Sabtu, 28 Juli 2012

Inilah Aku

"Kenalilah Dirimu", Kalimat tersebut adalah kalimat yang sering aku dengarkan dari seorang yang dikatakan bijak oleh sebagian orang, tapi kadang aku memberontak dan mengatakan mengapa untuk mengenali diri sendiri pun kita harus diperintah. Bukankah itu adalah sebuah  keniscayaan bagi setiap manusia untuk mengenali dirinya, dan apakah orang yang berkata demikian telah mengenali dirinya ataukah hanya berkata demikian dengan maksud untuk dapat memiliki burgening position dimata orang yang mendengarnya. Aku memang orang yang selalu dipenuhi tanda tanya dalam labirin pikirku, tak hanya menerima segala sesuatunya secara mentah. 

Katanya laki-laki memang lebih dominan menggunakan nalarnya dibanding perasaannya dalam merespon segala stimulus dari luar. Hal tersebut tentunya juga berlaku padu saya. Aku lebih banyak mempertimbangkan segalanya dengan menggunakan nalarku dibandingkan dengan perasaan, tapi tentu hal tersebut tak sepenuhnya membunuh hatiku dalam membijaki sesuatu yang perlu dibijaki. Tak ada sebuah keputusan yang lahir dengan bijak tanpa sebuah pertimbangan yang matang dan hasil pemikiran yang sistematis atau bahkan matematis. Matematis yang saya maksud bukanlah dalam artian 1+1=2, tetapi sebuah istilah bagi saya yang berarti dalam mengambil sebuah keputusan butuh perhitungan untung rugi ataukah efek serta akibat dari pengambilan keputusan tersebut. Keputusan yang bijak pun tak pernah lahir dengan kondisi baik itu jiwa maupun lingkungan yang tidak tenang.

"Diam adalah emas"

Kalimat tersebut pun menjadi sebuah inspirasi bagiku, bahwa diam tak selamanya berarti tak tahu atau dengan gaya bahasa sarkasme bisa dikatakan "bodoh". Diam bagi saya adalah pemberian waktu kepada otak untuk menganalisis, mengkalkulasi dan mempertimbangkan setiap keputusan atau ucapan yang akan diambil atau dituturkan. Menjadi seorang yang "Calm" bukanlah sebuah hal yang mudah, karena tentunya sikap tersebut bersinggungan dengan internal dan eksternal diri. Internal diri tentunya berkenaan dengan otak (nalar), hati, dan tubuh kita sedangkan eksternal lebih banyak berkenaan dengan lingkungan. Pada permasalahan eksternal tentunya sangat dibutuhkan sebuah suasana yang dapat membuat kita tenang, sebuah kondisi yang sering saya imajikan seperti sebuah padang rumput yang luas, sungai kecil mengalir dengan gemerciknya air dan saya duduk bersandar di bawah sebuah pohon yang sangat rindang. Kondisi tersebut pastinya akan membuat kita merasa tenang dan imaji serta daya kreativitas yang terpendang pun akan mudah muncul.

Aku mengibaratkan suasana dan kondisi imajjiku tersebut sama seperti energi yang terdapat pada Sony VAIO E seri 14P warna putih dengan semburat biru. Bagi saya putih adalah lambang sebuah kecerahan, kecerahan hati, pikiran yang lahir dari kondisi dan suasana yang tenang. Ketenangan dalam berpikir tentunya selain didukung oleh suasana yang tenang juga didukung oleh fasilitas bekerja yang mumpuni. Hal tersebut ada pada Sony VAIO E Serie 14P, Notebook yang dilengkapi dengan generasi ketiga Intel Core i7 CPU dengan AMD Radeon HD 7670M GPU diskrit (VRAM 1GB), notebook ini tentunya mampu mendukung segala aktivitas kerja saya tentunya tanpa rasa stress. Semburat warna biru bagai warna langit yang cerah tentunya akan memberi aura positif dalam diri saya. Jika ingin melihat ketenangan yang terpancar dari Sony VAIO E Seri 14P warna putih dengan semburat biru, silahkan saja lihat gambarnya di bawah ini:

Sumber Gambar


Jika kamu adalah seorang yang punya sensitivitas dalam melihat gambar tentunya kamu kan merasa bahwa energi tenang yang terpancar dari Sony Vaio E Serie 14P ini betul-betul menyentuh hinggah kedalaman hati kita. Iya kan? Tampilan yang mulus, warna yang fantastis, keyboard yang pastinya empuk dan pastinya didukung dengan kemampuan yang tertanam di dalamnya membuat aku berimajinasi untuk mencipta sebuah novel dengan menggunakan notebook ini. Semoga!

