Selasa, 06 Mei 2014

Peperangan dalam Serebrum

Hay kegalauan dalam lipatan serebrumku! Bagaimana kabarmu hari ini? Masihkah kau betah bersembunyi di lipatan-lipatan tak jelas itu? Aku ingin menuliskan ultimatum atau mungkin bisa kusebut sebuah referendum agar kau segera bermigrasi dan mencari lipatan lain yang mungkin lebih nyaman untukmu. Aku sudah mengusirmu kemarin malam dengan mengasapimu "Tar dan Nicotine" namun kau masih enggan untuk beranjak, tadi pagipun aku mengusirmu dengan menyiramkanmu "Cafeine" tapi kau pun masih betah, apakah perlu saya mengasapimu dengan "Cannabis Sativa" atau mungkin menenggelamkanmu dalam getah opium? Semoga saja tidak, karena kutahu kau akan sedikit legowo dan segera beranjak pergi. 

Aku hanya punya satu bilik dalam otakku, tak ada kamar untuk tamu yang tak diundang seperti kau "galau". Aku ingin mengisinya dengan "Cinta". Bilik itu aku akan hias dengan bingkai-bingkai foto kenanganku, dan akan kusimpan di balkonnya pot-pot bunga kasih sayang, lampu-lampu warna-warni namun dengan suasana temaram akan saya gantung di bagian atas langit-langit bilik itu. dan aku pun tak akan pernah lupa mengalirkan dopamin ke kolam tepat di depan tempat tidur. Hahaha, aku kira aku telah gila dalam orgasme airmataku. 

Aku sudah tak waras, tapi kali ini bukan karena aku kehilangan hipotalamus, nigra substantia dan daerah tegmental ventral. Aku masih punya mereka, hanya saja mereka telah kalah dalam sebuah perang tanpa senjata dan tanpa sebuah usaha diplomasi. Aku salah telah membiarkan hifofisis dengan leluasa menyerangku dengan prolaktinnya.  Ah, mungkin aku terlalu banyak membaca buku fantasi hingga aku tak sadar telah masuk dalam praktek sains yang tak bisa kujelaskan pula.



Senin, 28 April 2014

Catatan Absurd

Februari 2014

Tiga hari ini kita makin jarang saling menyapa. Apakah karena insomniaku sekarang sudah hilang dan duniaku berganti menjadi dunia pagi? Aku selalu menyapamu di pagi hari selain hari ini dan kaupun biasanya menyapaku saat pergantian hari. Sepertinya itu bukan alasan bagiku dan bagimu untuk tetap saling menyapa. Ataukah ada sebab lain hingga hangatnya lemparan-lemparan humor dan cerita-cerita keseharian kita tak lagi kita bagi?

Aku mungkin kini telah canggung untuk menyapamu sejak aku memilih egoku untuk mengucapakan kata yang mungkin tak ingin kau dengar dariku. Dan aku tak bisa menebak apa yang menjadi alasan bagimu untuk tak menyapaku? Apakah kau merasa terkhianati? Semoga saja kau bisa faham bahwa manusia tak punya kekuatan untuk melawan hatinya untuk jatuh cinta. Lantas apakah kita akan menyalahakan Tuhan yang telah menciptkan perasaan ini? Tentu tidak kan. 

Kita memang tak bisa memilih dengan siapa, kapan, dan dimana kita akan jatuh cinta. Aku bahkan lupa kapan aku mulai merasakan ada getaran yang tak biasa padamu. apakah pertemuan pertama kita ketika kau waktu itu mengenakan baju warna hitam dengan baju kaos warna ungu di dalamnya? Mungkin saja, atau mungkin pula aku telah jatuh hati padamu sejak teman lamaku yang juga pernah mengisi hatiku mengenalkanmu padaku melalui aplikasi chatting dengan mengirimkan fotomu padaku? Aku masih tak tahu sampai sekarang.

