Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 Agustus 2012

Arti Lempuq na Mappaccing di Masyarakat Bugis

Badik adalah Lambang Ketegasan Bukan Kekasaran
Sebuah ikatan primordial kedaerahan tentunya memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap sikap dan karakter seorang manusia.  Falsafah hidup dalam sebuah masyarakat adalah salah satu pegangan yang membentuk karakter tersebut. Falsafah hidup tersebut tumbuh dan berkembang secara alami dan turun temurun dalam masyarakat adat/suku tersebut, sehingga sebuah suku atau masyarakat adat memiliki karakter tersendiri yang senantiasa terjaga kelestariannya. Namun pendeskreditan terhadap sebuah suku atau masyarakat adat adalah sebuah hal yang tak bisa dielakkan di masa digital seperti sekarang ini.

Berita tawuran, kekerasan, dan bahkan perang adat akan mendapat ruang yang sangat besar di media massa jika dibandingkan dengan upacara-upacara adat atau aksi amal yang telah menjadi budaya turun temurun dalam sebuah komunitas adat. Hal tersebut kalau dilihat secara kasat mata memang tak pernah menyentuh secara lansung sebuah komunitas adat, seperti suku Bugis, Makassar, Mandar atau Toraja, tetapi menyinggung sebuah daerah yaitu Sulawesi Selatan. Hal ini kan tentunya sebuah hal yang saling berkorelasi satu sama lain. 

Sebuah pengalaman empiris yang membuatku sadar bahawa paradigma masyarakat Indonesia terhadap masyarakat Bugis-Makassar pada khususnya telah melenceng dari hakikatnya. Mirisnya lagi, paradigma-paradigma tersebut lahir dari orang-orang yang tak pernah berinteraksi lansung dengan masyarakat Bugis-Makassar ataukah hanya berinteraksi dengan segelintir perantau Bugis-Makassar. Anggapan yang paling sering muncul yaitu pandangan terhadap karakter orang Bugis-Makassar yang dianggap kasar dan sangat suka dengan kekerasan. Hal tersebut sangat tidak dapat berterima bagi masyarakat Bugis-Makassar karena masyarakat Bugis-Makassar adalah masyarakat yang tegas dan bukannya keras atau kasar.

Khusus pada masyarakat Bugis ada sebuah falsafah hidup yang telah mengakar yaitu:

"Duala Kuala Sappo, Unganna Panasae na Belona Kanukue"
(Hanya dua yang kujadikan pagar, bunga nangka dan penghias kuku)

Bunga nangka dalam bahasa bugis disebut "Lempu" yang kemudian berasosiasi dengan kata "Lempuq" yang berarti jujur. Sedangkan penghias kuku yang dikenal oleh masyarakat bugis adalah tanaman pacar kuku yang dalam bahasa bugis disebut "Pacci" yang kemudian berasosiasi pula dengan kata "Paccing" yang berarti bersih atau suci. Sehingga secara terjemahan bebasnya yaitu "Hanya dua yang kujadikan pagar dalam diriku yaitu kejujuran dan hati/niat yang suci"

Kejujuran dalam masyarakat bugis adalah hal yang sangat diutamakan dan sangat ditekankan. Kejujuran layaknya sebuah permata dalam hidup seseorang, kal permata itu telah jatuh maka hilang pula hakikatnya sebagai seorang manusia. Setidaknya hal itulah yang tertuang dalam sebuah ungkapan bugis.

"Narekko olo kolo tulunna yakkatenni, iya tosi tau'e adanna tu yakkatenni"
(kalau hewan talinya yang dipegang, tapi kalau manusia kata-katanya yang dipegang)

Sedangkan hati yang suci dalam masyarakat bugis memiliki arti "Ati  mapaccing yanaritu nia' madeceng" (hati yang suci adalah niat yang baik). Niat yang baik atau itikad yang baik adalah hal yang menjadi dasar dalam melaksanakan atau melakukan sebuah tindakan. Sebuah kebajikan tidak akan hadir tanpa didasari niat baik. Secara maknawi niat baik kadang diasosiasikan dengan ikhlas, baik hati, berpikiran jernih. Sedangkan secara kontekstual niat baik memiliki makna yang sangat luas yaitu;