Selain hal tersebut, akupun adalah pribadi yang sama dengan pemuda pada dasarnya, mempunyai jiwa kebebasan yang menderu dalam jiwa. Seni adalah media yang paling saya sukai untuk mengekspresikan segala perasaan saya. Bagi saya itu adalah sebuah pembebasan jiwa yang paling tepat. Pembebasan jiwa tersebut tak hanya saya batasi pada seni kata (sastra), tetapi juga pada seni teater juga. Hal tersebut saya rasa jauh lebih baik dan lebih efektif jika dibanding harus mengekspresikan kebebasan kawula mudaku dengan balapan atau "adu jotos". Bebas kan tak berarti "brutal", bebas menurutku adalah tersalurkannya keinginan, hasrat dan ekspresi dengan media apapun itu. Aku lantas teringat dengan kata-kata yang tercetak di salah satu merk baju kaos asal Bali "Bebas itu ada batasnya dan biar bebas yang penting bertanggung jawab". Kalimat yang sangat simpel namun penuh dengan makna. Seperti itulah kebebasan yang saya maksud. Kebebasan yang bersih layaknya sebuah kertas putih dengan pembatas garis warna biru. Sama halnya yang terekspresikan dalam Sony VAIO E Serie 14P warna putih dengan semburat biru. Sebuah karya dengan penggabungan Teknologi, Psychologi dan Seni yang tercipta dengan apik. Notebook dengan teknologi yang sangat canggih dengan mempertimbangkan aspek jiwa sang pemakai dengan keindahan bentuk dan warnanya. Notebook yang melambangkan kebebasan dengan warna putihnya dan sekaligus pembatasan (bebas bertanggung jawab) dengan semburat warna birunya.  Semoga bisa menjadi media "Pembebasan Ekspresiku nanti".  Because It's Me!

Bagi yang ingin mengekspresikan kepribadiannya sesuai dengan pancaran "aura dan energi" dari Sony VAIO Serie E 14 P, silahkan klik di sini.


Rabu, 18 Juli 2012

Polemik Teriakan "Jangan Curi" Budaya Kami

Belum selesai pertengkaran mengenai batas teritorial negara, klaim atas daerah perbatasan, bertambah pula klaim atas budaya asli Indonesia oleh negara lain. Aku sebenarnya tak tahu apakah hal ini adalah sebuah kebenaran dari realitas ataukah hanya sebuah ajang dari media untuk meningkatkan tranding, peran elit politik untuk mengubur isu korupsi, peran negara ketiga untuk mengadu domba setiap negara serumpun atau mungkin saja sebuah kesalahpahaman karena komunikasi yang tak berjalan dengan baik. Isu tersebut kemudian dikonsumsi mentah-mentah oleh masyarakat, yah masyarakat kan dominan memakai pemahaman literal meraka dibanding pemahaman kritis mereka. Jadi, wajar saja kalau Indonesia seperti sebuah layar yang setia mengikuti arah mata angin.

Dibalik semua itu akupun tak setuju jika dalam sebuah hubungan bilateral sebuah negara masih ada yang namanya pengklaiman atas budaya sebuah negara. Negara yang mengklaim dan negara yang diklaim budayanya sama-sama tak akan mendapat keuntungan yang setimpal dengan kerugian atas tindakan tersebut. Negara yang mengklaim budaya negara lain kalau saya melihatnya tak ubahnya bagai sebuah negara tanpa sebuah identitas, ataukah sama seperti seekor rusa tanpa tanduk, harimau tanpa belang atau gajah tanpa gading. Adakah yang mau seperti itu? Semoga tak ada.Negara serumpun memang rentang akan isu pencurian budaya, karena mau tidak mau atau suka tidak suka mereka dilahirkan dengan rumpun yang sama yang otomatis memiliki kemiripan karakter baik dari segi fisik maupun budaya sekalipun.