***

Akhir April 2014

Tujuh bulan bukanlah waktu yang singkat, dan itulah waktu yang telah kita jalani dalam bingkai persahabatan. kini semuanya telah berubah, perasaan itu telah memudar. Kau sudah tak seistimewa dulu lagi. Hati ini sudah berpaling ke orang lain yang telah menggetarkannya hanya dengan tulisan-tulisannya yang menggambarkan sikap dan pandangan hidup yang ia pegang. Seorang gadis belia yang punya prinsip, visi dan tekad yang sekuat baja, mungkin lebih kuat dari itu.

Kini kau berubah menjadi teman akrabku, teman tempatku berbagi cerita dan temanku untuk berbagi tanya dan berbagi jawab. Ah, mungkin bukan berbagi, sebab aku lebih banyak memberi tanya dan kau lebih banyak memberi jawab. Bahkan kau mengajarkan padaku bagaimana seharusnya aku mengatakan cinta padanya, bahkan tempat makan untuk berdua dengannya kau yang atur. Apakah ini yang kau anggap sebagai ketulusan seorang sahabat.

Aku kini lebih menyukaimu daripada yang dulu, kini kau lebih terbuka. Bahkan kau bercerita tentang lelaki  yang kau suka, yang katamu seperti lelaki yang kolot tapi sangat gentle menurutmu. Aku tak terlalu ingin tahu tentangnya karena aku hanya ingin tahu tentangmu, bukan tentang dia dan bukan tentang mereka. Toh walaupun perasaan ini telah pudar aku tak yakin bahwa benih cinta itu telah hilang semuanya.


"Catatan Absurd" 

Liverpudlian "You Will Never Walk Alone"

Biarkan aku bercerita sedikit pagi ini. Bukan tentang agape, eros, philia, atau mungkin storge. Ini hanya sebuah kekecewaan akan sebuah hal atau mungkin tentang momen yang begitu ingin kita lihat namun kenyataan yang berkata lain. Aku tak bisa mengkategorikan kecintaanku pada objek tersebut ke dalam empat kategori cinta yang tertulis dalam perjanjian lama dan juga tak pula bisa mengkategorikannya dalam "Four Loves" karya C.S Lewis. Aku tak tahu apakah ini termasuk dalam "Natural Love" atau sering kita artikan sebagai affection/stourge yang menurut sebagian orang kadarnya jauh lebih tinggi dari "Love". Ini juga bukan philia, romanatic/eros, atau bahkan divine love. 

Apakah fanatik adalah bagian atau salah satu dari empat konsep cinta yang tertulis dalam perjanjian lama yang tercetak dengan jelas dalam Perikop Yoh 21:15-19, Di sana Yesus bertanya sebanyak tiga kali kepada Rasul Petrus, "apakah Engkau mengasihi Aku?" pertanyaan Yesus yang pertama dan kedua menggunakan  kata agape, apakah engkau meng (agapo) Aku? namun Petrus selalu menjawabnya dengan, "Engkau tahu bahwa aku mengasihi (phileo) Engkau".... (Yoh 21:17). Aku tak meneruskan ayat itu, bukan karena tak sanggup menulisnya, namun sudah jelas bahwa apa yang saya rasakan bukanlah bagian dari philia dan agape dan saya yakin ini juga bukan stourge ataupun eros.

Mungkin ini hanya ambisi yang lahir dari sifat fanatikku terhadap objek itu. Aku bahkan tak tahu (lupa) kapan aku mulai mencintai objek itu. Bahkan bisa dikata aku belum mengenalnya dengan begitu jelas, tanggal lahirnya pun saat aku tulis tulisan ini belum saya tahu. Aku hanya suka dengan semboyan dan mungkin bagi manusia bisa dikata sebagai landasan, simbol atau mungkin filosofi yang dipegang, yang menunjukkan kecintaan kita pada objek tertentu. "You will never walk alone", begitulah bunyi filosofinya. Itu mungkin salah satu yang membuatku jatuh cinta pada dia. 

