Minggu, 19 Januari 2014

Ruang "Bijak" di antara "Kebutuhan" dan "Keinginan/Hasrat"

"Bijaksana", kata itu masih sangat jauh dariku untuk saat ini. Aku sangat menyukai kata itu dan sangat ingin kata itu dapat saya lekatkan sendiri pada diriku. Aku adalah seorang yang biasanya bahkan bisa dikata selalu menggunakan logika terbalik untuk meyakinkan diriku pada entitas diriku yang selau saya ragukan. Pikiranku memang akhir-akhir ini lebih banyak bifurkasi dibanding hari-hari sebelum ini, maka biarkanlah aku menuliskan semua racauanku yang mungkin terdengar seperti omong kosong belaka. Bukankah kita memang baru memaknai "isi" jika ada pembanding yang kita namakan "kosong". Kembali ke topik tentang bijaksana, sekarang aku merasa kata itu sangat jauh dari dariku saat ini. Mungkin karena banyaknya masalah atau mungkin orang bijak menyebutnya sebagai "tantangan", tapi bolehkah aku keluar dari sebutan "bijak" itu dan menyebutnya sebagai masalah? 



***

Dua hari yang lalu ummiku datang berkunjung ke Makassar, tepatnya datang mengunjungiku di rumah kontrakanku. Aku tak mau membahas tentang bagaimana ia datang, mengapa ia datang, dan bagaiman proses ia bisa sampai di rumah dan bertemu denganku. Ada sebuah moment yang ternyata mampu membuat seluruh rongga dalam dada ini seakan kosong, sebuah kesadaran betapa banyaknya gelombang yang orang sosialis menyebutnya sebagai efek globalisasi, atau mungkin kamu "Mooi" akan menyebutnya zaman Aquarius. Hari itu aku dan ummiku pergi ke sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota semimetropolitan ini, aku memang biasanya belanja hampir semua kebutuhanku di tempat itu. Apalagi masalah fashion. Iya, beberapa bulan ini aku memang sedikit menjadi seorang yang agak hedon. Hingga saat aku mengajak menelusuri beberapa toko pakaian di pusat perbelanjaan teresebut, ia hendak membelikan bapak saya sebuah kemeja. Katanya "kemeja bapakmu, sudah agak lusuh". Aku ajak saja ke toko pakaian di mana saya biasanya berbelanja, ia agak kaget melihat harga-harga pakaian yang tertera pada plang-plang yang dapat dibaca dengan sangat jelas meski dengan mata minus sekalipun. 

Disitulah aku tersentak, betapa berlebihannya cara hidupku sekarang. Bahkan harga tersebut hanya sama seperti bon harga dua buah paket Triple Beef Burger yang biasanya saya pesan ketika mentraktir teman yang baru saja aku kenal, bahkan tak lebih mahal dari sekadar teriak-teriak tak jelas di tempat karaokean atau sekadar memuaskan mata dengan menonton film-film box office terbaru yang nantinya pun akan dapat ditonton versi blue raynya, toh tokoh, plot dan ceritanya tak berbeda. Tak usahlah aku membandingkannya dengan objek yang serupa, karena aku benci sebenarnya dengan angka-angka dan semua yang bersifat matematis. Hanya saja aku teringat sebuah ujaran Mahatma Gandhi "Dunia ini cukup untuk seluruh manusia, tetapi tak akan cukup untuk seorang manusia yang serakah". Dan, kalimat  itulah yang seakan membawaku pada sebuah keinsafan sementara dan mungkin sebuah keinsafan yang pseoudo. Apa yang menjadi kebutuhanku jika dipikir dengan bijak sebenarnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang menjadi keinginanku dan selama ini saya selalu memperturutkan apa yang menjadi keinginanku. 

