Senin, 19 Maret 2012

Cerita tentang Aku, Kau, Dia dan Mereka, Cerita tentang "Kami"

Entah kata apa yang cocok untuk mulai menceritakan perjalananku hari ini. Mungkin kata "lepas beban, akhirnya, selaksa kata sesal, atau mungkin mata pandapun dapat menjadi topik hari ini". Semua tercampur secara alami dan terjadi begitu saja. Ada rasa sesal, haru, senang, suka cita, harapan, jealeus, bangga, bahkan mungkin  terselip pula rasa cinta.  

Sabtu, 17 Maret 2012 mungkin merupakan hari ketika aku mengenal lebih dalam tentang diriku, kau, dia dan mereka yang akhirnya menjadi satu kata "Kami". Malam itu aku merasa sebuah perasaan yang tak biasanya aku rasakan. Mungkin istilah yang paling cocok adalah nyesek. Tapi, ternyata dengan itu aku bisa mengenal diriku lebih dalam, bagaimana pandangan orang lain terhadap diriku, apa ingin orang lain terhadap diriku dan dari situpun aku bisa mengenal kau, dia dan mereka yang selanjutnya aku sebut "Kami" lebih dari yang sebelumnya aku kenal. 

debur ombak dan desir pantai seakan beradu dengan suasana pondok yang tak lebih dari 7*5 meter yang     salah satu teman menyebutnya sebagai sebuah villa. Tempat yang menguras emosi, rasionalisasi, dialektika,bahkan air mata. Pujian terlontar untuk sesuatu yang memang pantas untuk dipuji dan cacianpun terlontar untuk hal yang memang tak sepantasnya dilakukan. Apologi dan spekulasi tak lagi dibutuhkan sebab yang diinginkan hanya objektivitas dan rasionalisasi. Memang sulit untuk menagkui sebuah kesalahan dan bebesar hati menagtakan "aku salah" dan akan berusaha memperbaiki keslahan tersebut. Tapi, bersembunyi di balik kesalahan dengan tameng spekulasi dan apologi bukanlah cara laki-laki atau bahkan saya dapat katakan bukan cara seorang manusia. Aku, kau, dia dan mereka yang tentunya menjadi "Kami" tentunya tak ingin dikatakan sebagai seorang binatang kan? Aku mulai sadar akan hal itu, aku sadar bahwa seorang sahabat, saudara, kakak tak akan melihat adeknya terjatuh pada sebuah lubang.


Bulan tak berganti warna, hanya bergeser dari lingkaran revolusinya. Mataharipun kini berada tepat dibawah bumi yang kami pijak. Kamipun tersadar bahwa kami sebenarnya berada pada sebuah tempat yang kami ingin bangun bersama, tetapi mengapa kami mesti saling menjatuhkan. Apakah karena kita tak saling mengenal? Aku memang salah telah melihat kau, dia dan mereka sebagai seorang di luar dari dari kalian. Aku terlalu angkuh dengan yang aku punya. Aku bahkan melupakan teori zoonpoliticon nya Aristoteles, dan itulah kesalahan aku. Aku terlalu takut dengan kata Tegas, bahkan mungkin phobia dengan kata itu. Tapi kalian telah menyadarkan aku akan pentingnya aplikasi dari kata itu. Sebab aku bukan hanya menjadi wahyuddin, tetapi ada yang melekat dan yang melengket di pundak dan setiap apa yang ada di tubuhku, tindak tuturku bahklan langkahku. "Aku adalah representasi" dan aku harus mampu merepresentasikan siapa "Kami" sebenarnya.

Fajarpun kini hadir berbolak balik dari bahteranya, mencoba mengintip aktivitas kami di balai-balai bambu yang kini mencoba untuk menyatu, mengerti akan kekurangan, dan mencoba untuk merekonstruksi kembali apa yang telah dibangun sebelumnya. Ini bukan kritikan atau gertakan dari majikan atau atasan ke bawahannya ini tentang saran adri seorang kakak, seoiarang saudara, seorang sahabat kepadaoarang yang disayanginya.

Tak ada seorang sauadara, kakak, sahabat yang ingin melihat orang yang disayanginya jatuh pada lubang yang sama dengan lubang yang pernah ia temapti jatuh. Ini mungkin landasan yang paling cocok kenapa mesti kita saling berbagi dan mengapa kita perlu salaing mengingatkan. Aku teringat pada kata yang pernah  aku ucapakan, sebuah falsafah bugis yang belum sempurna aku aplikasikan. Falsafah hidup yang sangat dalam namun sangat simpel. Sipakatau, sipakainge, sipakalebbi", andai falsagfah hidup itu bisa diterapkan secara sempurna maka yakinlah habluminannas akan terjaga. Tapi aku bersyukur subuh itu aku tersadar, ada setidaknya kata-kata kunci yang kini aku harus terus ingat. Sikap terbuka, ikatan emosional yang kuat, serta pengambilan sikap yang tegas dan konsisten merupakan kata kunci yang tak akan saya lupa malam itu.

Mentari di ufuk timur telah terbit, menyapa pagi tanapa rinai hanya bersama spektrum-spektrum warna yang coba menggambar suasana hatiku. Aku tersentak, suasana kini telah berganti. aku tak dapat melihatnya, tapi aku dapat merasakan hal itu. Garis Keceriaan terpanibir bagai lengkungan pelangi yang dulu hampir setiap hari saya lihat kini telah hilang, berganti dengan senyum tulus yang mencoba menyapa rindunya hati ini akan hal itu. Keceriaan terpancar, meski harus menyatu dengan makhluk-makluk mikro di pasir dan pantai saat itu. Tapi itulah "Kami" yang tak tak akan melihat "Kami-kami" yang lain berada pada kesalahan terus menerus. Dan itulah "Kami" yang selalu berusaha mengganti air mata dan kesedihan dengan senyuman tulus.


Kami adalah sebuah mata rantai yang tak akan terputus, Kami adalah sauadara, kami adalah sahabat dan kami adalah teman. Kami bukalah pecundang yang akan jatuh pada lubang yang sama dan menjadikan ini sebagi sebuah warisan.

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...