Cinta, apalagi sebuah cinta yang tak terdefinisi kadang akan melahirkan kebahagiaan dan kadang pula akan melahirkan kekecewaan. Sama seperti kecintaanku pada dia, setelah cintaku tak pernah aku ungkapkan, tak pernah pula aku umbarkan selama sekian lama (aku tak tahu, kapan aku mulai jatuh cinta hingga tak tahu berapa lama aku telah memendam cinta), tahunn ini aku dengan jelas mengatakan bahwa aku mencintainya. Namun saat cintaku bahkan hampir mencapai klimaks, tiba-tiba konflik hati datang menggempurku. Pesona raksasa biru menghatammu di rumahmu sendiri. Engkau terhuyung, namun kuharap tak jatuh. saya pulang derngan kepala tertunduk dan tidurpun menjadi pelampiasan kekecewaanku. Tapi tenang, ingat kami akan terus ada karena "You will never walk alone".

"I'm Liverpudlian and win or lose you will never walk alone"

Senin, 14 April 2014

Sebuah Perkenalan

Awal Cerita 

Sedikit ingin bercerita tentang seseorang, mungkin tak akan seperti cerita-cerita lama yang sangat absurd. Ini tentang seorang yang kukenal tak lama ini, saya begitu nyaman berdiskusi dengannya. Membahas mengenai hidup, teori, politik, negara, linguistik, fisika, kasih sayang, bahkan tentang cinta, semua seperti telah terangkum dalam plot yang ditulis oleh penulis cerdas yang sengaja mempertemukan saya dengan dia.

Saya bertemu dengannya tanpa sengaja di sebuah aplikasi chatting, saya tak tahu bagaimana awalnya hingga kami bisa saling tertaut dalam aplikasi tersebut. Tak perlulah saya mencari tahu tentang itu semua. Awalnya pun saya tak begitu tertarik untuk saling menyapa toh saya adalah orang yang lumayan intropert untuk berkenalan dengan orang yang tak saya kenal secara baik. Saya pun hanya sesekali melihat recent updates nya dari layar handphone saya. Ideologi, paradigma dan perspektif yang ia miliki begitu menarik, tapi sudahlah toh ia adalah orang baru bagi saya. 


Senja dalam Lingkaran Gelas Kopi

Ada hal yang aneh sebenarnya, saya adalah orang yang paling tak suka menerima pesan berantai tapi ia seringkali mengirimkan saya pesan berantai atau orang sebut broad cast yang isinya sih sebagian besar tak terlalu penting. Bahkan kadang hanya membuka lalu menutupnya tanpa ada minat untuk membacanya. Hanya saja ia pernah mengirimkan pesan berantai yang begitu menggambarkan ideologi, paradigma, dan persfektif yang ia pegang dan hal tersebut begitu menarik bagi saya. Hingga akhirnya saya mulai mencoba untuk menyapanya dengan mengomentari "status nya", tak dianya ia pun membalasnya dengan diksi yang begitu cerdas untuk perempuan seumuran dia. Jarang sekali saya menemukan perempuan yang memiliki rasa keingintahuan dan perhatian yang tinggi terhadap konsep-konsep sosial, politik, ketuhanan dan hal-hal lain yang biasanya dianggap sebagai obrolan membosankan oleh sebagian besar "wanita" (Dia menyebut dirinya perempuan dan saya bisa katakan bahwa ia memang seorang yang hampir menjadi perempuan seutuhnya tak seperti "wanita" dalam perspektif yang telah saya dan dia sepakati tentang dua kosa kata tersebut). 

Kesamaan

Saya tak tahu menyebutnya sebagai apa, tapi kami memiliki banyak kesamaan. Entah itu dari pandangan (paradigma dan perspektif) dalam hal-hal yang kami diskusikan, kesukaan, genre bacaan, bahkan sampai minuman favorit (kopi) dan juga tentang hubungan cinta yang pernah (masih) menjalani Long Distance Relationship. Saya tak mau mengusik tentang hal terakhir itu, karena itu adalah sebuah privasi baginya.