Aku justru memakai logika terbalikku untuk melihat permasalahan tersebut, sebelumnya masyarakat tak pernah menghargai atau setidaknya mengenal budaya mereka sebelum diklaim oleh negara lain. Contohya, masyarakat kita jarang sekali yang mengenal Reog Ponorogo sebelum diklaim, tetapi setelah diklaim "wah" kecintaan mereka meningkat, menggebu atau mungkin bisa disebut fanatik posessif. Kecintaan masyarakat terhadap budaya yang diklaim tak hanya pada budaya dan warisan-warisan yang lumayan besar memiliki nama seperti batik, tari pendet, wayang kulit dan sebagainya tetapi juga pada masakan seperti Rendang Padang. Masyrakat baru tersadar bahwa budaya mereka ternyata bernilai dan memiliki nilai di mata orang lain atau bahkan negara lain padahal mereka tak pernah menghargai budaya tersebut.

Aku tak hanya sekadar berapologi pada  tulisan ini, aku melihatnya memang baru secara kasat mata. Pengamatan tersebut tentunya tak jauh dari penghargaan masyarakat di sekitar saya mengenai budaya kami (masyarakat Sulsel). Daerah saya khususnya terdapat sebuah kebudayaan yang merupakan warisan dari orang-orang terdahulu kami atau lebih lazim disebut nenek moyang. Budaya tersebut adalah budaya yang sangat identi dengan komunitas bissu. Upacara adat mappalili, maggiri, dan lain sebagainya adalah upacara adat yang dulunya memilki nama besar pada zaman kerajaan. Hal tersebut tak berlaku lagi untuk saat ini. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya pergeseran nilai oleh masyarakat bahkan oleh pucuk pimpinan di setiap daerah. Masyarakat lebih mencintai budaya daerah lain atau bahkan negara lain dibandingkan dengan budaya mereka sendiri, sehingga lahirlah cap "Pecinta Korea" bagi para remaja yang asyk sekali mengikuti gaya negara mode tersebut.

Teriakan-teriakan JANGAN CURI budaya kami hanyalah sekadar teriakan tanpa sebuah efek jika tak dimulai dengan sikap mencintai dan melestarikan budaya. Mulailah untuk melihat ke dalam kemudian menginterpretasi keluar sehingga lahir sebuah introspeksi dan tak hanya sebuah ego dan pemikiran naif yang melahirkan kebencian tak berdasar. Jagalah, lestarikanlah, dan cintailah jika kamu tak mau kehilangan. (Hal tersebut kan sama dengan prinsip antara sepasang kekasih "Jika kau tak menjaga wanitamu maka yakinlah orang lain akan merebutnya darimu" hehehe)

