Selasa, 29 Mei 2012

Filosofi Nikah Bugis (Jilid Dua)



  • Kemarin saya telah menulis prosesi pernikahan suku Bugis samapi pada proses Madduta Mallino, proses tersebut belum selesai dan akan saya lanjutkan sampai pada proses selanjutnya.

    Patenre ada 
    atau Mappasiarekkeng

    Patenre ada 
    atau biasa disebut juga tanra esso atau mita esso adalah bagian dari prosesi mappasiarekkeng. Mappasiarekkeng sendiri merupakan sebuah prosesi pernikahan yang bearti mengikat dengan kuat. Prosesi yang sering juga disebutmappetuada ini adalah prosesi yang bermaksud untuk mengikat janji yang kuat atas pembicaraan yang pernah dirintis sebelumnya oleh kedua belah pihak.

    Selain dari maksud tersebut di atas, prosesi ini juga bermaksud untuk membahas segala sesuatu yang bertalian dengan upacara perkawinan yang terdiri atas: tanra esso (menandai hari), Balanca atau doi panaik (Uang panaik) dan Sompa (emas kawin).

    Acara mappetu ada biasanya dihadiri oleh keluarga calon mempelai wanita dan keluarga dari calon mempelai laki-laki. Keluarga calon mempelai laki-laki kan disuguhkan kue-kue khas bugis yang umumnya manis-manis yang mempunyai makna filosofis agar calon pengantin nantinya dapat hidup dengan manis dan penuh rasa bahagia.

    Dalam prosesi mappasiarekkeng terdapat kegiatan-kegiatan yang lebih rinci, kegiatan-kegiatan tersebut meliputi upacara sebelum akad pernikahan dan upacara setelah akad pernikahan, secara lebih rinci akan dijelaskan sebagai berikut:

    Upacara Sebelum Akad Pernikahan; Upacara sebelum akad pernikahan mulai diselenggarakan setelah proses madduta malino selesai, jika lamaran pihak laki-laki diterima, maka ke dua mempelai sudah disibukkan dengan kegiatan-kegiatan dalam upaya menyiapkan pesta pernikahan. Persiapan-persiapan itu misalnya penyebaran undangan atau lebih sering disebut dengan mappadaMappada biasanya ditujukan kepada keluarga-keluarga dekat dengan menggunakan baju adat (baju bodo).
    • Sebelum proses mengundang maka dilaksankanlah kegiatan manre baje atau balanca, dalam proses ini keluarga calon mempelai laki-laki datang ke keluarga calon mempelai perempuan dengan membawa uang belanja untuk pesta nantinya. Dalam prosesi ini keluarga calon mempelai perempuan menjamu keluarga dari pihak laki-laki dengan kue-kue khas bugis dan baje (kue dari beras ketan , gulla dan kelapa dan memiliki bentuk kenyal dan susah dipisahkan yang rasanya manis). Istilah manre baje tak hanya menjadi nama saja, tetapi ada makna filosofis di dalamnya, baje dianggap dapat mewakili harapan dari sebuah ikatan pernikahan. Segi rasa yang manis memiliki makna filosofis kita berharap calon pengantin nantinya dapat mengarungi bahtera rumah tangganya dengan manis dan damai, segi bentuk yang menyatu dan sulit dipisahkan mengandung makna bahwa calon pengantin diharapakan dapat bersatu padu dan sulit untuk dipisahkan oleh apapun.
    • Proses selanjutnya adalah cemme mappipaccing (mandi menyucikan) yang memiliki arti untuk membersihkan dengan maksud memohon kepada Allah Swt agar calon kedua mempelai dihindarkan dari segala macam bahaya. Prosesi ini dilakukan di tempat yang telah dipersipakan sebelumnya berupa gubuk siraman dan biasanya diletakkan di depan pintu rumah. Hal tersebut dimaksudkan dengan maksud yang bersifat filosofis yaitu agar kiranya bencana atau bala yang berasal dari luar dapat keluar dan bencana dari dalam dapat keluar.
    Ada beberapa perlengkapan yang mesti dipersiapkan dalam proses cemme mappipacing yaitu berupa Gentong yang berisi air, Gayung, Bunga piturrupa (bunga tujuh jenis), wangi-wangian, Ja'jakkang (terdiri dari segantang beras diletakkan pada sebuah bakul), kanjoli (lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilan batang, tunas kelapa, gula merah, tempat dupa, dan leko passili.  (Makassar terkini, 2011).

