Minggu, 22 Januari 2012

Sejarah Penelitian Kualitatif

Kemarin telah berbicara mengenai pengertian penelitian kualitatif. Sekarang saya mencoba menuangkan pikiran saya dalam hal historis atau sejarah penelitian kualitatif itu sendiri. Sebelum melangkah terlalu jauh perlu diketahui terlebih dahulu  fase-fase sejarah dari penelitian kualitatif yang ditulis oleh Denzin dan Lincoln (dalam Santana:2010). Denzin dan Lincoln membagi fase sejarah riset menjadi Sembilan fase, yaitu sebagi berikut:

1.      Fase Traditional (1900-1950) atau sering disebut sebagai fase heroik, yaitu fase bagi pekerja lapangan mengaitkan amatannya ke dalam kerangka realisme sosial, positivisme, dan objektivisme. Positivisme sendiri dalam faham ini diartikan sebagai sebuah faham yang meyakini bahwa realitas sosial sebagai fenomena yang tetap, abadi dan tidak berubah, Kalangan ini lebih menekankan pada kepercayaan tentang keteraturan dan pola interaksi manusia dengan yang lainnya. Selain itu kelompok pada fase ini juga menganggap bahwa antara sang pengamat dan objek yang diamati harus terpisah dan tak berhubungan agar menjaga objektivitas dalam pengamatan.
2.      Fase Modernist atau golden age (1950-1970), fase ini merupakan kelanjutan dari fase tradisional yang telah mengalami pengembangan. Pengembangan tersebut terlihat pada sudut pandang para peneliti yang mengembangkan gagasan-gagasan emansipatoris ke dalam berbagai wacana subjek-riset. Pada Fase ini juga mengungkap mengenai struktur kritik sosial dengan menggunakan pandangan positivisme dan postpositivism.
3.      Fase Blurred Genres (1970-1986), yaitu fase ketiga dalam sejarah perkembangan penelitian kualitatif. Fase ini diwarnai dengan  pendekatan naturalism, postpositivism dan constructivism.  Pada fase ini terjadi perubahan besar dalam ruang lingkup, orientasi dan paradigma penelitian, para periset kualitatif mulai menjadi sensitif pada kerja politik dan etik mereka. Pada fase ini para peneliti telah berusaha untuk meninggalkan dan menghentikan keleluasaan mereka dalam menampilkan penafsiran subjektif, dan menghasilkan multiperspektif ‘thick descriptions’ melalui genre kesastraan.

4.      Fase Crisis of Representation (1986-1990), riset pada fase ini berubah drastis, genre ilmiah berubah menjadi sebuah pelaporan yang penuh dengan daya reflektif, laporan secara tekstual yang otonom dari pengetahuan yang didapat secra empirik. yang merepresentasikan “berbagai pengalaman kehidupan (the world of lived experience), riset lapangan dan penulisan yang bebas (fieldwork and writing blur), pemunculan penulisan sebagai sebuah metode (writing as a method of inquiry emerges)”.
5.      Fase Postmodern Experimental Ethnographic Writing (1990-1995), yaitu fase ketika peneliti melakukan respon dari “representasi (representation), legitimasi (legitimation), dan eksperimen praksis (praxis experiment)”. Pengambilan respon ini dilakukan dengan dengan  menggunakan langkah baru dalam menampilkan sosok ‘other’,.
6.      Fase Postexperimental Inquiry (1995-2000), Fase ini merupakan fase paling berkembang bagi etnografi fiksional, karena pada fase ini peneliti memusatkan perhatian pada cara lain dalam menggambarkan “pengalaman kehidupan (lived experience)”, melalui “etnografis fiksional (fictional ethnographies), teks-teks multimedia, bentuk-bentuk visual, dan representasi-representasi multi-voiced,” dan seterusnya. Sehingga pada fase ini penelitian lapangan lebih banyak menggunakan alat-alat dokumentasi visual, audio maupun audio visual.
7.      Fase Methodologically; Contested Present (2000-2004), yaitu fase perdebatan mengenai kebenaran riset antara pemegang faham tradisional (konservatif) dengan yang berfaham postmodernisme.
8.      Fase Immediate Future (2005-), para ilmuwan sosial pada fase ini memiliki tujuan berbeda, yaitu menekankan pentingnya “keadilan sosial” di dalam dimensi penelitian, yang kemudian melahirkan berbagai keilmuan sosial. Fase ini membuat hasil-hasil penelitian ber genre sosial mencoba mengangkat keadilan sosial.
9.      Fase Fractured Future, fase ini adalah fase yang dirasakan sekarang, yaitu fase yang para akademisi bekerja dalam kerangka praksis politik, yangmelahirkan inovasi baru dalam orientasi etika, estetika, dan teleologis yang menglobalisasi dunia.

Secara garis besar, penelitian kualitatif lahir dari reaksi penolakan atas pandangan positivisme, postpositivisme dan masyarakat konservatif yang berpandangan bahwa bahwa realitas sosial sebagai fenomena yang tetap, abadi dan tidak berubah, Kalangan ini lebih menekankan pada kepercayaan tentang keteraturan dan pola interaksi manusia dengan yang lainnya. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan pandangan ilmuan kualitatif yang menganggap bahwa pengalaman bukan kenyataan empirik yang bersifat obyektif, melainkan pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa yang dilalui atau dialami seseorang. Kebenaran dalam pandangan kualitatif diperoleh melalui pemahaman secara holistic integrative, yaitu kebenaran yang tak hanya dilihat dari informasi yang dan data yang teramati melainkan juga mendasarkan pada informasi yang tidak tampak dan digali secara mendalam. Selain itu mereka juga berpandangan bahwa kebenaran bersifat unik dan tak reliable. Atau dapat diberlakukan di semua tempat. Contoh ketak reliablean tersebut yaitu pada permasalahan norma kesopanan misalnya, di Makassar orang yang tidak menggunakan baju dan mondar-mandir di tengah kota dianggap kurang sopan, sedangkan di papua misalnya itu wajar-wajar saja.

Sumber Bacaan:

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...