Selasa, 26 Februari 2013

Di Pertigaan Jalan

"Bukan kau yang salah karena telah menyakiti tapi aku yang salah karena telah mencintaimu" tiba-tiba saja potongan kata-kata itu membuat mataku berhenti sejenak untuk membaca postingan-postingan di dinding akun Facebookku. Kata yang cukup sederhana dan sangat ringan namun punya sejuta makna dibalik ringannya kata itu. Aku memang tak pernah sadar telah terjatuh dalam sebuah labirin rasa yang awal dan akhirnya tak pernah aku tahu. Aku tak pernah tahu awal aku masuk dalam labirin itu dan sekarang aku tak tahu arah mana yang akan aku pilih tuk keluar dari labirin itu. Aku mungkin bisa mengatakan bahwa ada titik kulminasi diatas titik nadir. Yah, sebab aku telah pernah merasakan bagaimana rasanya berada di titik nadir dan sekarang aku merasakannya lagi bahkan labih. Akupun tak pernah tahu kapan engkau masuk mengisi celah kosong dalam sudut kelam hatiku. 

Ada beberapa kata yang sangat sederhana namun mampu menyentuh sisi lain dari kerasnya hatiku. Kau pernah bertanya padaku di sebuah pertigaan jalan "Apa yang kau suka dariku?" katamu sambil mendekapku dengan lembut. Aku menjawab semua tentangmu. Kau kembali bertanya "kenapa kau bisa cinta akitipadaku" aku terdiam sebab aku tak pernah tahu apa dan kapan aku mulai mencintaimu. Sekalabat saja rasa itu datang dan mengisi ruang-ruang kosong dalam diriku. "Sulit kan?" tanyamu lagi. Aku hanya mengangguk mengiyakan pernyataanmu. Kaupun kembali bertanya lagi dengan pertanyaan yang bukan aku tak tahu jawabannya tapi tak sanggup aku menjawabnya. "Bagaimana nantinya jika aku meniggalkanmu?" tanyamu. Aku terdiam, sebegitu ringannyakah pertanyaan itu terlontar darimu? Aku tak mau menjawabnya kataku waktu itu. Berarti kau tak pernah siap untuk hal itu, kita harus membicarakannya. Aku takut kecewa dan aku takut menyakitimu katamu saat itu. Bukankah kau telah menyakitiku saat ini dengan pertanyaanmu? jawabku. Setelah itu kita pun saling terdiam, hingga nada dan intonasi suara kita berubah. lembut namun serak seakan tak mampu melawan angin malam yang sepoi berhembus. Hanya satu kata yang sempat kuingat saat itu kau berkata "hari itu sudah dekat, hari dimana aku akan meniggalkanmu" setidaknya itu yang saya fahami dari redaksimu yang tak sepenuhnya sampai pada otakku.

Hari ini pun aku meragu apakah hari itu adalah hari ini atau masih ada hari setelah hari ini untuk aku dan kau dan untuk "Kita".

Senin, 25 Februari 2013

Pagi Ini

Pagi ini matahari begitu angkuh tuk menampakkan wajahnya di depanku, hanya biasnya yang dengan santainya menerobos masuk ke dalam kamarku dari celah-celah jendela yang tidak tertutup rapat. Bias yang tak hanya mengobrak-abrik seluruh sisi gelap di ruang sempit tempat aku bernostalgia dengan kenangan-kenagan yang baru kemarin "aku dan kamu" rangkai, tapi juga mampu menembus serabut-serabut saraf kecil dan aliran darah di kelopak mata yang masih enggan untuk terbuka. "Ah, masih terlalu pagi" pikirku, toh hari ini aku enggan beranjak dari pembaringanku. Aku masih ingin menikmati dekapanmu, suara manjamu, sinismu dan tatapan tajammu padaku saat kau meminta penjelasan dariku. Semua itu masih terlihat jelas di mataku, tapi bukan saat aku membuka mata tapi saat aku terlelap.