    "Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di dalam kamar atau di depan pelaminan. Kemudian calon mempelai akan diantarkan ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat (Lellu) yang dipegang oleh 4 (empat) orang gadis bila calon mempelai wanita dan 4 (empat) orang laki-laki jika calon mempelai pria. Setelah tiba di tempat siraman, prosesi dimulai dengan diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang. 
    Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari gentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung masing - masing tiga kali, disertai dengan doa dari masing-masing figure yang diberi mandat untuk memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian
    Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju Bodo, tope (sarung pengantin) atau lipa’ sabbe, serta aksesories lainnya untuk mengikuti prosesi acara A’bubbu (macceko) yaitu dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis." (Makassar Terkini, 2012).
    • Upacara selanjutnya adalah acara mappacci, sebelum acara mappacci maka Perawatan dan perhatian akan diberikan kepada calon pengantin . biasanya tiga malam berturut-turt sebelum hari pernikahan calon pengantin Mappasau  (mandi uap), calon pengantin memakai bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang digoreng samapai hangus yang dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah acara Mappasau, calon pengantin dirias untuk upacara Mappacci atau Tudang Penni (Ajhier, 2011)

      Acara Mappacci (Sumber: Google)
      "Mappaccing berasal dari kata Paccing yang berati bersih. Mappaccing artinya membersihkan diri. Upacara ini secara simbolik menggunakan daun Pacci (pacar). Karena acara ini dilaksanakan pada malam hari maka dalam bahasa Bugis disebut ”Wenni Mappacci”.

      Melaksanakan upacar Mappaci akad nikah berarti calon mempelai telah siap dengan hati yang suci bersih serta ikhlas untuk memasuki alam rumah tangga, dengan membersihkan segalanya, termasuk :  Mappaccing Ati (bersih hati) , Mappaccing Nawa-nawa (bersih fikiran), Mappaccing Pangkaukeng (bersih/baik tingkah laku /perbuatan), Mappaccing Ateka (bersih itikat).

      Orang-orang yang diminta untuk meletakkan daun Pacci pada calon mempelai biasanya dalah orang-orang yamg punya kedudukan sosial yang baik serta punya kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak dikemudian hari dapat pula hidup bahagia seperti mereka yang telah meletakkan daun Pacci itu ditangannya.

      Dahulu kala, jumlah orang yang meletakkan daun Pacci disesuaikan dengan tingkat stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau ”dua kasera”. Untuk  golongan menengah 2 x 7 orang ”dua kapitu”, sedang untuk golongan dibawahnya lagi 1 x 9 orang atau 1 x 7 orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dalam jumlah orang yang akan melakukan acara ini." (Ajhier, 2011)

      Bersambung...!!!!

      Sumber Pustaka



  • Acara Mappacci (Sumber: Google)
    "Mappaccing berasal dari kata Paccing yang berati bersih. Mappaccing artinya membersihkan diri. Upacara ini secara simbolik menggunakan daun Pacci (pacar). Karena acara ini dilaksanakan pada malam hari maka dalam bahasa Bugis disebut ”Wenni Mappacci”.

    Melaksanakan upacar Mappaci akad nikah berarti calon mempelai telah siap dengan hati yang suci bersih serta ikhlas untuk memasuki alam rumah tangga, dengan membersihkan segalanya, termasuk :  Mappaccing Ati (bersih hati) , Mappaccing Nawa-nawa (bersih fikiran), Mappaccing Pangkaukeng (bersih/baik tingkah laku /perbuatan), Mappaccing Ateka (bersih itikat).

    Orang-orang yang diminta untuk meletakkan daun Pacci pada calon mempelai biasanya dalah orang-orang yamg punya kedudukan sosial yang baik serta punya kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak dikemudian hari dapat pula hidup bahagia seperti mereka yang telah meletakkan daun Pacci itu ditangannya.

    Dahulu kala, jumlah orang yang meletakkan daun Pacci disesuaikan dengan tingkat stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau ”dua kasera”. Untuk  golongan menengah 2 x 7 orang ”dua kapitu”, sedang untuk golongan dibawahnya lagi 1 x 9 orang atau 1 x 7 orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dalam jumlah orang yang akan melakukan acara ini." (Ajhier, 2011)

    Bersambung...!!!!

    Sumber Pustaka





0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...