"Mengajar
bukan profesi. Mengajar adalah kegemaran. Aku telah mencapai sebuah kesimpulan
yang menakutkan bahwa aku adalah unsur penentu di dalam kelas. Pendekatan
pribadikulah yang menciptakan iklimnya Suasana hatikulah yang membuat cuacanya.
Sebagai seorang Guru, aku memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membuat
hidup seseorang menderita atau gembira. Aku bisa menjadi alat penyiksa atau
pemberi ilham, bisa bercanda atau mempermalukan, melukai atau menyembuhkan.
Dalam semua situasi, reaksikulah yang menentukan apakah sebuah krisis akan
memuncak atau mereda dan apakah seseorang akan diperlakukan sebagai manusia
atau direndahkan."( Haim Ginott)
Tahun 1996
"Sekolah adalah Rumah Ke-duaku"
Aku pertama menginjakkan kakiku di
bangku sekolah. Tak ada diferensiasi antara apa yang selalu diceritakan
oleh ummiku dengan kenyataan saat itu tentang sekolah. Katanya "Di
sekolah kamu akan menemukan teman-teman baru dan kamu akan bertemu dengan
guru-guru yang akan senantiasa menyunggingkan senyumnya untukmu". Ummiku
ternyata tak hanya mencoba untuk menenangkanku, aku menemukan sosok "orang
tua ke dua" pada saat itu. Aku merasa guru pada saat itu layaknya seorang
teman belajar, teman bermain, dan teman bercerita. Tak ada batasan kaku antara
saya dan mereka. Saat saya tak bisa menuliskan angka delapan yang saat itu
merupakan angka yang paling sulit saya tulis ia dengan ramahnya menggengam
tanganku dan membimbing tangan mungilku berkelok layaknya membentuk dua angka
nol yang saling berdempetan "mudah kan?" katanya seraya tersenyum
"iya pak" jawabku sambil menunduk tersipu.
Saat mata
pelajaran olahraga, ia tak hanya menjadi seorang wasit atau menjadi seorang
pelatih dalam permainan sepakbola. Ia lebih dari itu, ia tak hanya menjadi
pengadil dan pelerai dalam permaianan kami yang kadang harus diwarnai dengan
perkelahian ala anak SD, ia mampu menenangkan dan membagkitan semangat kami
tanpa menggunakan pluit atau bahkan pentungan. Ia tak hanya sekadar mengajarkan
teknik bermain bola, tetapi menjadi teman bermain sepak bola kami. Kadang ia
harus rela menjadi seorang pelempar bola pada kami saat permainan takraw atau
menjadi kiper dalam permainan sepak bola kami.
“Seorang Guru Menggandeng
tangan, membuka pikiran, menyentuh hati, membentuk masa depan. Seorang Guru berpengaruh selamanya dan dia tidak pernah tahu kapan pengaruhnya berakhir (Henry Adam)”
Tahun 2000
"Mengapa Kalian Berubah?"
Suasana
atau mungkin lebih tepatnya nuansa yang saya rasakan pada tahun awal aku
menginjakan usia 10 tahun atau masa ketika aku masuk kelas IV sekolah dasar
mulai berbeda dengan nuansa ketika saya pertama kali mengenal dunia pendidikan
formal. Guru pun yang dulunya bagiku seperti teman kini menjadi sosok
"guru" yang sebagian orang menganggapnya sebagi guru yang sebenarnya.
Saat itu saya mulai jarang berinteraksi layaknya sepasang teman sejawat, mulai
ada sekat antara kami. Ada pembatas norma yang sampai saat ini pun aku masih
merasa absurd atas hal itu. Kami tak boleh lagi bertanya ini itu sama seperti
sebelumnya, kami tak sering lagi bermain sepak bola bersama dan senyum yang
dulunya pun tak pernah alfa dari bibir mereka telah sering diselingi dengan
"ceramah membosankan" atau bahkan ujung sapu ijuk pun pernah melayang
di betis-betis kami. Apakah ini sebuah drama atau lakon yang mereka perankan? Pertanyaan
yang sampai saat ini belum mampu saya jawab sendiri. Tapi satu yang pasti, saya
sudah merasa ada yang berubah dari mereka.
Alasan
usia dan tingkat pemikiran kami (siswa) mungkin menjadi alasan mereka mengubah
pola mereka untuk memanusiakan kami. Pola "mendidik" yang dulunya
mampu mengilhami kini berganti dengan pola "mengajar" yang seolah
memaksa kami untuk memahami ingin mereka. Saya berpersefsi bahwa mereka
melakukan hal tersebut atas dasar anggapan dan konsep pendidikan yang mereka
ambil dan adopsi dari buku-buku teks pendidikan tanpa pernah memerhatikan
kondisi dan keinginan peserta didiknya. Hal tersebut mengakibatkan kesenjangan
antara harapan dan keinginan pendidik dengan harapan dan keinginan peserta
didik. Sehingga terbentuklah pola pengajaran satu arah yang layaknya hanya
sebagai wadah transformasi keilmuan dari guru ke siswa. Saat itu aku mulai
merasa bahwa apa yang selalu dikatakan oleh ummiku dulu hanyalah sebagai
pembuka akan dongeng-dongeng melodi pengantar tidur semata.