"Kesamaan pandangan", iya kami memiliki pandangan yang hampir sama dalam persoalan-persoalan sosial yang sering kami diskusikan, bahkan kami pun memiliki kesamaan pandangan dalam hal hubungan dan cinta, meski ada sedikit hal yang masih sering kami diskusikan untuk mencari jalan tengah dari apa yang menjadi perbedaan. Satu hal yang mungkin tak bisa saya lupa, ia sangat suka dengan tokoh "Soe Hok Gie", seorang aktivis yang meninggal karena menghisap asap beracun dalam pendakiannya. Ia sangat suka pandangan hidup yang dimiliki oleh Gie, kami pernah sedikit berdebat tentang hal itu. Maklum saya tak terlalu kagum dengan Soe Hok Gie, dan akhirnya ia mampu untuk membuat saya yakin bahwa tokoh itu memang layak untuk ia kagumi. 

"Kesamaan Hobi", membaca dan menulis itulah hobi saya apalagi jika ditemani dengan segelas kopi hitam pekat (gulanya sedikit). Hanya saja akhir-akhir ini saya tak sempat untuk melakukan rutinitas yan dulunya seperti ada hal yang hilang jika tak melakukannya. Ini adalah tulisan pertama saya setelah vakuum dalam dunia menulis selama dua bulanan. Kami memiliki kesamaan dalam hal hobi itu bahkan kesamaan dalam bahan bacaan. saya tak bisa menjelaskan lebi jauh karena saya pun belum mengenal dia lebih jauh.

"Kesamaa lain", dalam hal lain kami memiliki kesamaan kisah dalam cinta, kesamaan dalam sikap dalam memandang cinta, dan juga kesamaan dalam hal tempat yang menjadi tempat yang cukup tenang untuk menikmati hari. 

Perbedaan

Persamaan dan perbedaan adalah dua hal yang diciptakan secara bersamaan, sama seperti dua buah sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Hanya saja untuk saya dan dia untuk saat ini tak bisa saya gambarkan apa yang menjadi perbedaan kami.
Sugesti Positif dan Pertemuan

Satu hal yang dia pernah minta pada saya, sebut ia ibu dok, itu katanya menjadi sugesti positif agar ia dekat dengan cita-citanya. Sayapun yang memiliki komformitas tinggi mengabulkan permintaany (kayak Doraemon saja... hahahaha) dengan balasan ia panggil saya Prof. Jadilah kami saling memanggil dengan sugesti yang menjadi "harapan" kelak kami akan jadi "apa dan siapa". 
"Pertemuan", mungkin. Saya masih mengatakan mungkin untuk pertemuan itu nanti. yang pastinya jika pertemuan itu nanti terjadi akan ada cerita yang akan terangkai. Layaknya sebuah cerita yang terangkai di warung kopi dengan suasana taman. 


Kamis, 13 Februari 2014

Paradoks

Kamu tahu apa yang membuat aku sangat takut dan sangat tidak suka? Jawaban dalam candaanku biasanya saya selalu katakan "Hanya dua yang saya takuti Tuhan dan Bazar" hahaha. Itu adalah jawaban spontan sekaligus hanya sebagai candaan meskipun benar bahwa saya memang takut pada Bos Besar yang kita sebut Tuhan itu. Saya memang takut pada Tuhan, tapi aku juga takut akan satu hal di dunia ini yang mungkin sangat sederhana. Bahkan jauh lebih takut dari phobia saya terhadap ketinggian dan ular. "Saya takut kehilanganmu sebagai seorang sehabat". 