  1. Menyucikan Hati
    Pertama yang harus dilakukan manusia sehingga hakikatnya sebagi manusia dapat utuh yaitu menyucikan hatinya dengan menghilangkan segala perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran negatif seperti berburuk sangka, iri hati, dengki, serta nafsu-nafsu yang senantiasa menjerumuskan manusia. Sebuah pegangan dalam masyarakat bugis bahwa Tuhan tidak akan pernah ridha kepada hamba-Nya yang tak memiliki hati yang suci menjadi sebuah landasan yang kokoh untuk terus menjaga kesucian hati bagi masyarakat bugis. Terlebih lagi sebuah keyakinan bahwa siapa yang berniat buruk maka keburukan pula yang akan ia dapat.
  2. Bermaksud lurus dan Istiqomah
    Hati yang suci adalah hati yang teguh terhadap pendiriannya. Hati yang suci adalah hati yang tak akan pernah bisa dibelokkan oleh sebuah permasalahan atau bahkan iming-iming duniawi. Hal inilah yang kemudian menjadi karakter tegas yang ada dalam jiwa orang Bugis. Karakter tegas tersebut adalah sebuah keharusan dalam menjaga kesucian hati dati pengaruh-pengaruh luar.
  3. Mengatur Emosi-emosi
    Hati yang suci tidak akan pernah digerakkan oleh emosi-emosi sesaat karena hati yang suci mampu mengontrol pikiran untuk dapat berpikir dengan jernih. Sehingga sikap tersebut membentuk sebuah karakter yang kuat pada jiwa orang Bugis yang pantang untuk terpengaruh oleh nafsu-nafsu serta dorongan-dorongan dari luar dan tentunya dapat mengambil sebuah keputusan yang tepat dengan bimbingan dari hatinya. Ada empat tanda orang yang memiliki hati yang suci menurut Arung Bila dalam  masyarakat bugis, yaitu,

    "Makkedatopi Arung Bila, Eppa tanrana tau madeceng kalawing ati, sewwani, mappassu ada na patuju. Makaduanna, na matuoi ada na sitinaja. Makatellunna, duppai ada na pasau. Makaeppanna, moloi ada napadapi"
    (Ada empat tanda orang yang baik bawaan hatinya, yang pertama, mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat melaksanakan kata yang ia ucap.)


    Sumber bacaan: Ati Mapaccing







Rabu, 30 Mei 2012

Filososofi Nikah Bugis (Jilid Tiga)


Acara selanjutnya yang dilaksanakan setelah acara mappaci adalaha sirih pinang, dan akad nikah. Kegiatan akad nikah dilaksanakan di rumah kediaman mempelai wanita yang sebelumnya telah ditata sedemikian rupa dan telah berubah 180 derajat atau disulap menyerupai sebuah istana. Tak mungkin kan sebuah peristiwa yang sangat bersejarah dilaksanakan di tempat yang kumuh.
sumber google
"Dalam menyambut acara akad pernikahan tersebut ada beberapa persiapan yang dilakukan oleh kedua belah pihak keluarga, yaitu:

1.      Keluarga calon mempelai wanita
a.       Dua pasang sesepuh untuk menjemput calon mempelai pria dan memegang Lola menuntun calon mempelai pria memasuki rumah calon mempelai wanita.
b.      Seorang ibu yang bertugas menaburkan Bente (benno) ke calon mempelai pria saat memasuki gerbang kediaman calon mempelai wanita.
c.       Penerima erang-erang atau seserahan.
d.      Penerima tamu.
2.      Keluarga calon mempelai pria
a.       Petugas pembawa leko’ lompo (seserahan/erang-erang), yang terdiri dari:
1)      Gadis-gadis berbaju bodo 12 orang yang bertugas membawa bosara atau keranjangyang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories calon mempelai wanita.
2)      Petugas pembawa panca terdiri dari 4 orang laki-laki. Panca berisikan 1 tandankelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah labu kuning besar, 1 buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, dan lain-lain.
b.      Perangkat adat, yang terdiri dari:
1)      Seorang laki-laki pembawa tombak.
2)      Anak-anak kecil pembawa ceret 3 orang.
3)      Seorang lelaki dewasa pembawa sundrang (mahar).
4)      Remaja pria 4 orang untuk membawa Lellu (payung persegi empat).
5)      Seorang anak laki-laki bertugas sebagai passappi bunting.
6)      Calon mempelai Pria
7)      Rombongan orang tua
8)      Rombangan saudara kandung
9)      Rombongan sanak keluarga
10)  Rombongan undangan.