***

Aku menyukai kesederhanaan dan akupun suka dengan wanita yang tampil apa adanya. Standar sederhana apakah perlu sebuah pendefinisian yang lebih renik tentang itu? seharusnya seperti itu, karena persefsi akan selalu berbeda sesuai dengan kondisi realitas yang dialami seseorang.Tulisan kan tak pernah lahir dalam sebauh kekosongan budaya, namun selalu dipengaruhi oleh mimetik dan pengaruh latar belakang penulis itu sendiri.

Terlalu jauh sepertinya hingga menyentil permasalahan itu, aku hanya ingin memberi koridor pada diriku. Bukankah hal yang paling tersulit adalah sebuah keinsafan yang kemudian berlanjut pada tindakan atas dasar keinsafan itu. Koridor bukanlah sebuah pembatasan secara semena-mena oleh diri sendiri, namun mencoba memberi ruang pada kata "Bijak" dalam mengambil sebuah keputusan, khususnya dalam mengkinsumsi dan mengeksploitasi hasil alam. Satu sampai tiga pasang sepatu, tujuh lembar pakaian kerja, lima lembar pakain santai, sebuah arloji, dan sebuah HP sepertinya cukup untuk kategori kebutuhan dalam bidang fashion. Sebuah keinsafan yang tetiba datang jika kulihat rak sepatuku yang sudah penuh sesak dan bahkan ada beberapa yang hanya beberapa kali kupakai, begitupun dengan lemari pakaian dan asesoris-asesoris pelengkap lainnya. 

Ah, kenapa aku jadi matematis seperti ini. Hidup sudah susah kenapa mesti dibuat susah lagi. Namun, apakah kita menjadi lebih susah dengan menyisipkan sedikit ruang pada kata "Bijak" pada pilihan "Kebutuhan" dan "Keinginan/Hasrat". Semoga saja tidak.




Senin, 06 Januari 2014

Arti Hadir

Kadang seseorang perlu menghilang sejenak, bukan karena ia menyerah tapi karena adanya serasa tak dihargai. Bukankah rasa rindu hadir bukan kepada orang yang selalu ada, tetapi pada orang yang pernah selalu ada namun kini tiada. Saya tak pernah berharap kalau aku akan dirindukan, tapi cukup kau anggap aku ada di antara ribuan orang yang memberimu rasa. Cukup itu saja!



"Menjenuhkan", mungkin itulah persfektifmu bagiku, iya aku memang tak seromantis para ribuan "Romeo" yang mengejarmu diluar sana. Aku hanya menawarkan "Ada" pada dirimu. Aku bahkan tak pernah mengatakan kata "Cinta dan Sayang" padamu, bukan karena aku tak bisa. Hanya saja aku menyimpan kata itu untukmu di saat aku sudah pantas untuk mengucapkannya padamu. Mungkin terlihat "Cemen, penakut atau Jaim", yah anggaplah itu sebagai caraku untuk mencintaimu. 

Kau Istimewa, maka aku pun harus mencintaimu dengan istimewa. Iya, kau cukup istimewa, bahkan sangat istimewa bagiku. Mungkin kau berpikiran bahwa aku menganggapmu istimewa karena kau cantik. Tidak! Banyak yang jauh lebih cantik dari kamu kok. Tahu tidak arti istimewa bagiku? Rasa nyaman? Iya, rasa nyaman. Aku merasa nyaman jika melihatmu. Rasa tenang? iya aku tenang jika berada di sampingmu. Itu saja, cukup itu saja. 

Aku sudah cukup berdialog pada diriku tentang arti dirimu bagiku dan arti diriku bagimu. Dan, kucukupkan tulisan ini tanpa tokoh lazimnya cerita-cerita narasi  elegi lainnya, karena kuingin kau akan mengerti dan memeberi nama pada tokoh "Aku dan Kau" dalam cerita elegi ini.

"Rasa rindu hadir bukan kepada orang yang selalu ada,
 tetapi pada orang yang pernah selalu ada namun kini tiada"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...