"Guru biasa memberitahukan, guru baik menjelaskan, guru ulung
memeragakan, guru hebat mengilhami (William Arthur Ward)"
Tahun 2005 "Percaya pada
Kami!"
Transformasi
keilmuan satu arah tak hanya saya rasakan di bangku sekolah dasar, tetapi juga
saya rasakan hingga menjelang ujian nasional di bangku sekolah menengah
pertama. Hal tersebut tentunya lebih parah dengan ditambahkannya konsep funishment
tanpa ada reward. Hal yang paling menggelitik adalah konsep
pemahaman pendidik yang seolah menganggap kami peserta didik sebagai objek dari
pendidikan itu sendiri. Objek pendidikan dalam artian menganggap kami sebagai
sebuah gelas kosong yang mesti diisi tanpa ada interaksi dua arah. Pendapat dan
argumen kami seolah hanya sebagai bumbu penyedap dalam proses pembelajaran.
Pemahaman akan mata pelajaran pun diukur dari persefsi dan anggapan mereka
dengan melakukan berbagai tes-tes kognitif yang sangat kaku.
Efek dari
pemahaman tersebut yaitu ketika kami menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) yang
tentunya sangat berorientasi pada nilai kognitif. Para pendidik seakan tak
percaya pada kemampuan kami sebagai peserta didiknya untuk menjawab soal-soal
pada UAN tersebut, sehingga lahirlah "ide bodoh dan membodohkan"
yaitu dengan memberikan kunci jawaban kepada kami. Untungnya ide tersebut tak
sempat terealisasikan, entah karena alasan apa. Mereka seharusnya sadar bahwa
hal tersebut merupakan efek dari konsep pembelajaran yang mereka terapkan.
Seandainya peserta didik dijadikan sebagai subjek pendidikan dan pendidik sadar
bahwa tugas mereka tidak hanya untuk menyampaikan pelajaran tetapi juga untuk
menjelaskan, memeragakan atau bahkan mengilhami kami sebagai peserta didik
tentu mereka akan percaya akan kemampuan kami ketika menghadapi UAN tersebut.
“Tujuan mengajar adalah untuk membuat anak bisa maju tanpa
Gurunya” (Elbert Hubbard).
Tahun 2006 “Sekolah adalah Penjara”
“Tiada
masa paling indah, masa-masa di sekolah” (Chrisye). Penggalan lagu almarhum Chrisye mungkin memang
tepat jika kita melihat dari sisi romantika cinta, tapi hal tersebut tentunya
tak sesuai dengan realita pendidikan di bangku SMA. Setidaknya itulah yang saya
rasakan pada saat itu. Sekolah bagai sebuah penjara, tak ada kebebasan
berekspresi. Keterkunkungan akan sebuah sistem pendidikan merupakan warna yang
sangat kental pada masa ini.
Kecerdasan peserta didik hanya
dilihat dari aspek kecerdasan “mathematic”
belaka, tanpa pernah memerhatikan multiple
intelegence yang dimiliki siswa. Kesalahan persefsi lahir dari para
pendidik yang tak pernah melakukan introspeksi diri terhadap pola dan metode
pembelajaran yang diterapkan. Saya yang merasa jenuh dengan metode pembelajaran
yang diterapkan kadang membolos pada beberapa mata pelajaran, hal tersebut
kemudian dicap sebagai sebuah kenakalan tanpa ada hubungan kausalitas dari
pendidik. Persefsi yang sangat pragmatis dan bahkan bisa dibilang apatis.
Tapi dibalik semua itu, saya merasa
beruntung telah diajarkan oleh guru-guru saya akan norma dan aturan sehingga
meskipun miskin akan kemampuan kognitif tetapi setidaknya saya masih bisa mengucapakan
kata “Terima kasih” bagi mereka yang telah berjasa membuatku seperti saat ini.
Tahun
2014 “Sekolah adalah Surga Bagi Siswa”
Berbuat sebuah kesalahan adalah
wajar, tapi mengulang kesalahan yang sama adalah sebuah ketakwajaran (Wahyuddin
MY, 2010). Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang sering diucapkan oleh
ketua saya di lembaga kampus yang sekarang menjadi salah satu voluunter di program Indonesia Mengajar.