Setelah calon mempelai pria beserta rombongan tiba di sekitar kediaman calon mempelai pria, seluruh rombongan diatur sesuai susunan barisan yang telah ditetapkan. Ketika calon mempelai pria telah siap di bawa lellu sesepuh dari pihak calon mempelai wanita datang menjemput dengan mengapit calon mempelai pria dan menggunakan lola menuntun calon mempelai pria menuju gerbang kediaman calon mempelai wanita. Saat tiba di gerbang halaman, calon mempelai pria disiram dengan bente/benno oleh salah seorang sesepuh dari keluarga calon mempelai wanita. kemudian dilanjutkan dengan dialog serah terima pengantin dan penyerahan seserahan leko lompo atau erang-erang. setelah itu calon mempelai pria beserta rombongan memasuki kediaman calon mempelai wanita untuk dinikahkan. kemudian dilakukan pemeriksaan berkas oleh petugas kua dan permohonan ijin calon mempelai wanitakepada kedua orang tua untuk dinikahkan, yang selanjutnya dilakukan dengan prosesi ijab dan qobul.

Setelah acara akad nikah dilaksanakan, mempelai pria menuju ke kamar mempelai wanita, dan berlangsung prosesi acara ketuk pintu, yang dilanjutkan dengan appadongko nikkah/mappasikarawa, penyerahan mahar atau mas kawin dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Setelah itu kedua mempelai menuju ke depan pelaminan untuk melakukan prosesi Appla’popporo atau sungkeman kepada kedua orang tua dan sanak keluarga lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemasangan cincin kawin, nasehat perkawinan, dan doa." (Awshar, 2011)

Disadur dari tulisan Awshar (http://awshar.blogspot.com/2011/12/adat-perkawinan-bugis-makassar.html) dengan perubahan seperlunya

Selasa, 29 Mei 2012

Filosofi Nikah Bugis (Jilid Dua)



  • Kemarin saya telah menulis prosesi pernikahan suku Bugis samapi pada proses Madduta Mallino, proses tersebut belum selesai dan akan saya lanjutkan sampai pada proses selanjutnya.

    Patenre ada 
    atau Mappasiarekkeng

    Patenre ada 
    atau biasa disebut juga tanra esso atau mita esso adalah bagian dari prosesi mappasiarekkeng. Mappasiarekkeng sendiri merupakan sebuah prosesi pernikahan yang bearti mengikat dengan kuat. Prosesi yang sering juga disebutmappetuada ini adalah prosesi yang bermaksud untuk mengikat janji yang kuat atas pembicaraan yang pernah dirintis sebelumnya oleh kedua belah pihak.

    Selain dari maksud tersebut di atas, prosesi ini juga bermaksud untuk membahas segala sesuatu yang bertalian dengan upacara perkawinan yang terdiri atas: tanra esso (menandai hari), Balanca atau doi panaik (Uang panaik) dan Sompa (emas kawin).

    Acara mappetu ada biasanya dihadiri oleh keluarga calon mempelai wanita dan keluarga dari calon mempelai laki-laki. Keluarga calon mempelai laki-laki kan disuguhkan kue-kue khas bugis yang umumnya manis-manis yang mempunyai makna filosofis agar calon pengantin nantinya dapat hidup dengan manis dan penuh rasa bahagia.

    Dalam prosesi mappasiarekkeng terdapat kegiatan-kegiatan yang lebih rinci, kegiatan-kegiatan tersebut meliputi upacara sebelum akad pernikahan dan upacara setelah akad pernikahan, secara lebih rinci akan dijelaskan sebagai berikut:

