Jumat, 15 September 2017

Interval

Berani dan takut itu adalah dua hal yang paradoks, namun tidak sama dengan hidup dan mati. Berani dan takut itu sama halnya dengan hitam dan putih, berbeda namun tidak benar-benar berbeda. Berani dan takut bukanlah dua hal yang benar-benar mutlak untuk dipilih, masih ada pilihan lain selain dua hal itu. Sama halnya dengan hitam dan putih yang masih bisa memilih cokelat, abu-abu, hijau, ataupun merah jambu. Namun, adakah interval antara hidup dan mati. Ungkapan setengah mati adalah hanya sebuah ungkapan saja, karena pada kondisi tersebut seseorang sebenarnya masih dalam dalam keadaan hidup.

Hahaha, saya kembali memulai tulisanku dengan sesuatu yang sangat absurd, sama seperti tulisan-tulisan sebelumnya. Hari ini saya berkutat dengan beberapa kesibukan yang sebenarnya tidak bisa saya kategorikan sebagai sebuah kesibukan yang berguna. Sesekali saya buka I Tunes Store hanya sekadar untuk mengecek list of the week musik yang ujung-ujungnya saya tidak pernah beli. Tak lupa pula saya campur dengan menjadi seorang stalker sosial media yang bisa dikata tingkat kekepoannya melebihi Sherlock Holmes dalam novel karangan Arthur Ignatius Conan Doyle. Membuka beranda aplikasi jejaring sosial besutan Mark Zuckerberg dan menuliskan "S.." di kolom pencarian, seketika nama yang saya ingin kepoin pun terekomendasi. 

sudah sembilan bulan atau mungkin lebih, saya mencoba mengikis interval antara kata berani dan takut. Melipatnya menjadi dekat, dan satu hari sebelum hari lahirku yang ke-27, lipatan itu akhirnya menemui titik temunya. Tak ada basa-basi seperti tulisan-tulisanku di blog, mungkin karena ini sifatnya seperti private message. Kukirimkan sebuah pesan kepadanya, singkat, padat, dan masih kurang jelas. Kata tanya pun hadir, dan dengan rasa percaya diripun saya katakan dengan sejelas-jelasnya maksud saya. Namun, butuh satu hari katanya untuk menjawab pertanyaanku. Tak apalah, mungkin saya akan mendapat kabar baik di ahri lahirku.
Harapku. Hasilnya entahlah-entah.

Menunggunya untuk menjadi semestaku adalah pekerjaan yang paling menegangkan bagiku.

Selasa, 22 Agustus 2017

Fobia

Hari ini aku bertemu pagi yang serasa datang lebih awal dari biasanya. Ini apologiku saja tentang interval waktu yang sebenarnya bukanlah sebuah hal yang sifatnya relatif. Hanya saja kesibukan dan emosi dalam arti leksikalnya kadang membuat kita merasa waktu menjadi sebuah hal yang relatif, sama halnya dengan diriku yang merasa waktu sebelas purnama adalah waktu yang sangat singkat. Kejadian pada akhir September tahun lalu, masih terasa seperti kejadian minggu lalu. Mungkin bagi orang lain, cerita elegi seperti perpisahan misalnya adalah hal yang akan sulit untuk dilupakan, bahkan bisa saja ada yang dengan ikhlas mengatakan susah untuk move on.

Perpisahan bukanlah sebuah hal yang perlu diratapi, karena jika ia adalah jodoh kita yang hakiki maka tidak akan ada kata berpisah. Kecocokan atau kadang orang lain sebut sebagai chemistry kadang hanya menjadi pembenaran dari pasangan sejoli yang sedang dilanda virus merah jambu. Semua akan nampak indah, meski sebenarnya itu menyakitkan. Maka, tak salahlah akan lahir kejenuhan untuk membuat pembenaran-pembenaran untuk tetap suka pada objek yang sebenarnya tak disuka. 

Efek logis setelah berpisah biasanya adalah selektif. Sama halnya dengan ketika seseorang pernah digigit ular ketika berjalan di sawah yang becek ketika masih kecil, maka secara alamiah dia akan sangat berhati-hati ketika berjalan di sawah. Inilah yang sering kita sebut sebagai fobia, atau perasaan takut yang berlebih pada objek yang sebenarnya tak logis untuk dijadikan objek ketakutan. Selektif kadang membuat kita lupa bagaimana rasa yang sebenarnya kita sukai dan tidak sukai. Kadang kita lupa untuk meletakkan standar like and dislike kita, sehingga makanan favorit, lagu favorit, dan semua yang dulu kita suka kadang seketika menjadi tak berasa lagi.

