kelahiranmu di kotaku. Hanya saja kali ini aku yang lebih cerewet darimu, kau lebih sering diam dengan sunggiman senyuman di bibirmu sebagai bentuk respon minimal dari setiap pernyataan, tanya dan permintaan yang terlontar dariku. Hmmm, malam ini aku ingin bercerita tentang hari kemarin. tentang pertemuan singkat kita. Sahabat Lintas Pulau itulah kita, kembalilah seperti itu. Menjadi asing bagiku dan bagimu untuk waktu yang singkat. Ada selaksa rasa senang ketika melihatmu dalam keadaan sehat dibarengi dengan sesungging senyuman manis dari dirimu. Ah, bahasaku menjadi lebay yah hehehe. Tak apalah, toh ini pertemuan pertama kita sejak setahun yang lalu. Pasti banyak yang berubah di antara kita. Namun, satu yang tak berubah darimu yaitu setiap katamu yang masih saja kucatat dalam memori jangka pendekku yang kemudian akan aku tulis agar tak hilang nantinya ditelan waktu.

Aku ingin memberimu sebuah surprise yang sebenarnya sudah sangat terlambat. Tapi tak apalah, itu sebagai simbol persahabatan kita saja. Tak ada maksud lain seperti ingin membuatmu melupakan kesalahan yang pernah kubuat, sama sekali tak ada. Bagiku sekarang kau adalah sahabatku, Yah sahabat yang selalu menginspirasiku dalam batasan diriku di titik nadir. Ada dua warna yang mewakili tiga jasad hijau untukmu dan untuk Mabrur, dan putih untukku. Banyak cerita yang lahir dari pertemuan singkat kita waktu itu. Aku ingin membaginya dengan rasa.

Senang

Aku pasti senang dapat bertemu denganmu bahkan mungkin lebih dari sekadar perasaan senang. Bukan pada persoalan aku dapat kesempatan untuk membuka pintu yang sudah tertutup. Sama sekali bukan, tapi memang karena aku selalu merindukan pertemuan ini. Aku rindu akan dirimu yang selalu saja menampilkan pesona dari orang-orang yang pernah kutemui, akuaku senang dengan senyummu meski sudah tak seperti senyum yang dulu pernah kulihat, dan aku suka setiap kata yang kau lontarkan yang jauh lebih dewasa dibanding kalimat anak seumuranmu. Ah,,,, aku tak lagi berucap tentang rasa senang ini maka biarkanlah aku menikmati kesenangan ini tanpa perlu kamu dan mereka tahu.

Gugup

Gugup? Mengapa gugup? Yah aku gugp berhadapan denganmu, bahkan jauhb lebih gugup dibanding aku harus bertemu dengan para petinggi kampus atau tokoh nasional sekalipun. mungkin karena kau banyak tahu tentangku. Gugupku ini akhirnya dapat aku atasi setelah kau jabat tanganku dan kau sunggingkan sebuah senyuman padaku.

Salah Tingkah

Aku salah tingkah, yah wajar saja kan. Aku bahkan memesan minuman yang sebenarnya aku tak tahu apa yang sedang aku pesan. Bahkan aku tak menjadi diriku untuk beberapa saat. Aku lebih sering memandangi wajahmu seakan tak acuh dengan keramaian sekitar.

Firasat

Aku ingin memasukkan firasat dalam rasa. Firasat kan buka rasa? Iya mungkin tapi aku tak tahu mau menempatkan hal ini dimana? Aku suka dengan firasat, karena sepertinya aku dapat mengintip dimensi paralel antara kau dan aku di luar dimensi kita sekarang ini. kita sedang bersama di dimensi itu. Ada sulaman rasa yang mengikat antara diriku dengan dirimu (Ah, Aku terlalu berharap). Aku sudah merasakan hadirmu jau sebelum kau menemukan kami secara tak sengaja. Bahkan aku sebenarnya ingin mengambil jalan memutar yang cukup jauh namun aku merasa berat pada teman yang sudah susah payah mengantarku.

Kagum

Yah, aku tak perlu menjelaskan ini. Aku sudah mengagumimu jauh sebelum ada ikatan dan lepasnya ikatan itu.

Harap

...