    Upacara Sebelum Akad Pernikahan; Upacara sebelum akad pernikahan mulai diselenggarakan setelah proses madduta malino selesai, jika lamaran pihak laki-laki diterima, maka ke dua mempelai sudah disibukkan dengan kegiatan-kegiatan dalam upaya menyiapkan pesta pernikahan. Persiapan-persiapan itu misalnya penyebaran undangan atau lebih sering disebut dengan mappadaMappada biasanya ditujukan kepada keluarga-keluarga dekat dengan menggunakan baju adat (baju bodo).
    • Sebelum proses mengundang maka dilaksankanlah kegiatan manre baje atau balanca, dalam proses ini keluarga calon mempelai laki-laki datang ke keluarga calon mempelai perempuan dengan membawa uang belanja untuk pesta nantinya. Dalam prosesi ini keluarga calon mempelai perempuan menjamu keluarga dari pihak laki-laki dengan kue-kue khas bugis dan baje (kue dari beras ketan , gulla dan kelapa dan memiliki bentuk kenyal dan susah dipisahkan yang rasanya manis). Istilah manre baje tak hanya menjadi nama saja, tetapi ada makna filosofis di dalamnya, baje dianggap dapat mewakili harapan dari sebuah ikatan pernikahan. Segi rasa yang manis memiliki makna filosofis kita berharap calon pengantin nantinya dapat mengarungi bahtera rumah tangganya dengan manis dan damai, segi bentuk yang menyatu dan sulit dipisahkan mengandung makna bahwa calon pengantin diharapakan dapat bersatu padu dan sulit untuk dipisahkan oleh apapun.
    • Proses selanjutnya adalah cemme mappipaccing (mandi menyucikan) yang memiliki arti untuk membersihkan dengan maksud memohon kepada Allah Swt agar calon kedua mempelai dihindarkan dari segala macam bahaya. Prosesi ini dilakukan di tempat yang telah dipersipakan sebelumnya berupa gubuk siraman dan biasanya diletakkan di depan pintu rumah. Hal tersebut dimaksudkan dengan maksud yang bersifat filosofis yaitu agar kiranya bencana atau bala yang berasal dari luar dapat keluar dan bencana dari dalam dapat keluar.
    Ada beberapa perlengkapan yang mesti dipersiapkan dalam proses cemme mappipacing yaitu berupa Gentong yang berisi air, Gayung, Bunga piturrupa (bunga tujuh jenis), wangi-wangian, Ja'jakkang (terdiri dari segantang beras diletakkan pada sebuah bakul), kanjoli (lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilan batang, tunas kelapa, gula merah, tempat dupa, dan leko passili.  (Makassar terkini, 2011).

    "Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di dalam kamar atau di depan pelaminan. Kemudian calon mempelai akan diantarkan ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat (Lellu) yang dipegang oleh 4 (empat) orang gadis bila calon mempelai wanita dan 4 (empat) orang laki-laki jika calon mempelai pria. Setelah tiba di tempat siraman, prosesi dimulai dengan diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang. 
    Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari gentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung masing - masing tiga kali, disertai dengan doa dari masing-masing figure yang diberi mandat untuk memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian
    Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju Bodo, tope (sarung pengantin) atau lipa’ sabbe, serta aksesories lainnya untuk mengikuti prosesi acara A’bubbu (macceko) yaitu dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis." (Makassar Terkini, 2012).
    • Upacara selanjutnya adalah acara mappacci, sebelum acara mappacci maka Perawatan dan perhatian akan diberikan kepada calon pengantin . biasanya tiga malam berturut-turt sebelum hari pernikahan calon pengantin Mappasau  (mandi uap), calon pengantin memakai bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang digoreng samapai hangus yang dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah acara Mappasau, calon pengantin dirias untuk upacara Mappacci atau Tudang Penni (Ajhier, 2011)

      Acara Mappacci (Sumber: Google)
      "Mappaccing berasal dari kata Paccing yang berati bersih. Mappaccing artinya membersihkan diri. Upacara ini secara simbolik menggunakan daun Pacci (pacar). Karena acara ini dilaksanakan pada malam hari maka dalam bahasa Bugis disebut ”Wenni Mappacci”.

      Melaksanakan upacar Mappaci akad nikah berarti calon mempelai telah siap dengan hati yang suci bersih serta ikhlas untuk memasuki alam rumah tangga, dengan membersihkan segalanya, termasuk :  Mappaccing Ati (bersih hati) , Mappaccing Nawa-nawa (bersih fikiran), Mappaccing Pangkaukeng (bersih/baik tingkah laku /perbuatan), Mappaccing Ateka (bersih itikat).

      Orang-orang yang diminta untuk meletakkan daun Pacci pada calon mempelai biasanya dalah orang-orang yamg punya kedudukan sosial yang baik serta punya kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak dikemudian hari dapat pula hidup bahagia seperti mereka yang telah meletakkan daun Pacci itu ditangannya.