Kemarin dan dua hari yang lalu kita masih sempat bercengkrama, berbincang dan kadang diselingi dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang menurutku masih wajar. Saat mentari telah beranjak dari jarak terdekatnya dari bumi, kita pun beranjak meninggalkan tempat yang telah banyak menggoreskan tulisan-tulisan yang belum sempat aku perlihatkan padamu. Tulisan-tulisan yang dulunya aku ingin berikan di hari spesial nantinya, hari dimana hijau, hitam, dan putih menyatu menjadi warna yang peripurna tanpa ada sekat sedikitpun.Kita beranjak menyusuri lorong-lorong kecil, lorong yang belum pernah aku lewati sebelumnya. Kau dekapkan tanganmu di pinggangku dengan manja, aku pun hanya terdiam dan merasakan setiap gelombang yang kau alirkan melalui tanganmu. Gelombang lembut yang jauh lebih lembut dari nuansa cahaya jingga dan kuning, namun aku harus akui kalau aku terjatuh dalam gelombang kelembutannya.Gelombang yang tanpa dialiri listrik namun mampu membuat jantungku berdegup tiga kali lipat dari biasanya, pembuluh darah pun makin membesar tuk membuat desiran darah ini makin lancar tuk mengalir. Kaupun makin mengeratkan dekapanmu dan kita pun melaju menuju tempat yang menjadi tujuan awal kita. Aku layaknya seorang juru kemudi sedang kau adalah navigatornya. Yah maklum saja aku tidak tahu tujuan akhir dari perjalanan ini.

Kita pun akhirnya sampai di sebuah toko tanpa etalase, pengunjungnya lumayan sepi. Aku sebenarnya agak kikuk memasuki ruangan yang cukup legah tersebut, di sekitar hanya kaum hawa yang ada tak ada seorang pun laki-laki dalam ruangan tersebut. Aku hanya duduk tak menemanimu mencari barang yang kau cari, bukan karena malu tapi biasanya selera saya aneh dan takutnya beda dengan seleramu. Tak berselang begitu lama kau membisikkan padaku beberapa kata yang mengisyaratkan bahwa kita harus beranjak meninggalkan tempat itu. 

Selepas dari itu, kaupun kembali menjadi navigatorku tapi kali ini bukan navigator arah tapi navigator hatiku yang mencoba menenangkanku saat emosiku kian membuncah dengan pengemudi yang ogal-ogalan. Sesampainya di sana, aku mengisi kekosongan selah-selah jemariku dengan jemarimu, bukan tuk mengisyaratkan bahwa bisa seperti mereka tapi karena aku hanya ingin membuatmu merasakan bahwa aku ada dan akan tetap ada di sampingmu. Setelah beberapa lama menyusuri ruang-ruang yang dipenuhi dengan lemari-lemari yeng terpajang dan menyusuri celah-celah sempit dimana setiap orang layaknya sibuk dengan dirinya dan tak pernah mau untuk saling menyapa kaupun menemukan apa yang engkau cari. Satu kata yang sebenarnya membuatku terparanjak saat kau ucapkan kata "maaf" telah merepotkan. Kenapa mesti ada kata itu saat aku dan kamu telah menikmati kebersamaan ini? Apakah jarak antara kita masih terlalu jauh?

Kita menikmati malam yang tak biasanya. Aku mengajakmu bertemu dengan orang-orang yang aku dan kau kenal. Bukan untuk mengumbar hubungan kita, bukan! Kondisi yang membuat kita harus seperti itu, namun harus aku akui bahwa aku senang kau mau ikut bersamaku, setidaknya kita telah mampu untuk saling meyakinkan. Keyakinan yang tak perlu kita jelaskan panjang lebar.

Saat hari tak bisa dikatakan senja lagi kita bercengkrama dengan suara yang terbawa angin lalu. Aku kadang mencoba menerka dari apa yang kau ucapkan padaku. Kau sandarkan tubuhmu padaku dan maaf  jika aku pada saat itu merasa "telah memilikimu dan akupun adalah milikmu". Malam itupun kita tutup dengan perbincangan biasa dan petanda bahwa aku menyayangimu.




 




Kamis, 21 Februari 2013

Mooi dan Hujan

Alunan lembut lagu-lagu lawas kini menemaniku siang ini, tak ada yang istimewa sih dari semua itu. Hanya sekadar pengusik rasa kebosananku sendiri di ruangan yang cukup lapang ini. Ruangan sekitar 7x4 meter dengan pencahayaan dan pendingin ruangan yang terbilang cukup bagus. Lagu-lagu itu mengalun dengan bebasnya dari Black Berry warna putih di sebelahku, hingga tiba pada satu lagu yang membuatku mengingat sebuah nama dan membangkitkan kenanganku beberapa waktu yang lalu "Mooi". Lagu Ethiopia "Hujan" yang ternyata mampu menembus alam bawa sadarku dan membawaku pada alam fantasi yang cukup dalam.

