Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 Agustus 2012

Sebuah Harap di Kursi Tua

Sumber Gambar
Ada seorang lelaki dengan mata sayu dan langkah yang tertatih berjalan menyusuri pinggiran Losari. Sesekali suara gemercik ombak dan riuh orang yang berjalan beradu-padu dengan suara yang sesekali ia keluarkan dari bibirnya yang sudah tak muda lagi. Ada asa yang memancar dari sayup matanya yang sesekali menatap kosong jauh ke lembayung di ufuk barat. Ada kekuatan yang terselip di kepalan tangannya yang senantiasa menggenggam secarik kertas putih pudar yang mulai robek. Cahaya kunang-kunang yang tak biasanya hadir membimbing ia untuk duduk pada sebuah kursi tua, disapunya kursi tua itu dengan penuh belas kasih seakan ia pernah memiliki kenangan di kursi tua itu. 

Tatapannya kembali kosong, berbicang sendiri menghadap kursi kosong di hadapannya. Harapannya telah meluncur dan kemudian jatuh menembus inti bumi. Tidak, ia tidak gila. Ia hanya mencoba menarik kembali memori masa lalunya. Saat kupu-kupu kenangan melesat masuk ke dalam alam pikirnya ia tertunduk dan menarik sebuah cincin perak bermatakan mutiara dan kembali berbincang dengan kursi kosong di depannya. "Aku telah merampas semua warna pelangi dalam hidupku, Aku telah merampas segarnya kuncup di mudaku, aku telah merampas ranumku dalam siangku,  dan akupun telah merampas rentahnya senja dalam tuaku. Haruskah kurampas kelamnya malam dalam matiku untukmu". Tiba-tiba kata-kata penuh harap keluar dengan suara yang seakan putus oleh rentahnya usia.

Ia masih dengan setia mengenggeam kertas putih pudar yang muali lusuh, meringkuh dalam pelukannya. Ia membuka kertas putih itu dengan sangat hati-hati layaknya membelai seorang wanita yang sangat ia sayangi. Mata senjanya mencoba memaknai kembali goresan tinta yang tertulis di kertas itu, ia kembali bertanya pada bangku kosong yang berada di hadapnya "Bukankah ini malam akhir bulan? Apakah kau lupa akan janji kita?"

Tangannya memeluk tubuhnya yang kering hingga kedua tangannya betemu di punggungnya. Lambaian daun kelapa masih setia menemaninya, seakan itu adalah pertanda panggilan akan seorang kekasih yang jauh di sana. Ia hanyalah seorang lelaki rentah yang ingin menikmati bintang jatuh dengan sebuah harap. Dalam pikirnya hanya bergelayut sebuah frase tak sempurna, kala fajar menyinsing kutemui kau dalam transit venus.

Kokok ayam menemani dia melewati seperdua malamnya. Tubuh rentahnya mencoba menahan setiap hembusan angin malam yang mencoba merasuki tubuhnya. Suara riuh pun kini berganti hening. Ia kini meringkuk bersama gesekan-gesekan ombak yang seakan tak jenuh untuk berjumpa dengan pantai.Seang ia masih berkutat dengan asa pada secarik kertas putih pudar itu. Tubuhnya telah sangat biasa untuk menikmati mimpi bersama gerimis hujan, semilir angin atau mungkin bintang jatuh. 

Tubuhnya kini bersandar pada kursi tua yang sedari tadi ia duduki, matanya menarawang jauh ke langit malam. Bibirnya mengucapa sebuah kata yang seakan tak mampu ia selesaikan "Malam ini adalah malam terakhir di akhir bulan aku menunggumu". Tersungkurlah ia di bangku kosong itu dengan tetap menggenggam kertas putih pudar yang berisi selarik rasa lewat tulisan dari kekasihnya "Zahra".

Makassar, 31 Juli 1967
Aku akan menemuimu dan menerima cincin yang dulu kau tawarkan padaku, tapi bukan hari ini. Aku akan datang padamu bersama sejuta mimpi yang pernah kita coba rajut bersama. Kita akan melewati malam yang indah. Bersama menatap indahnya bintang yang kita paksa untuk pergi dari asterimanya, memaksa pelangi untuk hadir meski tanpa bias mentari dan memaksa bulan untuk sabit meski ia telah purnama.  Aku akan hadir untukmu di surutnya air laut di kursi tua awal kita merajut mimpi. 
Your Dear Zahra

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...