      Dahulu kala, jumlah orang yang meletakkan daun Pacci disesuaikan dengan tingkat stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau ”dua kasera”. Untuk  golongan menengah 2 x 7 orang ”dua kapitu”, sedang untuk golongan dibawahnya lagi 1 x 9 orang atau 1 x 7 orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dalam jumlah orang yang akan melakukan acara ini." (Ajhier, 2011)

      Bersambung...!!!!

      Sumber Pustaka



  • Acara Mappacci (Sumber: Google)
    "Mappaccing berasal dari kata Paccing yang berati bersih. Mappaccing artinya membersihkan diri. Upacara ini secara simbolik menggunakan daun Pacci (pacar). Karena acara ini dilaksanakan pada malam hari maka dalam bahasa Bugis disebut ”Wenni Mappacci”.

    Melaksanakan upacar Mappaci akad nikah berarti calon mempelai telah siap dengan hati yang suci bersih serta ikhlas untuk memasuki alam rumah tangga, dengan membersihkan segalanya, termasuk :  Mappaccing Ati (bersih hati) , Mappaccing Nawa-nawa (bersih fikiran), Mappaccing Pangkaukeng (bersih/baik tingkah laku /perbuatan), Mappaccing Ateka (bersih itikat).

    Orang-orang yang diminta untuk meletakkan daun Pacci pada calon mempelai biasanya dalah orang-orang yamg punya kedudukan sosial yang baik serta punya kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak dikemudian hari dapat pula hidup bahagia seperti mereka yang telah meletakkan daun Pacci itu ditangannya.

    Dahulu kala, jumlah orang yang meletakkan daun Pacci disesuaikan dengan tingkat stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau ”dua kasera”. Untuk  golongan menengah 2 x 7 orang ”dua kapitu”, sedang untuk golongan dibawahnya lagi 1 x 9 orang atau 1 x 7 orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dalam jumlah orang yang akan melakukan acara ini." (Ajhier, 2011)

    Bersambung...!!!!

    Sumber Pustaka





Senin, 28 Mei 2012

Filosofi Nikah Bugis (Jilid Satu)

Salah satu momen yang paling berkesan dan paling berharga dalam perjalanan hidup manusia adalah pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah momen yang tak bisa dilupakan dan yang paling dirindukan baik oleh orang yang sedang menjalani sebuah hubungan maupun yang belum/tidak. Pernikahan dianggap sebagai muara dari pembuktian cinta yang mungkin semua orang dapat mengungkapkannya dengan mudah. "Aku cinta kamu sayang, dan kalau kau tak percaya maka belahlah dadaku", saya anggap sebagai sebuah kalimat pengantar tidur dan melodi dongeng yang tak bermakna. Mengapa mesti harus membelah dada kalau hanya ingin membuktikan kalau seorang lelaki mencintai seorang wanita, kalau cinta yah lamar saja kan. 

Semua orang pasti pernah melihat sebuah permainan sepak bola, dalam permainan sepak bola tak ada gunanya bermain indah namun tak dapat mencetak gol. Begitupun dengan pacaran tanpa diakhiri dengan pernikahan tak akan ada gunanya, hanya akan menimbulkan sebuah perasaan sakit hati. Proses yang panjang tersebut tentunya ingin diakhiri dengan indah dan penuh makna. Itulah mungkin yang mendasari dalam sebuah pernikahan digelar beberapa prosesi yang diharapkan dapat memberikan makna yang mendalam, baik secara emosional maupun secara filosofis.

