Selasa, 06 Juni 2017

Dialog Rasa

Sintaksis Rasa

“Di sudut senyummu aku pernah menemukan pulang, tempat yang hari ini sengaja aku makamkan bersama genangan luka”. Tiba-tiba saja quote tersebut saya dapati dari sebuah aplikasi jejaring sosial. Quote yang begitu ringan, namun sarat akan makna ratapan rasa. Semua orang pasti pernah berkenalan dengan kecewa, entah dia menjadi subjek yang menjadikan kata kecewa itu hadir ataukah mungkin menjadi objek dari kata kecewa itu, dan skenario terkejamnya adalah menjadi parasit timbulnya kata kecewa itu.

Telah lama saya pendam tumpukan rasa ini, rasa yang hadir karena dirimu yang menjadi subjek dari verba kecewa itu dan saya yang menjadi objeknya. Ini bukan kalimat simpleks saja dalam struktur sintaksis, ini telah menjadi sebuah kalimar kompleks, karena telah hadir kata dia yang menjadi pelengkap sebagai tokoh antagonisnya. Ahhhh sudahlah, toh dengan ini semua berakhir dengan bahagia bagiku dan saya harap ini adalah sebuah hijrah rasa yang abadi dan mungkin juga bagimu yang dapat merasakan kebahagiaan temporal. Ahhhh, sepertinya saya terlalu lembut untuk mengatakannya sebagai sebuah kebahagiaan, karena kebahagiaan lahir dari hati bukan nafsu. Mungkin saya lebih cocok menyebutnya sebagai sebuah kesenangan sesaat.

Sumber Gambar

Fase Rasa yang Berulang

“Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni, dihapusnya jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu (SDD)”. Saya ingin menjadi hujan di bulan Juni, yang menghapus semua jejak-jejak kenangan yang pernah kita lewati bersama. Andai Juni telah hilang dari kalender masehi, maka mungkin tak ada lagi jejak yang tersisa tentangmu. Hanya saja Juni masih hadir sebagai pengingat, untung hanya sebagai pengingat dan tak mampu menjadi pengenang.

Ini hanyalah sebuah fase bukan siklus, titik dimana saya berpindah dan tidak akan kembali. Kau pernah melontarkan kata sesal, bukankah sesal memang adalah sebuah efek logis dari kata kecewa. Sayangnya apriori telah lebih dulu hadir di diriku daripadi empati. Karena bagiku menjadi “Setia” itu bukanlah sebuah perkara sulit, lantas jika itu tidak bisa dilakukan apalagi yang bisa diharapkan dari sebuah pasangan.

Hijrah Rasa

Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak QS. An-Nisaa 100). Potongan ayat ini was a candle in the dark for me. Kita memiliki harapan dan cita-cita karena kita perca
ya bahwa Tuhan itu ada. Saya pernah terjatuh, bahkan bisa dikata bahwa saat itu saya berada di sebuah titik nadir kehidupanku. Tapi, bukankah keindahan puncak tidak terlihat di puncaknya tapi justru di lembahnya.

Chemistry”, dulu saya salah tafsir tentang kata ini. Kesadaranku akan tafsir kata ini lahir entah dari mana, stimulus itu hadir mungkin dari sebuah tulisan sederhana bahwa hubungan yang ideal itu tidak “capek”. Capek tidak lahir hanya karena adanya penumpukan asam laktat pada otot tetapi adanya akumulasi antara hal tersebut dengan keadaan psikis yang merasa tidak nyaman. Rasa nyaman lahir dari adanya empati yang saling berbalas. Hubungan adalah sebuah penyatuan individu menjadi sebuah unit, dan inilah yang tidak ada pada kata “Kita” yang dulu dan semoga saya dapati di individu setelah “dirimu”.

“Saya tak mengatakan bahwa dirimu adalah gelap, tapi saya menemukan terang setelahmu”




Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...