Kenangan atau mungkin lebih halusnya bisa kita katakan sebagai masa lalu, kadang mampu memberikan efek psikologis terhadap perspektif kita terhadap sebuah objek. Bunga mawar misalnya yang dulunya kita pandang dari bunganya ketika pernah tertusuk durinya, maka kita akan pandang lebih banyak ke durinya. Inilah yang kadang menutup mata kita, dan bisa saja hati kita sehingga kita akan sulit untuk membuka hati lagi setelah sebelumnya pernah tersakiti. Ahhh,,, kali ini aku kembali banyak berteori yang sebnarnya hanyalah sebuah pembenaran dariku atas ketakberanianku untuk menyatakan apa yang sebenarnya saya rasakan saay ini padanya. Bahkan lewat pesan singkat dan jejaring sosial pun saya tak berani untuk sekadar menyapanya dengan "Hay, Halo" atau semacamnya.

Aku tak ubahnya seperti aku sepuluh tahun yang lalu, yang begitu tak punya nyali untuk sekadar bercerita kepada seorang wanita. Tak ada yang berbeda dari hal itu pada diriku, aku masih menjadi seorang penakut. Bukan karena fobia akan kenangan masa lalu, hanya saja Tuhan menciptakan nalarku sejalan dengan rasa maluku. Tapi, kuyakinkan pada diriku bahwa saya punya keberanian untuk meyakinkan orang tuamu bahwa saya bisa menjadi pendampingmu kelak. :)

Selasa, 06 Juni 2017

Dialog Rasa

Sintaksis Rasa

“Di sudut senyummu aku pernah menemukan pulang, tempat yang hari ini sengaja aku makamkan bersama genangan luka”. Tiba-tiba saja quote tersebut saya dapati dari sebuah aplikasi jejaring sosial. Quote yang begitu ringan, namun sarat akan makna ratapan rasa. Semua orang pasti pernah berkenalan dengan kecewa, entah dia menjadi subjek yang menjadikan kata kecewa itu hadir ataukah mungkin menjadi objek dari kata kecewa itu, dan skenario terkejamnya adalah menjadi parasit timbulnya kata kecewa itu.

Telah lama saya pendam tumpukan rasa ini, rasa yang hadir karena dirimu yang menjadi subjek dari verba kecewa itu dan saya yang menjadi objeknya. Ini bukan kalimat simpleks saja dalam struktur sintaksis, ini telah menjadi sebuah kalimar kompleks, karena telah hadir kata dia yang menjadi pelengkap sebagai tokoh antagonisnya. Ahhhh sudahlah, toh dengan ini semua berakhir dengan bahagia bagiku dan saya harap ini adalah sebuah hijrah rasa yang abadi dan mungkin juga bagimu yang dapat merasakan kebahagiaan temporal. Ahhhh, sepertinya saya terlalu lembut untuk mengatakannya sebagai sebuah kebahagiaan, karena kebahagiaan lahir dari hati bukan nafsu. Mungkin saya lebih cocok menyebutnya sebagai sebuah kesenangan sesaat.

Sumber Gambar

Fase Rasa yang Berulang

“Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni, dihapusnya jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu (SDD)”. Saya ingin menjadi hujan di bulan Juni, yang menghapus semua jejak-jejak kenangan yang pernah kita lewati bersama. Andai Juni telah hilang dari kalender masehi, maka mungkin tak ada lagi jejak yang tersisa tentangmu. Hanya saja Juni masih hadir sebagai pengingat, untung hanya sebagai pengingat dan tak mampu menjadi pengenang.

Ini hanyalah sebuah fase bukan siklus, titik dimana saya berpindah dan tidak akan kembali. Kau pernah melontarkan kata sesal, bukankah sesal memang adalah sebuah efek logis dari kata kecewa. Sayangnya apriori telah lebih dulu hadir di diriku daripadi empati. Karena bagiku menjadi “Setia” itu bukanlah sebuah perkara sulit, lantas jika itu tidak bisa dilakukan apalagi yang bisa diharapkan dari sebuah pasangan.

Hijrah Rasa

Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak QS. An-Nisaa 100). Potongan ayat ini was a candle in the dark for me. Kita memiliki harapan dan cita-cita karena kita perca
ya bahwa Tuhan itu ada. Saya pernah terjatuh, bahkan bisa dikata bahwa saat itu saya berada di sebuah titik nadir kehidupanku. Tapi, bukankah keindahan puncak tidak terlihat di puncaknya tapi justru di lembahnya.

Chemistry”, dulu saya salah tafsir tentang kata ini. Kesadaranku akan tafsir kata ini lahir entah dari mana, stimulus itu hadir mungkin dari sebuah tulisan sederhana bahwa hubungan yang ideal itu tidak “capek”. Capek tidak lahir hanya karena adanya penumpukan asam laktat pada otot tetapi adanya akumulasi antara hal tersebut dengan keadaan psikis yang merasa tidak nyaman. Rasa nyaman lahir dari adanya empati yang saling berbalas. Hubungan adalah sebuah penyatuan individu menjadi sebuah unit, dan inilah yang tidak ada pada kata “Kita” yang dulu dan semoga saya dapati di individu setelah “dirimu”.

“Saya tak mengatakan bahwa dirimu adalah gelap, tapi saya menemukan terang setelahmu”




Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...