Mayarakat Bugis selain terkenal dengan pelaut ulung, mereka juga terkenal dengan prosesi pernikahannya yang panjang dan penuh makna. Prosesi-prosesi tersebut tentunya tak hanya sebagai penghias dan sekadar prosesi semata. Ada makna dan tujuan dari setiap prosesi tersebut. Sebagai seorang masyarakat bugis pasti pernah mendengar ungkapan "iyana kuala sappo unganna panasae na beloana kanukue". Ungkapan tersebut memiliki makna, kuambil sebagi pagar diri dari rumah tangga adalah kejujuran dan kesucian. Ungkapan tersebut memiliki arti yang sangat dalam begitupun dengan prosesi-prosesi pernikahan yang tentunya tak hanya sekadar prosesi belaka. Berikut akan saya paparkan kegiatan-kegiatan/prosesi pernikahan dalam masyarakat Bugis beserta maknanya,
  1. Mattiro; Mattiro (menjadi tamu) atau dalam bahasa lainnya disebut sebagai mabbaja laleng (membuka jalan) adalah kegiatan yang bukan merupakan sebuah prosesi wajib dalam pernikahan. Matiiro yaitu calon mempelai laki-laki berkunjung ke rumah calon mempelai wanita dengan maksud membuka jalan untuk menuju ke proses selanjutnya. Mattiro juga diartikan sebagai sebuah cara untuk mengenali calon mempelai wanita sebelum menuju ke proses selanjutnya.
  2.  Mappesek-pesek (Mencari informasi); proses ini dilakukan untuk mencari informasi dari pihak luar mengenai calon mempelai wanita, sama halnya dengan kegiatan pertama. Mappesek-pesek juga bukanlah sebuah kegiatan wajib. Kegiatan ini sudah jarang dilakukan karena secara fungsional sudah tidak terlalupenting, hal ini karena kebanyakan kedua mempelai sudah saling mengenal.
  3. Mammanuk-manuk; adalah kegiatan yang merupakan kelanjutan dari mattiro dan mappesek-pesek  kegiatan bertujua untuk memperjelas kembali dan menyepakati kapan akan datang untuk madduta (melamar).
  4. Madduta Mallino; Prosesi ini adalah prosesi lamaran yang merupakan tindak lanjut dari mammanuk-manuk, setelah mendapat kesepakatan pada prosesi tersebut, maka  dilanjutkan dengan  acara madduta. Pada prosesi ini pihak keluarga dari mempelai laki-laki datang berkunjung ke rumah calon mempelai wanita yang sebelumnya telah mengumpulkan seluruh anggota dan sanak keluarganya yang dianggap dapat memberi pertimbangan mengenai lamaran itu nantinya.

    Sebelumnya pihak calon mempelai wanita menyiapkan tempat untuk menjamu pihak calon mempelai laki-laki dan mempersilahkan pihak dari calon mempelai laki-laki untuk mengutarakan maksudnya. Prosesi  Madduta Mallino ini membicarakan tentang diterima atau tidaknya lamaran dari calon mempelai laki-laki. Selain itu dalam prosesi  Madduta Mallino ini juga membicarakan tentang mahar dan uang panaik dan doi balanca untuk persiapan pesta pernikahan nantinya. Berbeda dengan prosesi pernikahan di daerah lain, pernikahan di suku Bugis-Makassar kadang juga terkendala oleh masalah uang panaik. Kadang sebuah pernikahan tidak jadi karena  nominal uang panaik tidak dapat saling berterima diantara ke dua bela pihak. Hal ini sebenarnya merupakan penghargaan kepada wanita bugis, bahwa seorang laki-laki harus mapan sebelum ia memutuskan untuk berumah tangga.

    Jika pada prosesi ini, lamaran diterima oleh pihak calon mempelai wanita maka pihak calon mempelai wanita akan berkata "Komakkuitu adatta, suroni tangngakka na ku tangnga tokki" yang arti lepasnya yaitu "kembalilah tuan, pelajari saya dan saya juga pelajari anda"

Bersambung....!!!

Tulisan ini saya buat selain untuk media pengingat saya akan budaya juga sebagai penjelas dari setiap pertanyaan yang timbul dari teman-teman saya di luar Sulawesi yang selalu menanyakan "Mengapa prosesi pernikahan suku Bugis panjang sekali, Ribet dan Mahal (uang panaik)


Sumber bacaan

Jumat, 25 Mei 2012

Arti Perpisahan dan Rindu dalam Elong Ugi

Sengeka Golla na usengeki kaluku, Na to' sirampe ri mannenungeng.
Narekko massarakki bajae sangadie, napoleiki uddani congaki ribitarae tosiduppa mata ri ketengnge
Rekko pale meloki missengngi karebaku, takkutanangngi pasekku ri anging labu kessoe
Engkatu bunga-bunga sitakke utanengakki, narekko makellei, daunna tabolorangmanika kasi na'saba wae mata
Sarekoammengngi engka mancaji passengereng pallawa uddani.

Sumber Google
Mungkin bagi sebagian blogger tak pernah mendengar pesan dalam bahasa Bugis tersebut, tetapi sangat miris rasanya jika seorang yang mengaku dirinya orang bugis tapi tak tahu ungkapan tersebut. Mungkin sudah tergerus oleh budaya K-Pop yah? Mungkin! Tapi, kali ini saya tak akan membahas degradasi nilai budaya daerah oleh kerasnya arus globalisasi, saya akan membahas apa sih makna yang terkandung dalam pesan tersebut.

