Senin, 28 Mei 2012

Filosofi Nikah Bugis (Jilid Satu)

Salah satu momen yang paling berkesan dan paling berharga dalam perjalanan hidup manusia adalah pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah momen yang tak bisa dilupakan dan yang paling dirindukan baik oleh orang yang sedang menjalani sebuah hubungan maupun yang belum/tidak. Pernikahan dianggap sebagai muara dari pembuktian cinta yang mungkin semua orang dapat mengungkapkannya dengan mudah. "Aku cinta kamu sayang, dan kalau kau tak percaya maka belahlah dadaku", saya anggap sebagai sebuah kalimat pengantar tidur dan melodi dongeng yang tak bermakna. Mengapa mesti harus membelah dada kalau hanya ingin membuktikan kalau seorang lelaki mencintai seorang wanita, kalau cinta yah lamar saja kan. 

Semua orang pasti pernah melihat sebuah permainan sepak bola, dalam permainan sepak bola tak ada gunanya bermain indah namun tak dapat mencetak gol. Begitupun dengan pacaran tanpa diakhiri dengan pernikahan tak akan ada gunanya, hanya akan menimbulkan sebuah perasaan sakit hati. Proses yang panjang tersebut tentunya ingin diakhiri dengan indah dan penuh makna. Itulah mungkin yang mendasari dalam sebuah pernikahan digelar beberapa prosesi yang diharapkan dapat memberikan makna yang mendalam, baik secara emosional maupun secara filosofis.

Mayarakat Bugis selain terkenal dengan pelaut ulung, mereka juga terkenal dengan prosesi pernikahannya yang panjang dan penuh makna. Prosesi-prosesi tersebut tentunya tak hanya sebagai penghias dan sekadar prosesi semata. Ada makna dan tujuan dari setiap prosesi tersebut. Sebagai seorang masyarakat bugis pasti pernah mendengar ungkapan "iyana kuala sappo unganna panasae na beloana kanukue". Ungkapan tersebut memiliki makna, kuambil sebagi pagar diri dari rumah tangga adalah kejujuran dan kesucian. Ungkapan tersebut memiliki arti yang sangat dalam begitupun dengan prosesi-prosesi pernikahan yang tentunya tak hanya sekadar prosesi belaka. Berikut akan saya paparkan kegiatan-kegiatan/prosesi pernikahan dalam masyarakat Bugis beserta maknanya,
  1. Mattiro; Mattiro (menjadi tamu) atau dalam bahasa lainnya disebut sebagai mabbaja laleng (membuka jalan) adalah kegiatan yang bukan merupakan sebuah prosesi wajib dalam pernikahan. Matiiro yaitu calon mempelai laki-laki berkunjung ke rumah calon mempelai wanita dengan maksud membuka jalan untuk menuju ke proses selanjutnya. Mattiro juga diartikan sebagai sebuah cara untuk mengenali calon mempelai wanita sebelum menuju ke proses selanjutnya.
  2.  Mappesek-pesek (Mencari informasi); proses ini dilakukan untuk mencari informasi dari pihak luar mengenai calon mempelai wanita, sama halnya dengan kegiatan pertama. Mappesek-pesek juga bukanlah sebuah kegiatan wajib. Kegiatan ini sudah jarang dilakukan karena secara fungsional sudah tidak terlalupenting, hal ini karena kebanyakan kedua mempelai sudah saling mengenal.
  3. Mammanuk-manuk; adalah kegiatan yang merupakan kelanjutan dari mattiro dan mappesek-pesek  kegiatan bertujua untuk memperjelas kembali dan menyepakati kapan akan datang untuk madduta (melamar).
  4. Madduta Mallino; Prosesi ini adalah prosesi lamaran yang merupakan tindak lanjut dari mammanuk-manuk, setelah mendapat kesepakatan pada prosesi tersebut, maka  dilanjutkan dengan  acara madduta. Pada prosesi ini pihak keluarga dari mempelai laki-laki datang berkunjung ke rumah calon mempelai wanita yang sebelumnya telah mengumpulkan seluruh anggota dan sanak keluarganya yang dianggap dapat memberi pertimbangan mengenai lamaran itu nantinya.

    Sebelumnya pihak calon mempelai wanita menyiapkan tempat untuk menjamu pihak calon mempelai laki-laki dan mempersilahkan pihak dari calon mempelai laki-laki untuk mengutarakan maksudnya. Prosesi  Madduta Mallino ini membicarakan tentang diterima atau tidaknya lamaran dari calon mempelai laki-laki. Selain itu dalam prosesi  Madduta Mallino ini juga membicarakan tentang mahar dan uang panaik dan doi balanca untuk persiapan pesta pernikahan nantinya. Berbeda dengan prosesi pernikahan di daerah lain, pernikahan di suku Bugis-Makassar kadang juga terkendala oleh masalah uang panaik. Kadang sebuah pernikahan tidak jadi karena  nominal uang panaik tidak dapat saling berterima diantara ke dua bela pihak. Hal ini sebenarnya merupakan penghargaan kepada wanita bugis, bahwa seorang laki-laki harus mapan sebelum ia memutuskan untuk berumah tangga.

    Jika pada prosesi ini, lamaran diterima oleh pihak calon mempelai wanita maka pihak calon mempelai wanita akan berkata "Komakkuitu adatta, suroni tangngakka na ku tangnga tokki" yang arti lepasnya yaitu "kembalilah tuan, pelajari saya dan saya juga pelajari anda"

Bersambung....!!!

Tulisan ini saya buat selain untuk media pengingat saya akan budaya juga sebagai penjelas dari setiap pertanyaan yang timbul dari teman-teman saya di luar Sulawesi yang selalu menanyakan "Mengapa prosesi pernikahan suku Bugis panjang sekali, Ribet dan Mahal (uang panaik)


Sumber bacaan

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...