Tahukah kamu apa yang paling saya benci di dunia ini? Jika kamu sahabat karibku, mungkin kau akan lansung bisa menebak "ular atau ketinggian". Iya, aku sangat benci akan dua hal itu, bahkan aku bisa katakan aku phobia pada mereka. Tapi, tahukah kamu ada yang melebihi rasa benciku pada dua hal itu."Berbohong pada perasaanku sendiri". Mungkin pula kamu akan bertanya kenapa mesti itu yang menjadi lebih dari kedua phobiaku itu? Kenapa bukan seperti kebanyakan orang yang sangat benci untuk menunggu atau dibohongi.

Jika kau bertanya apakah aku lebih benci berbohong pada perasanku dibanding ular, ketinggian, dibohongi dan menunggu, maka aku akan menjawab dengan tegas "IYA". Saya jauh lebih membenci hal itu. Mengapa? Jelas saya akan lebih membeci itu dari segala yang saya benci karena itu akan membuatku tak bisa tidur hanya untuk memikirkan kenapa saya mesti menyembunyikan perasaanku padamu, mencoba berdebat dengan hatiku bahwa saya tak sayang sama kamu, atau bahkan mencoba mencari sisi gelapmu agar rasa sayangku padamu bisa hilang. Ah,,, aku tak bisa untuk hal itu. Aku sudah terjatuh pada dirimu.

Tapi, jika kau bertanya apa yang akan kau pilih rasa takutmu atau rasa tidak suka/bencimu? Paradoks pun akan muncul dalam benakku. Aku Bimbang!

Iya, aku sangat bimbang. Aku tak bisa memilih diantara keduanya. Namun itulah yang terjadi. Saya takut kehilanganmu sebagai seorang sahabat, namun aku juga sudah tak bisa membendung rasa benciku untuk"Berbohong pada hatiku, bahwa aku sayang sama kamu". 

Ada tiga kemungkinan ketika saya mengungkapkan perasaanku padamu. Pertama, Kamu akan terima aku sebagai satu langkah lebih maju darisekadar  seorang sahabat. Kedua, kamu akan menolakku dan tak mau lagi menjadi sahabatku dan menganggap aku mengkhianati persahabatan kita, dan Ketiga kamu akan menolakku tetapi masih ingin jadi sahabatku. 

Akhirnya aku memilih untuk jujur pada perasaanku "Bahwa aku sayang sama kamu".

Thank You so much....!!! Im so glad to hear from you. :) 

"Bagi pembaca silahkan tebak saja hasilnya" Hahahaha....

Selasa, 11 Februari 2014

Secret Admirer

Plin-plan, mungkin itulah aku jika diperhadapakan dengan perasaan apalagi jika itu tentangmu. Aku pernah berniat untuk mengacuhkanmu dan menghilang untuk beberapa saat, namun hati tanpa ada kontrol dari nalar berkata lain, "Kamu tak bisa, karena kamu sayang sama dia" katanya. Andai dada punya pintu dan jendela aku sangat ingin mengintip atau bahkan mengajak hatiku untuk sedikit berdiskusi, mengapa ia selalu menjadi penghalang ketika aku mencoba untuk menghilang sejenak dari  "Dia" bahkan sejenak saja itu sudah cukup.  Aku hanya ingin tahu apakah kamu akan mencariku? apakah kamu akan keluar melihat bintang di langit yang terhalang awan? ataukah kamu akan mendengarkan rintik hujan yang jatuh sama seperti kesukaanku?



Akupun kini semakin menjadi sangat parah dan kamu boleh memakiku dengan "laki-laki penakut" karena aku sekarang mencintaimu dibalik tameng kata "sahabat". "Geli", menurutku pun seperti itu, bahakan sangat menggelikan. Hatiku berontak untuk mengatakan bahwa "Aku sebenarnya mencintaimu lebih dari seorang sahabat, dan bahkan aku menjamin bahwa tak ada yang  mencintaimu melebihi caraku mencintaimu", namun nalarku pun berontak "Apakah kau siap kehilangan ketika kau ditinggalkan setelah ditolak?". Ah...!!! Aku tak siap untuk itu, aku hanya ingin setiap saat melihatmu tersenyum dengan kejutan-kejutan kecil yang saya berikan. Kuharap setelah ini aku akan menjadi seorang pemberani yang bisa bersamamu atau pergi darimu.