Sadar akan kekeliruan yang pernah dirasakan ketika menjadi seorang peserta
didik seharusnya menjadi landasan untuk tak berbuat seperti hal tersebut. Saya
telah berani melakukan kritik atas apa yang pernah saya rasakan, berarti saya
seharusnya mampu tuk melakukan proyeksi untuk perbaikan kedepannya.
Menjadi
seorang guru berarti belajar kembali.
Sebagai seorang calon pendidik
seharusnya melakukan evaluasi baik dari sistem, metode, dan konsep pendidikan
yang mereka telah lalui maupun terhadap kemampuan yang mereka miliki saat ini.
Hal tersebut tentunya tak hanya menjadi sebuah konsep ideal tanpa bentuk
aplikasi, sehingga sekolah dapat menjadi surga bagi peserta didik. Evaluasi
tentunya akan melahirkan sebuah proyeksi. Semoga para calon pendidik utamanya saya
tak hanya mampu menjadi “kritikus pendidikan” tanpa pernah mampu mengubah
kondisi tersebut menjadi lebih baik. Harapan yang selalu terselip di hati saya dan
semoga di hati tiap calon pendidik adalah menjadikan sekolah tempat kami
mengabdi nantinya sebagai surga bagi peserta didik kami.
Tulisan ini aku buat untuk mengikuti Lomba Blog "Menjadi Pendidik" Sampoerna School of Education. Lebih dari itu aku menulis segala keresahanku tentang "pendidik" semata-mata bukan hanya sebagai kritik tetapi juga sebagai wadah untuk introspeksi untuk melakukan proyeksi ke depan. Harapanku pun bagi yang membaca tulisan ini utamanya bagi calon pendidik sadar bahwa kekeliruan yang dilakukan oleh guru kita jangan sampai kita lakukan lagi dan menjadi sebuah siklus kesalahan tak berujung.
Tulisan ini aku buat untuk mengikuti Lomba Blog "Menjadi Pendidik" Sampoerna School of Education. Lebih dari itu aku menulis segala keresahanku tentang "pendidik" semata-mata bukan hanya sebagai kritik tetapi juga sebagai wadah untuk introspeksi untuk melakukan proyeksi ke depan. Harapanku pun bagi yang membaca tulisan ini utamanya bagi calon pendidik sadar bahwa kekeliruan yang dilakukan oleh guru kita jangan sampai kita lakukan lagi dan menjadi sebuah siklus kesalahan tak berujung.

11 komentar:
keren bang tulisannya, semoga sukses lombannya :D
Reply CommentIya terima kasih,,,Amin semoga bsa menang. Salam Blogger.
Reply Commentnamun sampai kapan mereka yang terpinggirkan semakin terpinggirkan dengan semakin canggihnya metode pendidikan...
Reply Commentsalahkah mereka...??
Tak ada istilah pendeskreditan, penyudutan atau bahkan membuat mereka (pendidik) menjadi terpinggirkan. "Kecanggihan metode" yang anda sebutkan seharusnya tak mengubah karakter dan hakikat dari pendidik itu sendiri. Tugas dari pendidik tak hanya untuk "memberi tahu" tetapi juga untuk "megajarkan, memeragakan atau bahkan diharapkan dapat mengilhami peserta didiknya". pengadopsian konsep, metode, maupun teknik pembelajaran tanpa melihat kondisi dan lingkungan peserta didik adalah sebuah kekeliruan. Selain itu menyamakan peserta didik dengan peserta didik lainnya dalam hal gaya belajar "learning style" merupakan sebuah pemahaman yang sangat primitif.
Reply CommentTerima kasih ats tanggapannya saudara.
wah keren banget tulisannya mas
Reply Commentsistematis banget...
sukses ya tuk lombanya, semoga menang deh
btw, udah jadi follower ke 54 nih, mampir ya
semoga sukses. bagi saya, sekolah adalah tempat terpenting. tempat menimba ilmu. guru tetap manusia, tapi tak ada profesi semulia guru
Reply Commentkarena guru itu mempunyai tanggung jawab yang besar pada tiap mind set mind set yang tercipta pada masing-masing siswanya. salam kenal :)
Reply Comment@SAbda Awal: Thank brow atas apresiasinya,,,, oke browe aku follow balik. Salam kenal
Reply Commentabi ukan: Iya sekolah adalah tempat terhebat andai ia berjalan tanpa sebuah penyimpangan. Guru adalah seorang manusia hebat,,,bukan seorang dikatator. hehehe
Reply Commentteeyara45: Guru adalah orang yang paling berpeluang meng-set mindset setiap generasi masa depan Indonesia. Salam kenal
Reply CommentOh Guru.. entahlah, setiap kali mendengar kata itu detak jantungku mendadak terdengar ke telinga.
Reply Commentitu adalah impian indah yang menemaniku selama ini.
Posting Komentar