Sejak zaman dahulu, orang Bugis dikenal sebagai suku yang halus dalam mengungkapkan kata-kata atau istilah bugisnya "alusu ada", sehingga dalam mengungkapkan segala sesuatunya selalu memilih diksi yang paling tepat, bahkan pelompatan imajinasi tak hanya satu kali dalam pengungkapannya. Dalam puisi bugis kadang menggunakan lompatan pemikiran atau lompatan imajinasi dua hingga tiga kali untuk mengetahui pesan yang ingin disampaikan oleh penyair. Dalam prosesi melamarpun kadang digunakan puisi atau dalam bahasa bugis dikenal sebagai elong untuk mengetahui apakah lamarannya diterima atau tidak. Ungkapan yang dipilih tak lansung mengena kepada objek atau tujuan pembicaraan, tetapi sehalus mungkin menyinggung kepekaan rasa yang dimiliki petutur.

Sama halnya dengan pesan diatas yang merupakan sebuah pesan seorang lelaki kepada kekasihnya, pesan yang sangat dalam jika kita mampu untuk memaknainya. Sebuah pesan yang tak hanya menggambarkan perasaan secara gamblang, tetapi melalui proses pengimajinasian yang cukup dalam. Dalam proses pemaknaannya nanti, kita akan melihatnya dari dua sisi yaitu sisi kebahasaan dan sisi maksud. Saya akan membahasnya secara gamblang, meskipun ini hanya bersifat objektif dan paradigmatik.

Sengeka Golla na usengeki kaluku, Na to' sirampe ri mannenungeng.

Dalam pengartian bebas baris tersebut berarti:
Senge dalam arti bahasa bugis artinya ingat, tetapi dalam puisi ini berarti beri. Sehingga arti baris pertama yaitu. Beri saya gula dan akan saya beri kelapa, sehingga kita akan saling mengingat dalam keabadian. Secara maknawi baris tersebut bermakna jika engkau memberikan saya kebaikan maka saya akan balas dengan kebaikan. Secara empirik dalam bugis ada yang namanya kue bedda yang bahan dasarnya dari kelapa dan gula. Jadi baris tersebut juga bermakna aku akan memberi apa yang engkau butuh sehingga lahir sebuah kombinasi yang apik diantara kita. Na to' sirampe ri mannenungeng berarti kita akan saling mengingat dalam keabadian, ini merupakan efek dari sikap saling memberi antara orang yang saling dikasihi yang termaktub pada kalimat sebelumnya. 

Narekko massarakki bajae sangadie, napoleiki uddani congaki ribitarae tosiduppa mata ri ketengnge

"Jika kita berpisah esok atau lusa, tiba-tiba rindu itu datang maka tengoklah langit di malam hari dan temukan tatapanku di bulan" Ini merupakan metafora sang penyair yang mencoba menenangkan kekasihnya jika nantinya mereka berpisah. Ia mencoba meyakinkan jika kekasihnya merindukannya maka cukup dengan  menatap bulan yang bersinar di langit malam maka kau akan menemukan aku di sana.

Rekko pale meloki missengngi karebaku, takkutanangngi pasekku ri anging labu kessoe

"Jika kau memang ingin tahu kabarku, maka bertanyalah pada anging senja yang membawa pesanku padamu" Angin senja atau angin malam di kalangan masyarakat bugis memiliki unsur mistik. Entah itu hanya mitos atau apa, tetapi hal tersebut telah dipercaya secara turun temurun. Bahkan orang hamil juga dilarang keluar jika magrib, karena mereka takut jika angin malam membawa roh-roh jahat dan mengganggu janin dalam kandungan wanita tersebut. Tetapi dalam elong tersebut ia meyakini bahwa angin malam mampu menyampaikan pesan kepada orang yang terkasih, sehingga jika ia ingin mengetahui kabar kekasihnya maka cukuplah dengan bertanya tentang pesan yang ia titip pada angin malam.

Engkatu bunga-bunga sitakke utanengakki, narekko makellei, daunna tabolorangmanika kasi na'saba wae mata
Sarekoammengngi engka mancaji passengereng pallawa uddani.