Senin, 16 Juli 2012

Sekolah atau Penjara

"Mengajar bukan profesi. Mengajar adalah kegemaran. Aku telah mencapai sebuah kesimpulan yang menakutkan bahwa aku adalah unsur penentu di dalam kelas. Pendekatan pribadikulah yang menciptakan iklimnya Suasana hatikulah yang membuat cuacanya. Sebagai seorang Guru, aku memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membuat hidup seseorang menderita atau gembira. Aku bisa menjadi alat penyiksa atau pemberi ilham, bisa bercanda atau mempermalukan, melukai atau menyembuhkan. Dalam semua situasi, reaksikulah yang menentukan apakah sebuah krisis akan memuncak atau mereda dan apakah seseorang akan diperlakukan sebagai manusia atau direndahkan."( Haim Ginott)
Tahun 1996 "Sekolah adalah Rumah Ke-duaku"
Aku pertama menginjakkan kakiku di bangku sekolah. Tak ada diferensiasi antara apa yang selalu diceritakan oleh ummiku dengan kenyataan saat itu tentang sekolah. Katanya "Di sekolah kamu akan menemukan teman-teman baru dan kamu akan bertemu dengan guru-guru yang akan senantiasa menyunggingkan senyumnya untukmu". Ummiku ternyata tak hanya mencoba untuk menenangkanku, aku menemukan sosok "orang tua ke dua" pada saat itu. Aku merasa guru pada saat itu layaknya seorang teman belajar, teman bermain, dan teman bercerita. Tak ada batasan kaku antara saya dan mereka. Saat saya tak bisa menuliskan angka delapan yang saat itu merupakan angka yang paling sulit saya tulis ia dengan ramahnya menggengam tanganku dan membimbing tangan mungilku berkelok layaknya membentuk dua angka nol yang saling berdempetan "mudah kan?" katanya seraya tersenyum "iya pak" jawabku sambil menunduk tersipu.
Saat mata pelajaran olahraga, ia tak hanya menjadi seorang wasit atau menjadi seorang pelatih dalam permainan sepakbola. Ia lebih dari itu, ia tak hanya menjadi pengadil dan pelerai dalam permaianan kami yang kadang harus diwarnai dengan perkelahian ala anak SD, ia mampu menenangkan dan membagkitan semangat kami tanpa menggunakan pluit atau bahkan pentungan. Ia tak hanya sekadar mengajarkan teknik bermain bola, tetapi menjadi teman bermain sepak bola kami. Kadang ia harus rela menjadi seorang pelempar bola pada kami saat permainan takraw atau menjadi kiper dalam permainan sepak bola kami.
Seorang Guru Menggandeng tangan, membuka pikiran, menyentuh hati, membentuk masa depan. Seorang Guru berpengaruh selamanya dan dia tidak pernah tahu kapan pengaruhnya berakhir (Henry Adam)
Tahun 2000 "Mengapa Kalian Berubah?"
Suasana atau mungkin lebih tepatnya nuansa yang saya rasakan pada tahun awal aku menginjakan usia 10 tahun atau masa ketika aku masuk kelas IV sekolah dasar mulai berbeda dengan nuansa ketika saya pertama kali mengenal dunia pendidikan formal. Guru pun yang dulunya bagiku seperti teman kini menjadi sosok "guru" yang sebagian orang menganggapnya sebagi guru yang sebenarnya. Saat itu saya mulai jarang berinteraksi layaknya sepasang teman sejawat, mulai ada sekat antara kami. Ada pembatas norma yang sampai saat ini pun aku masih merasa absurd atas hal itu. Kami tak boleh lagi bertanya ini itu sama seperti sebelumnya, kami tak sering lagi bermain sepak bola bersama dan senyum yang dulunya pun tak pernah alfa dari bibir mereka telah sering diselingi dengan "ceramah membosankan" atau bahkan ujung sapu ijuk pun pernah melayang di betis-betis kami. Apakah ini sebuah drama atau lakon yang mereka perankan? Pertanyaan yang sampai saat ini belum mampu saya jawab sendiri. Tapi satu yang pasti, saya sudah merasa ada yang berubah dari mereka.
Alasan usia dan tingkat pemikiran kami (siswa) mungkin menjadi alasan mereka mengubah pola mereka untuk memanusiakan kami. Pola "mendidik" yang dulunya mampu mengilhami kini berganti dengan pola "mengajar" yang seolah memaksa kami untuk memahami ingin mereka. Saya berpersefsi bahwa mereka melakukan hal tersebut atas dasar anggapan dan konsep pendidikan yang mereka ambil dan adopsi dari buku-buku teks pendidikan tanpa pernah memerhatikan kondisi dan keinginan peserta didiknya. Hal tersebut mengakibatkan kesenjangan antara harapan dan keinginan pendidik dengan harapan dan keinginan peserta didik. Sehingga terbentuklah pola pengajaran satu arah yang layaknya hanya sebagai wadah transformasi keilmuan dari guru ke siswa. Saat itu aku mulai merasa bahwa apa yang selalu dikatakan oleh ummiku dulu hanyalah sebagai pembuka akan dongeng-dongeng melodi pengantar tidur semata.
"Guru biasa memberitahukan, guru baik menjelaskan, guru ulung memeragakan, guru hebat mengilhami (William Arthur Ward)"
Tahun 2005 "Percaya pada Kami!"
