Sintaksis Rasa
“Di sudut senyummu aku pernah menemukan pulang, tempat yang hari ini
sengaja aku makamkan bersama genangan luka”. Tiba-tiba saja quote tersebut saya dapati dari sebuah
aplikasi jejaring sosial. Quote yang
begitu ringan, namun sarat akan makna ratapan rasa. Semua orang pasti pernah
berkenalan dengan kecewa, entah dia menjadi subjek yang menjadikan kata kecewa
itu hadir ataukah mungkin menjadi objek dari kata kecewa itu, dan skenario
terkejamnya adalah menjadi parasit timbulnya kata kecewa itu.
Telah lama saya pendam tumpukan
rasa ini, rasa yang hadir karena dirimu yang menjadi subjek dari verba kecewa
itu dan saya yang menjadi objeknya. Ini bukan kalimat simpleks saja dalam
struktur sintaksis, ini telah menjadi sebuah kalimar kompleks, karena telah
hadir kata dia yang menjadi pelengkap sebagai tokoh antagonisnya. Ahhhh sudahlah,
toh dengan ini semua berakhir dengan bahagia bagiku dan saya harap ini adalah
sebuah hijrah rasa yang abadi dan mungkin juga bagimu yang dapat merasakan
kebahagiaan temporal. Ahhhh, sepertinya saya terlalu lembut untuk mengatakannya
sebagai sebuah kebahagiaan, karena kebahagiaan lahir dari hati bukan nafsu.
Mungkin saya lebih cocok menyebutnya sebagai sebuah kesenangan sesaat.
![]() |
Sumber Gambar |
Fase Rasa yang Berulang
“Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni, dihapusnya jejak
kakinya yang ragu-ragu di jalan itu (SDD)”. Saya ingin menjadi hujan di
bulan Juni, yang menghapus semua jejak-jejak kenangan yang pernah kita lewati
bersama. Andai Juni telah hilang dari kalender masehi, maka mungkin tak ada
lagi jejak yang tersisa tentangmu. Hanya saja Juni masih hadir sebagai
pengingat, untung hanya sebagai pengingat dan tak mampu menjadi pengenang.
Ini hanyalah sebuah fase bukan
siklus, titik dimana saya berpindah dan tidak akan kembali. Kau pernah
melontarkan kata sesal, bukankah sesal memang adalah sebuah efek logis dari
kata kecewa. Sayangnya apriori telah lebih dulu hadir di diriku daripadi
empati. Karena bagiku menjadi “Setia” itu bukanlah sebuah perkara sulit, lantas
jika itu tidak bisa dilakukan apalagi yang bisa diharapkan dari sebuah
pasangan.
Hijrah Rasa
”Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka
bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak QS. An-Nisaa 100). Potongan
ayat ini was a candle in the dark for me.
Kita memiliki harapan dan cita-cita karena kita perca
ya bahwa Tuhan itu
ada. Saya pernah terjatuh, bahkan bisa dikata bahwa saat itu saya berada di
sebuah titik nadir kehidupanku. Tapi, bukankah keindahan puncak tidak terlihat
di puncaknya tapi justru di lembahnya.
“Chemistry”, dulu saya salah tafsir tentang kata ini. Kesadaranku
akan tafsir kata ini lahir entah dari mana, stimulus itu hadir mungkin dari
sebuah tulisan sederhana bahwa hubungan yang ideal itu tidak “capek”. Capek tidak
lahir hanya karena adanya penumpukan asam laktat pada otot tetapi adanya akumulasi
antara hal tersebut dengan keadaan psikis yang merasa tidak nyaman. Rasa nyaman
lahir dari adanya empati yang saling berbalas. Hubungan adalah sebuah penyatuan
individu menjadi sebuah unit, dan inilah yang tidak ada pada kata “Kita” yang
dulu dan semoga saya dapati di individu setelah “dirimu”.
“Saya tak mengatakan bahwa dirimu adalah gelap, tapi saya menemukan
terang setelahmu”
0 komentar:
Posting Komentar