Minggu, 19 Januari 2014

Ruang "Bijak" di antara "Kebutuhan" dan "Keinginan/Hasrat"

"Bijaksana", kata itu masih sangat jauh dariku untuk saat ini. Aku sangat menyukai kata itu dan sangat ingin kata itu dapat saya lekatkan sendiri pada diriku. Aku adalah seorang yang biasanya bahkan bisa dikata selalu menggunakan logika terbalik untuk meyakinkan diriku pada entitas diriku yang selau saya ragukan. Pikiranku memang akhir-akhir ini lebih banyak bifurkasi dibanding hari-hari sebelum ini, maka biarkanlah aku menuliskan semua racauanku yang mungkin terdengar seperti omong kosong belaka. Bukankah kita memang baru memaknai "isi" jika ada pembanding yang kita namakan "kosong". Kembali ke topik tentang bijaksana, sekarang aku merasa kata itu sangat jauh dari dariku saat ini. Mungkin karena banyaknya masalah atau mungkin orang bijak menyebutnya sebagai "tantangan", tapi bolehkah aku keluar dari sebutan "bijak" itu dan menyebutnya sebagai masalah? 



***

Dua hari yang lalu ummiku datang berkunjung ke Makassar, tepatnya datang mengunjungiku di rumah kontrakanku. Aku tak mau membahas tentang bagaimana ia datang, mengapa ia datang, dan bagaiman proses ia bisa sampai di rumah dan bertemu denganku. Ada sebuah moment yang ternyata mampu membuat seluruh rongga dalam dada ini seakan kosong, sebuah kesadaran betapa banyaknya gelombang yang orang sosialis menyebutnya sebagai efek globalisasi, atau mungkin kamu "Mooi" akan menyebutnya zaman Aquarius. Hari itu aku dan ummiku pergi ke sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota semimetropolitan ini, aku memang biasanya belanja hampir semua kebutuhanku di tempat itu. Apalagi masalah fashion. Iya, beberapa bulan ini aku memang sedikit menjadi seorang yang agak hedon. Hingga saat aku mengajak menelusuri beberapa toko pakaian di pusat perbelanjaan teresebut, ia hendak membelikan bapak saya sebuah kemeja. Katanya "kemeja bapakmu, sudah agak lusuh". Aku ajak saja ke toko pakaian di mana saya biasanya berbelanja, ia agak kaget melihat harga-harga pakaian yang tertera pada plang-plang yang dapat dibaca dengan sangat jelas meski dengan mata minus sekalipun. 

Disitulah aku tersentak, betapa berlebihannya cara hidupku sekarang. Bahkan harga tersebut hanya sama seperti bon harga dua buah paket Triple Beef Burger yang biasanya saya pesan ketika mentraktir teman yang baru saja aku kenal, bahkan tak lebih mahal dari sekadar teriak-teriak tak jelas di tempat karaokean atau sekadar memuaskan mata dengan menonton film-film box office terbaru yang nantinya pun akan dapat ditonton versi blue raynya, toh tokoh, plot dan ceritanya tak berbeda. Tak usahlah aku membandingkannya dengan objek yang serupa, karena aku benci sebenarnya dengan angka-angka dan semua yang bersifat matematis. Hanya saja aku teringat sebuah ujaran Mahatma Gandhi "Dunia ini cukup untuk seluruh manusia, tetapi tak akan cukup untuk seorang manusia yang serakah". Dan, kalimat  itulah yang seakan membawaku pada sebuah keinsafan sementara dan mungkin sebuah keinsafan yang pseoudo. Apa yang menjadi kebutuhanku jika dipikir dengan bijak sebenarnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang menjadi keinginanku dan selama ini saya selalu memperturutkan apa yang menjadi keinginanku. 

