Selasa, 22 Agustus 2017

Fobia

Hari ini aku bertemu pagi yang serasa datang lebih awal dari biasanya. Ini apologiku saja tentang interval waktu yang sebenarnya bukanlah sebuah hal yang sifatnya relatif. Hanya saja kesibukan dan emosi dalam arti leksikalnya kadang membuat kita merasa waktu menjadi sebuah hal yang relatif, sama halnya dengan diriku yang merasa waktu sebelas purnama adalah waktu yang sangat singkat. Kejadian pada akhir September tahun lalu, masih terasa seperti kejadian minggu lalu. Mungkin bagi orang lain, cerita elegi seperti perpisahan misalnya adalah hal yang akan sulit untuk dilupakan, bahkan bisa saja ada yang dengan ikhlas mengatakan susah untuk move on.

Perpisahan bukanlah sebuah hal yang perlu diratapi, karena jika ia adalah jodoh kita yang hakiki maka tidak akan ada kata berpisah. Kecocokan atau kadang orang lain sebut sebagai chemistry kadang hanya menjadi pembenaran dari pasangan sejoli yang sedang dilanda virus merah jambu. Semua akan nampak indah, meski sebenarnya itu menyakitkan. Maka, tak salahlah akan lahir kejenuhan untuk membuat pembenaran-pembenaran untuk tetap suka pada objek yang sebenarnya tak disuka. 

Efek logis setelah berpisah biasanya adalah selektif. Sama halnya dengan ketika seseorang pernah digigit ular ketika berjalan di sawah yang becek ketika masih kecil, maka secara alamiah dia akan sangat berhati-hati ketika berjalan di sawah. Inilah yang sering kita sebut sebagai fobia, atau perasaan takut yang berlebih pada objek yang sebenarnya tak logis untuk dijadikan objek ketakutan. Selektif kadang membuat kita lupa bagaimana rasa yang sebenarnya kita sukai dan tidak sukai. Kadang kita lupa untuk meletakkan standar like and dislike kita, sehingga makanan favorit, lagu favorit, dan semua yang dulu kita suka kadang seketika menjadi tak berasa lagi.

Kenangan atau mungkin lebih halusnya bisa kita katakan sebagai masa lalu, kadang mampu memberikan efek psikologis terhadap perspektif kita terhadap sebuah objek. Bunga mawar misalnya yang dulunya kita pandang dari bunganya ketika pernah tertusuk durinya, maka kita akan pandang lebih banyak ke durinya. Inilah yang kadang menutup mata kita, dan bisa saja hati kita sehingga kita akan sulit untuk membuka hati lagi setelah sebelumnya pernah tersakiti. Ahhh,,, kali ini aku kembali banyak berteori yang sebnarnya hanyalah sebuah pembenaran dariku atas ketakberanianku untuk menyatakan apa yang sebenarnya saya rasakan saay ini padanya. Bahkan lewat pesan singkat dan jejaring sosial pun saya tak berani untuk sekadar menyapanya dengan "Hay, Halo" atau semacamnya.

Aku tak ubahnya seperti aku sepuluh tahun yang lalu, yang begitu tak punya nyali untuk sekadar bercerita kepada seorang wanita. Tak ada yang berbeda dari hal itu pada diriku, aku masih menjadi seorang penakut. Bukan karena fobia akan kenangan masa lalu, hanya saja Tuhan menciptakan nalarku sejalan dengan rasa maluku. Tapi, kuyakinkan pada diriku bahwa saya punya keberanian untuk meyakinkan orang tuamu bahwa saya bisa menjadi pendampingmu kelak. :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...