"Hanya sebagai catatan pengingat tentangmu. Sahabat semoga tentang bisa menjadi sahabat"





Masih Mengagumimu

Tetaplah Jadi Bintang dan Biarkan Aku Tetap Mengagumimu
Juni masih hujan, yah tak seperti tahun-tahun sebelumnya. musim kan seharusnya telah berganti. Apakah musimnya sudah tak beraturan lagi ataukah memori jangka panjangku saja yang mulai trouble. Ah, tak usahlah aku berdebat dengan diriku sendiri tentang hal itu. Toh, perdebatan ini tak akan mengembalikan musim seperti sedia kala. Kita bertemu kembali di persimpangan jalan rasa yang terbisukan dan ku tak mau kita berpisah di ujung jalan yang terbisukan pula. Lisankan kalimat, klausa, frase, kata atau cukup dengan morf saja! agar nantinya aku memiliki kesibukan untuk merangkai setiap morf-morf yang kau beri dan kemudian menerjemahkannya sesuai inginku. Kemarin aku memberimu sebuah isyarat merah, bukan abu-abu agar kau faham bahwa aku ingin membawamu pada sebuah kepastian harap. Aku membiarkanmu pulang untuk mengeja kembali setiap abjad yang sempat terlisankan, dan hari tak lagi senja maka istirahatkankanlah dirimu pada matimu yang sementara. Aku tak ingin ada tendensi rasa dariku untukmu, aku membiarkanmu melebarkan sayap-sayap rasamu menerawang jauh melampaui imajimu, atau kalau kau tak mampu untuk itu mari bersamaku menjejali setiap inchi pasir pantai, setiap desibel suara debur ombak, dan setiap gemericik air sungai.

Aku suka caramu tersenyum padaku ketika aku menjadi diriku, tapi kadang aku alfa kapan aku menjadi diriku dan kapan aku menjadi orang lain. Aku selalu saja menemukan cara membuatmu berada pada sebuah pilihan. Ah, pikirku menantang! Aku terlalu ego untuk itu. Aku seakan mengatur Tuhan dengan takdirnya. Aku seakan memaksakan bumi untuk berputar melawan arah rotasinya atau mungkin menantang angin malam untuk menjadi angin laut. Aku memang egois ketika berhadapan denganmu, mungkin karena keterbatasanku untuk pantas bagimu hingga aku harus memilih memaksakan hati dan dan pikirku agar aku terlihat seimbang. Ah, itu apologiku saja barangkali! Bukankah aku sudah terlalu lihai untuk menyakiti tanpa pernah berpikir orang yang aku sakiti. Bukankah aku adalah manusia berhati dingin yang tak tahu arti kehangatan kasih sayang. Aku mungkin memegang satu sisi kontradiktif dunia namun tak bisa melihat satu sisi lainnya bahkan untuk merasakannya aku tak bisa.

Ini semua memang salah, gila, dan sangat tidak logis. Bukankah hati sama seperti tanah. Mengapa harus tanah? Logikanlah hati sebagai tanah dan paku sebagai pencipta sakitnya. Aku pernah menancapkan paku di tanahmu. Satu kali, dua kali, tiga kali, pasti lebih dari itu hingga aku tak dapat lagi menghitungnya. Aku kan manusia berhati dingin yang tak tahu tentang arti hangatnya kasih sayang. Aku terlalu naif menganggap bahwa ketika aku mencabut paku-paku itu maka tanah itu akan seperti sedia kala. Tidak kan, tanah itu berlubang dan retak. Tanah saja akan retak meski pakunya telah tercabut, bagaimana mungkin hatimu akan seperti sedia kala untuk legowo menerima setiap salah yang pernah kucipta. Bukankah aku terlalu arogan untuk itu. Aku ingin menutup tulisanku ini dengan kata yang sangat engaku suka menurutku "Bintang".

"Tetaplah menjadi bintang dan akupun akan tetap menjadi laut, Laut selalu saja mengagumi bintang. Tapi apakah laut ingin memilki bintang dan menyelipkannya dalam palungnya. Iya, itu dulu. Sekarang laut tahu bahwa bintang tak pantas untuk di palungnya, Bintang terlalu rendah untuk berada di dasar laut. Biarlah bintang tetap berada di langit dan biarkan pula laut untuk tetap dapat mengaguminya"



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...