Rabu, 31 Juli 2013

Pilihan dan Harapan

Persimpangan itu pun akhirnya hadir, sebuah persimpangan rasa yang mengharuskan untuk memilih. Menurutkan rasa atau justru bertahan atas dasar empati. Aku terlalu naif telah membawa mereka pada jalan seperti ini.Apakah aku yang membodohi atau justru aku yang telah terbodohi. Sebuah hubungan yang dibangun atas dasar kebohongan pasti akan melahirkan kebohongan-kebohongan selanjutnya untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya. Sebuah hubungan yang diawali dengan pengkhianatann kepada pasangan semula  pun akan melahirkan pengkhianatan-pengkhianatan selanjutnya, toh pengkhianatan bagi mereka telah menjadi hal yang lumrah dan bukanlah sebuah hal yang perlu dihiperbolakan.

Mari bercerita tentang persimpangan ini, sebuah persimpangan yang akhirnya telah melahirkan berbagai luka. Aku di sini masih bersama dia, bukan atas dasar sayang hanya atas dasar menghargai. Aku pun telah berjanji pada hatiku tak akan mengusik hidupmu di sana, cukup kau menjadi teman berbagi bagiku. Mungkin aku harus meninggalkan semuanya untuk mencari sesuatu yang baru, mungkin akan terlihat seperti sebuah siklus pengkhianatan, tapi aku harus melepaskan semua kenangan dan berpindah pada dimensi lain dari hidup ini. Dimensi dimana kamu, dia dan mereka menjadi sesuatu yang biasa dan seolah tak pernah terjadi sesuatu antara kita. Ini bukan tentang melupakan, hanya berpindah fase.

Kelak di fase itu, aku akan menemukan seseorang yang pantas untukku, kan kaupun telah menemukan seseorang yang mungkin kau anggap pantas untukmu. Dan "dia" semoga dapat melanjtkan fasenya atau justru kembali pada orang yang masih mencintainya melebihi rasa sukaku padanya. Semoga saja tak ada yang tersakiti satu fase setelah fase ini.

Rabu, 03 Juli 2013

"Janji" Senja dan Jingga


Aku cemburu pada Setianya Jingga pada Senja
Biarkan aku bercerita tanpa tema, topik, bahkan judul hari ini. Biarkan aku untuk saat ini hanya menikmati irama-irama keyboard yang saling beradu dengan jemariku. Biarkan aku tak terusik oleh rindu yang bahkan dengan kata pun aku tak bisa takar kadarnya. Biarkan aku menikmati terik siang ini tanpa pernah merindukan hujan di bulan Juli. Biarkan aku kacau dalam sekacau-kacaunya kacau!!!

Panas telah meradang menelanjangi bumi dengan teriknya saat semua yang terasa masih tetap terasa. Sedang aku telah bersepakat pada siang untuk tak mengusik senja nanti. Biarkan senja dan jingga bercumbu lebih lama dibanding waktu-waktu biasanya. Bukankah matahari senja adalah pejanji yang tak pernah ingkar untuk selalu menemui jingga di waktu yang tetap sama. Aku cemburu padanya, aku cemburu pada kesetiaanya.

"Janji", Senja dan jingga mungkin tak pernah mengikrarkan janji, tapi toh mereka tetap saja setia pada rutinitas yang kelihatannya sangat membosankan itu. Bertemu di angka enam dan berpisah di angka tujuh. Ikatan yang sudah lepas pasti akan sulit terikat kembali. Aku hanya ingin membuat simpul untukmu, seperti yang dulu pernah aku janjikan. Aku tak akan memberimu sebuah harapan apalagi janji. Cukup kau berjalan di jalanmu dan aku akan tetap menjadi pengangummu di sini. Cukup itu saja, toh dengan angin yang bertiup padamu pun aku enggan mengusik. 

Kembali pada sebagian perjalanan, merekam kembali potongan-potongan memori yang pernah terusik jarak dan waktu. Mengenang potongan-potongan yang sama seperti potongan puzzle kehidupan yang gambar akhirnya pun belum bisa kutebak saat ini. Tapi, ada namamu yang selalu terselip di tengadah tanganku di awala sebelum pagi menjemput dan saat senja berganti gelap. 

