Kamis, 27 Juni 2013

Masih Mengagumimu

Tetaplah Jadi Bintang dan Biarkan Aku Tetap Mengagumimu
Juni masih hujan, yah tak seperti tahun-tahun sebelumnya. musim kan seharusnya telah berganti. Apakah musimnya sudah tak beraturan lagi ataukah memori jangka panjangku saja yang mulai trouble. Ah, tak usahlah aku berdebat dengan diriku sendiri tentang hal itu. Toh, perdebatan ini tak akan mengembalikan musim seperti sedia kala. Kita bertemu kembali di persimpangan jalan rasa yang terbisukan dan ku tak mau kita berpisah di ujung jalan yang terbisukan pula. Lisankan kalimat, klausa, frase, kata atau cukup dengan morf saja! agar nantinya aku memiliki kesibukan untuk merangkai setiap morf-morf yang kau beri dan kemudian menerjemahkannya sesuai inginku. Kemarin aku memberimu sebuah isyarat merah, bukan abu-abu agar kau faham bahwa aku ingin membawamu pada sebuah kepastian harap. Aku membiarkanmu pulang untuk mengeja kembali setiap abjad yang sempat terlisankan, dan hari tak lagi senja maka istirahatkankanlah dirimu pada matimu yang sementara. Aku tak ingin ada tendensi rasa dariku untukmu, aku membiarkanmu melebarkan sayap-sayap rasamu menerawang jauh melampaui imajimu, atau kalau kau tak mampu untuk itu mari bersamaku menjejali setiap inchi pasir pantai, setiap desibel suara debur ombak, dan setiap gemericik air sungai.

Aku suka caramu tersenyum padaku ketika aku menjadi diriku, tapi kadang aku alfa kapan aku menjadi diriku dan kapan aku menjadi orang lain. Aku selalu saja menemukan cara membuatmu berada pada sebuah pilihan. Ah, pikirku menantang! Aku terlalu ego untuk itu. Aku seakan mengatur Tuhan dengan takdirnya. Aku seakan memaksakan bumi untuk berputar melawan arah rotasinya atau mungkin menantang angin malam untuk menjadi angin laut. Aku memang egois ketika berhadapan denganmu, mungkin karena keterbatasanku untuk pantas bagimu hingga aku harus memilih memaksakan hati dan dan pikirku agar aku terlihat seimbang. Ah, itu apologiku saja barangkali! Bukankah aku sudah terlalu lihai untuk menyakiti tanpa pernah berpikir orang yang aku sakiti. Bukankah aku adalah manusia berhati dingin yang tak tahu arti kehangatan kasih sayang. Aku mungkin memegang satu sisi kontradiktif dunia namun tak bisa melihat satu sisi lainnya bahkan untuk merasakannya aku tak bisa.

Ini semua memang salah, gila, dan sangat tidak logis. Bukankah hati sama seperti tanah. Mengapa harus tanah? Logikanlah hati sebagai tanah dan paku sebagai pencipta sakitnya. Aku pernah menancapkan paku di tanahmu. Satu kali, dua kali, tiga kali, pasti lebih dari itu hingga aku tak dapat lagi menghitungnya. Aku kan manusia berhati dingin yang tak tahu tentang arti hangatnya kasih sayang. Aku terlalu naif menganggap bahwa ketika aku mencabut paku-paku itu maka tanah itu akan seperti sedia kala. Tidak kan, tanah itu berlubang dan retak. Tanah saja akan retak meski pakunya telah tercabut, bagaimana mungkin hatimu akan seperti sedia kala untuk legowo menerima setiap salah yang pernah kucipta. Bukankah aku terlalu arogan untuk itu. Aku ingin menutup tulisanku ini dengan kata yang sangat engaku suka menurutku "Bintang".

"Tetaplah menjadi bintang dan akupun akan tetap menjadi laut, Laut selalu saja mengagumi bintang. Tapi apakah laut ingin memilki bintang dan menyelipkannya dalam palungnya. Iya, itu dulu. Sekarang laut tahu bahwa bintang tak pantas untuk di palungnya, Bintang terlalu rendah untuk berada di dasar laut. Biarlah bintang tetap berada di langit dan biarkan pula laut untuk tetap dapat mengaguminya"



0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...