Hujan bagiku dan bagi kamu mungkin tak hanya berarti rintik air yang turun dari langit. Hujan memiliki banyak arti bagi kita. Entah itu sebagai sebuah kenangan maupun hanya sebatas objek yang sama-sama kita sukai. Hujan adalah sebuah siklus madya dari proses panjang perjalanan air. Bolehkah aku memaknainya bahwa kita sebenarnya sama halnya dengan rintik hujan. Rintik hujan yang menguap dari laut dan tak tahu akan jatuh ke mana dan akan bertemu dengan siapa. Jarak bukanlah alasan bagi sang rintik untuk bertemu dengan rintik yang lain, toh mereka akan bertemu di laut juga nantinya. Seperti itu pulalah kita, dipertemukan secara tak sengaja oleh waktu. Menyatukan rasa layaknya gaya adhesi pada air, dan harus terpisah pula layaknya percabangan sungai. Kita pun kembali bertemu dengan gaya adhesi yang lebih kuat, mencoba memberi warna melalui bias pelangi. Kita pun berani menantang matahari, melipat keangkuhan jarak dan waktu untuk memberi warna pada pelangi kita dan membentuk rasi bintang kita dengan asterima yang kita bangun bersama.

Di antara warna pelangi itu pernah kita selipkan mimpi untuk hidup bersama dalam sebuah rumah bernuansa hijau, halaman yang ditumbuhi tanaman hijau, dan juga balkon yang dengan bebasnya kita dapat menikmati panorama malam melalui teropong bintang di balkon itu. Kita pun hanya tersenyum-senyum kala membayangkan hal itu, serasa kita telah mengalahkan sang waktu, melompati dimensi yang membatasi kita. Maka biarkanlah mimpi itu berada pada lipatan dimensi jarak dan waktu yang suatu saat nanti kita sibak bersama.

Rabu, 13 Februari 2013

Bintang Penginspiras

Hilang dalam keberadaan adalah kata yang pantas untuk kusematkan pada diriku saat ini. Hati, pikiran, dan Jasad memang masih ada, namun hal lain yang tersirat dari semuanya seakan berada pada ruang keabsuran tanpa batas. Abjad-abjad yang dulunya setia menari bersama jemariku kini tertahan dan terbelenggu bersama kekosongan rasa dalam benakku. Aku pernah bercerita tentang rindu, sayang, benci, dan semua tentangmu. Aku bercerita dengan morf-morf yang membentuk sebuah makna. Aku pun pernah bercerita tentang rintik hujan, asterima, rasi bintang, ilalang dan tentang apapun itu. Sekarang aku hanya ingin bersamamu, melewati malam bersama kepingan-kepingan puzzle yang akan kita rangkai bersama malam yang semakin menggila. Aku ingin kau kau mendengar degup jantungku, mendengar lirih nadaku, atau hanya sekadar melihat tatap mataku.

Dimensi yang menjadikan kita jauh, ingin rasanya melipat dimensi ruang dan waktu agar kau akan selalu ada bersamaku. Atau izinkan aku untuk meminjam bayang tubuhmu, hanya sekadar untuk menyandarkan tubuhku ke pundakmu, atau izinkan aku mendekapmu tuk merasakan setiap degup jantungmu, setiap rona lembut halus kulitmu dan merasakan setiap tarikan nafasmu. Bukan karena lelah, penat atau karena ku tak mampu untuk berdiri. Aku hanya ingin kau rasakan rindu yang semakin membuncah dari seorang perindu yang tak tahu ungkapkan rindu.

"Inspirasi", kau adalah inspirasi dalam setiap kata yang kau ucap. Tapi, aku menyayangimu bukan karena sekadar itu. Kau lebih dari sekadar penginspirasi, aku melihatmu sebagai seorang yang berbeda dan sebagai penyempurna dari ketaksempurnaanku. "Karena aku berbeda" katamu saat itu. Aku tetaplah laut seperti dulu yang penuh dengan gelombang ketakjelasan yang selalu menepi di pantainya, dibalik gelombang itu aku punya dasar yang gelap dan dingin.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...