Jawaban atas tanya pada diri selalu saja datang dari diri juga. Apakah kita akan memilih jalan memutar untuk kembali bertemu di ujung sunyi sana ataukah kita akan bertemu pada sebuah persimpangan yang tak lagi deterministik. Tak perlu gusar akan simpul yang masih samar di halaman terakhir jalan kita. Ternyata aku terlalu yakin akan diriku, terlalu yakin akan sanggupku dan terlalu yakin akan rasa yang tak sakit.

Jodoh dan Rezeki telah dituliskan Tuhan dalam kitab-Nya. Pikiran jenakaku selalu saja muncul, bertanya pada diri seberapa besarkah kitab Tuhan itu? Mungkikah Tuhan menuliskan namaku dan namamu pada halaman yang sama? Tahu saja bahwa namamu dan namaku berada pada halaman yang sama sudah membuatku melayang, apalagi kalau tahu bahwa namamu dan namaku berada di paragraf yang sama atau bahkan berada di garis yang sama. Itu hanya pikiran jenakaku saja kok. 

"Aku cemburu pada senja dan jingga, tapi tak secemburu ketika pada ilalang yang kau berikan senyuman terindahmu"




Pembantai Kata-kata


Siang itu matahari terasa berada pada titik terjauhnya, terasa tapi tak terlihat. Padahal jarum jam telah jenuh bermain di angka sebelas. Ada Chaos dalam alur pikirku kali ini, aku tak kacau dalam berpikir, hanya saja ada ketakaturan dalam keteraturan yang saya rasa. Semua terjadi dalam sistem deterministik seperti senyum yang kau berikan saat melihat ilalang bergoyang tertiup sepoi angin. Aku jadi lelaki pecemburu bahkan jadi posesif,  pada ilalang pun aku cemburu. Kenapa mesti kau berikan senyumanmu pada ilalang itu hanya karena ia bergoyang dengan lembut? apakah kau akan memberiku senyuman yang sama saat aku menari-nari di depanmu. Ah, mungkin aku terlalu kekanak-kanakan.

Aku jadi ingat dengan istilah butterfly effect, sebuah istilah dalam dunia fisika yang banyak diadopsi oleh para penulis untuk menganalogikannya denga sesuatu di luar hakikat sebenarnya. Mungkin saat ini aku berada pada butterfly effect sama seperti yang mereka maksud, sebuah resonansi sederhana yang mampu menjadikan sistem yang sangat deterministik menjadi sangat kompleks. Yah, kau hanya menyunggingkan senyummu sebagai katalisatornya dan sampai saat ini aku masih berpikir tentang dirimu. "Aku sudah tak logis".

Di luar masih hujan, rintik-rintiknya terdengar jelas membentuk sebuah irama khas. Hujan selalu mampu meresonansikan kenangan. Hujan waktu itu di kotamu adalah hujan pertama yang kunikmati bersamamu. Sebelumnya kita pernah empat kali bertemu di empat pulau yang berbeda pula. Kau sangat suka hujan, bahkan saat dalam kondisi tak wajar pun kau masih saja suka dengan hujan. Aku memang kadang suka hujan apalagi setelah mengenalmu, tapi tentunya tak sesuka aku pada dirimu. Tapi, aneh kan kalau kita masih bisa berlindung di bawah terpal-terpal emperang kios di pasar lantas kita bermain hujan? Tapi, andai itu kau pilih saat itu aku dengan senang hati akan menemanimu, toh aku belum pernah menikmati hujan bersamamu.

Dewasamu dalam berujar ternyata belum mampu menyembunyikan polosnya mimik dirimu. Kamu tahu kan, di luar sana banyak manusia yang katanya sangat suka dengan hujan. Tapi, saat hujan turun mimiknya tak jauh berubah bahkan mereka bersembunyi di balik payung. Kau pun bukanlah pemain drama yang hebat, kau tak bisa bersandiwara dengan ekspresimu. Ah, aku tak bercerita tentang pertemuan kau dan mereka. "Aku adalah lelaki pecemburu tapi bisa menyembunyikan perasaanku itu, karena aku sadar aku dan kau tak seperti sebelum pertengahan bulan terakhir tahun kemarin".

"Aku hanya ingin lebih lama di sini bersamamu"






Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...