Transformasi keilmuan satu arah tak hanya saya rasakan di bangku sekolah dasar, tetapi juga saya rasakan hingga menjelang ujian nasional di bangku sekolah menengah pertama. Hal tersebut tentunya lebih parah dengan ditambahkannya konsep funishment tanpa ada reward. Hal yang paling menggelitik adalah konsep pemahaman pendidik yang seolah menganggap kami peserta didik sebagai objek dari pendidikan itu sendiri. Objek pendidikan dalam artian menganggap kami sebagai sebuah gelas kosong yang mesti diisi tanpa ada interaksi dua arah. Pendapat dan argumen kami seolah hanya sebagai bumbu penyedap dalam proses pembelajaran. Pemahaman akan mata pelajaran pun diukur dari persefsi dan anggapan mereka dengan melakukan berbagai tes-tes kognitif yang sangat kaku.
Efek dari pemahaman tersebut yaitu ketika kami menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) yang tentunya sangat berorientasi pada nilai kognitif. Para pendidik seakan tak percaya pada kemampuan kami sebagai peserta didiknya untuk menjawab soal-soal pada UAN tersebut, sehingga lahirlah "ide bodoh dan membodohkan" yaitu dengan memberikan kunci jawaban kepada kami. Untungnya ide tersebut tak sempat terealisasikan, entah karena alasan apa. Mereka seharusnya sadar bahwa hal tersebut merupakan efek dari konsep pembelajaran yang mereka terapkan. Seandainya peserta didik dijadikan sebagai subjek pendidikan dan pendidik sadar bahwa tugas mereka tidak hanya untuk menyampaikan pelajaran tetapi juga untuk menjelaskan, memeragakan atau bahkan mengilhami kami sebagai peserta didik tentu mereka akan percaya akan kemampuan kami ketika menghadapi UAN tersebut.
“Tujuan mengajar adalah untuk membuat anak bisa maju tanpa Gurunya” (Elbert Hubbard).
Tahun 2006 “Sekolah adalah Penjara”
“Tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah” (Chrisye). Penggalan lagu almarhum Chrisye mungkin memang tepat jika kita melihat dari sisi romantika cinta, tapi hal tersebut tentunya tak sesuai dengan realita pendidikan di bangku SMA. Setidaknya itulah yang saya rasakan pada saat itu. Sekolah bagai sebuah penjara, tak ada kebebasan berekspresi. Keterkunkungan akan sebuah sistem pendidikan merupakan warna yang sangat kental pada masa ini.
Kecerdasan peserta didik hanya dilihat dari aspek kecerdasan “mathematic” belaka, tanpa pernah memerhatikan multiple intelegence yang dimiliki siswa. Kesalahan persefsi lahir dari para pendidik yang tak pernah melakukan introspeksi diri terhadap pola dan metode pembelajaran yang diterapkan. Saya yang merasa jenuh dengan metode pembelajaran yang diterapkan kadang membolos pada beberapa mata pelajaran, hal tersebut kemudian dicap sebagai sebuah kenakalan tanpa ada hubungan kausalitas dari pendidik. Persefsi yang sangat pragmatis dan bahkan bisa dibilang apatis.
Tapi dibalik semua itu, saya merasa beruntung telah diajarkan oleh guru-guru saya akan norma dan aturan sehingga meskipun miskin akan kemampuan kognitif tetapi setidaknya saya masih bisa mengucapakan kata “Terima kasih” bagi mereka yang telah berjasa membuatku seperti saat ini.
Tahun 2014 “Sekolah adalah Surga Bagi Siswa”
Berbuat sebuah kesalahan adalah wajar, tapi mengulang kesalahan yang sama adalah sebuah ketakwajaran (Wahyuddin MY, 2010). Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang sering diucapkan oleh ketua saya di lembaga kampus yang sekarang menjadi salah satu voluunter di program Indonesia Mengajar. Sadar akan kekeliruan yang pernah dirasakan ketika menjadi seorang peserta didik seharusnya menjadi landasan untuk tak berbuat seperti hal tersebut. Saya telah berani melakukan kritik atas apa yang pernah saya rasakan, berarti saya seharusnya mampu tuk melakukan proyeksi untuk perbaikan kedepannya.
Menjadi seorang guru berarti belajar kembali.
Sebagai seorang calon pendidik seharusnya melakukan evaluasi baik dari sistem, metode, dan konsep pendidikan yang mereka telah lalui maupun terhadap kemampuan yang mereka miliki saat ini. Hal tersebut tentunya tak hanya menjadi sebuah konsep ideal tanpa bentuk aplikasi, sehingga sekolah dapat menjadi surga bagi peserta didik. Evaluasi tentunya akan melahirkan sebuah proyeksi. Semoga para calon pendidik utamanya saya tak hanya mampu menjadi “kritikus pendidikan” tanpa pernah mampu mengubah kondisi tersebut menjadi lebih baik. Harapan yang selalu terselip di hati saya dan semoga di hati tiap calon pendidik adalah menjadikan sekolah tempat kami mengabdi nantinya sebagai surga bagi peserta didik kami.

Tulisan ini aku buat untuk mengikuti Lomba Blog "Menjadi Pendidik" Sampoerna School of Education. Lebih dari itu aku menulis segala keresahanku tentang "pendidik" semata-mata bukan hanya sebagai kritik tetapi juga sebagai wadah untuk introspeksi untuk melakukan proyeksi ke depan. Harapanku pun bagi yang membaca tulisan ini utamanya bagi calon pendidik sadar bahwa kekeliruan yang dilakukan oleh guru kita jangan sampai kita lakukan lagi dan menjadi sebuah siklus kesalahan tak berujung.





Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...