Selasa, 16 April 2013

Rasa yang Tak Tuntas

Lelaki yang malang dengan malam sebagai perisai hatinya. Malam tak berarti gelap baginya karena malam adalah waktu yang tepat untuk dapat merengkuh dan mengotak-atik seluruh alam tak nyatanya. Ia selalu berdiri menantang langit dan bintang dan sesekali mengeryitkan dahinya saat sebuah batu langit habis terkikis oleh lapisan atmosfer di atas sana. Ia kini telah ragu akan apa yang pernah ia percayai, ia dulu sangat yakin akan mitos jika ada sebuah bintang jatuh maka berdoalah kelak doamu itu akan jadi kenyataan. Dahinya yang mengkilap diterpa cahaya lampu petronas yang tergantung bebas di beranda rumahnya malam itu seakan menggambarkan betapa hari ini ia lalui dengan penuh penat di kepalanya. Ekspresinya kini berubah, ada sebuah keanehan yang terjadi. untuk pertama kalinya ia menarik ujung bibirnya untuk saling berjauhan membentuk sebuah garis lengkung yang sudah sangat lama tak pernah ia lakukan. Ia mendongakkan kepalanya menantang langit yang kini telah berubah menjadi kelam tersapu oleh awan hitam pembawa hujan di awal April, ekspresinya masih sama namun sebuah suara lembut terucap dari bibirnya. "Terima kasih untuk  waktumu malam ini" adalah kata yang terlontar bebas dari bibirnya.

Entahlah, apa yang telah ia alami malam itu hingga mampu membangkitkan lagi gairah yang sudah satu triwulan terkubur. Adakah wanita yang sudah mampu mengais kembali serpihan-serpihan hatinya yang dulu telah terkubur dengan rapi? Ataukah malam telah mengutus Afrodit untuk menemaninya menuntaskan semua yang belum tertuntaskan pertengahan Desember tahun lalu? Semuanya terasa buram layaknya kaca jendela yang terkena uap udara panas dan dingin.

Rintik hujan kini mulai jatuh membuat sebuah gelombang di air tergenang depan rumah, satu gelombang saling bersatu dengan gelombang lainnya. Awalnya berbentuk gelombang dengan lingkaran penuh namun saat bertemu dengan gelombang lainnya menjadi sebuah gelombang yang abstrak. Resonansi bunyi dari genteng yang ditabrak oleh rintik hujan pun kini beradu pacu dengan suara gemericik genangan air depan rumah. Semuanya kini membentuk sebuah irama tanpa peduli pada lelaki yang masih terduduk menantang langit. Bintangnya kini telah hilang berganti dengan hujan yang sebenarnya bukanlah sebuah substitusi yang sempurna. Bukankah hujan adalah pelengkap malam ketika kejenuhan akan bintang telah hadir?



1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...