Larik terakhir adalah bait yang sangat memunculkan sisi elegi dalam elong ini. Larik ini berarti "Ada setangkai bunga yang saya tanam untukmu, jika daunnya layu, maka siramlah ia dengan air matamu, agar dapat menjadi pengingat dan pelepas rindu" Kalau saya melihatnya secara keseluruhan maka larik ini bersinggungan dengan larik berikutnya, hal ini sesuai dengan pendekatan yang diteorikan oleh Bram dan Ferdinand De Sausurre yaitu pendekatan objektif. Larik ini mengandung makna jika kabarku tak baik maka bunga yang kutanam untukmu akan layu, tangisilah dan doakanlah supaya dapat menjadi pengingat dana pelepas rindu. Sang kekasih menitip sebuah tanda kepada kekasihnya jika naninya dalam jauhnya ia mendapat susah, maka bunga itu akan layu sehingga ia berharap didoakan dalam tangis oleh kekasihnya.

Secara komprehensif puisi atau elong ini merupakan pengungkapan rasa kasih sayang dan takut kehilangan orang yang ia sayangi, dan jika nantinya mereka berpisah mereka berharap akan saling mengingat dengan   cara mereka. Metafora bulan, bunga, angin malam, dan langit merupakan metafora penyampai pesan. 


Sebuah kajian yang hanya mencoba memahami arti rindu seorang kekasih yang berada jauh di seberang. Bintang, angin malam, bulan dan langit merupakan medium untuk mensketsa rindu bagi mereka.





Selasa, 24 Januari 2012

Eksistensi Bissu; Masih Bisakah Mereka Bertahan?


Menurut histori atau sejarah Bissu merupakan penjaga warisan budaya Bugis kuno yang masih ada sampai sekarang, hanya saja banyak kalangan yang menyatakan bahwa komunitas Bissu tersebut melanggar peraturan daerah (Perda) syariat Islam karna dinilai musyrik, memuja dewa dan tidak menikah (karena mereka adalah kalangan waria). Namun, jika kita kembali merunut, dapat dinilai bahwa peranan Bissu itu sendiri sangat berperan dalam pengembangan usaha pertanian dan berfungsi sebagai sandro (dukun) di kampung-kampung di tanah Bugis.
Dalam budaya Bugis masa zilam, Bissu memunyai kedudukan yang sangat terhormat dan disegani, sebagai penyambung lidah raja dengan rakyat. Bissu juga merupakan perantara antara langit dengan bumi, hal ini dimungkinkan karena kemampuannya yang menguasai basa torilangi (bahasa langit) yang hanya bisa dimengerti oleh para Bissu dan dewa.
Dalam naskah sureq Lagaligo dikisahkan bahwa Bissu pertama yang ada di bumi bernama Lae-lae, yang diturunkan bersama Batara Guru. Dari sinilah diyakini tradisi Bissu berawal yaitu di daerah Luwu dan menyebar ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Jadi asal muasal Bissu di daerah Segeri yaitu dari daerah Luwu.

Rabu, 18 Januari 2012

Bissu: “Komunitas Adat yang Berada di Ambang Kepunahan”


Indonesia merupakan negara kepulaun yang terdiri dari lima pulau besar yaitu, Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Irian, dan Sumatera. Selain dari kelima pulau tersebut masih sangat banyak pulau-pulau yang berada di Indonesia, baik pulau yang telah  memiliki nama maupun pulau yang belum bernama, pulau yang telah berpenghuni maupun pulau yang telah berpenghuni. Dari hasil data Wikipesia yang merupakan salinan data dari Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia diungkpakan bahwa jumlah pulau yang ada di Indonesia adalah 17.504 pulau yang terdiri dari 7.870 pulau yang telah diberi nama dan 9.634 pulau yang belum diberi nama. 

Banyaknya pulau dan luas daerah Indonesia mempengaruhi banyaknya suku, komunitas adat, kebudayaan, bahasa dan adat istiadat yang ada di Indonesia. Pluralitas tersebut merupakan aset yang sangat besar bagi Indonesia jika dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Hal tersebut dapat terjadi karena budaya dan istiadat yang masih khas memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan, misalnya budaya yang ada di Bali yang merupakan objek wisata budaya yang tak ditanyakan lagi kepopulerannya, begitu pula dengan objek wisata budaya yang ada di Tana Toraja. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...