***

Aku menyukai kesederhanaan dan akupun suka dengan wanita yang tampil apa adanya. Standar sederhana apakah perlu sebuah pendefinisian yang lebih renik tentang itu? seharusnya seperti itu, karena persefsi akan selalu berbeda sesuai dengan kondisi realitas yang dialami seseorang.Tulisan kan tak pernah lahir dalam sebauh kekosongan budaya, namun selalu dipengaruhi oleh mimetik dan pengaruh latar belakang penulis itu sendiri.

Terlalu jauh sepertinya hingga menyentil permasalahan itu, aku hanya ingin memberi koridor pada diriku. Bukankah hal yang paling tersulit adalah sebuah keinsafan yang kemudian berlanjut pada tindakan atas dasar keinsafan itu. Koridor bukanlah sebuah pembatasan secara semena-mena oleh diri sendiri, namun mencoba memberi ruang pada kata "Bijak" dalam mengambil sebuah keputusan, khususnya dalam mengkinsumsi dan mengeksploitasi hasil alam. Satu sampai tiga pasang sepatu, tujuh lembar pakaian kerja, lima lembar pakain santai, sebuah arloji, dan sebuah HP sepertinya cukup untuk kategori kebutuhan dalam bidang fashion. Sebuah keinsafan yang tetiba datang jika kulihat rak sepatuku yang sudah penuh sesak dan bahkan ada beberapa yang hanya beberapa kali kupakai, begitupun dengan lemari pakaian dan asesoris-asesoris pelengkap lainnya. 

Ah, kenapa aku jadi matematis seperti ini. Hidup sudah susah kenapa mesti dibuat susah lagi. Namun, apakah kita menjadi lebih susah dengan menyisipkan sedikit ruang pada kata "Bijak" pada pilihan "Kebutuhan" dan "Keinginan/Hasrat". Semoga saja tidak.




Senin, 06 Januari 2014

Arti Hadir

Kadang seseorang perlu menghilang sejenak, bukan karena ia menyerah tapi karena adanya serasa tak dihargai. Bukankah rasa rindu hadir bukan kepada orang yang selalu ada, tetapi pada orang yang pernah selalu ada namun kini tiada. Saya tak pernah berharap kalau aku akan dirindukan, tapi cukup kau anggap aku ada di antara ribuan orang yang memberimu rasa. Cukup itu saja!



"Menjenuhkan", mungkin itulah persfektifmu bagiku, iya aku memang tak seromantis para ribuan "Romeo" yang mengejarmu diluar sana. Aku hanya menawarkan "Ada" pada dirimu. Aku bahkan tak pernah mengatakan kata "Cinta dan Sayang" padamu, bukan karena aku tak bisa. Hanya saja aku menyimpan kata itu untukmu di saat aku sudah pantas untuk mengucapkannya padamu. Mungkin terlihat "Cemen, penakut atau Jaim", yah anggaplah itu sebagai caraku untuk mencintaimu. 

Kau Istimewa, maka aku pun harus mencintaimu dengan istimewa. Iya, kau cukup istimewa, bahkan sangat istimewa bagiku. Mungkin kau berpikiran bahwa aku menganggapmu istimewa karena kau cantik. Tidak! Banyak yang jauh lebih cantik dari kamu kok. Tahu tidak arti istimewa bagiku? Rasa nyaman? Iya, rasa nyaman. Aku merasa nyaman jika melihatmu. Rasa tenang? iya aku tenang jika berada di sampingmu. Itu saja, cukup itu saja. 

Aku sudah cukup berdialog pada diriku tentang arti dirimu bagiku dan arti diriku bagimu. Dan, kucukupkan tulisan ini tanpa tokoh lazimnya cerita-cerita narasi  elegi lainnya, karena kuingin kau akan mengerti dan memeberi nama pada tokoh "Aku dan Kau" dalam cerita elegi ini.

"Rasa rindu hadir bukan kepada orang yang selalu ada,
 tetapi pada orang yang pernah selalu ada namun kini tiada"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...