Rabu, 18 Januari 2012

Bissu: “Komunitas Adat yang Berada di Ambang Kepunahan”


Indonesia merupakan negara kepulaun yang terdiri dari lima pulau besar yaitu, Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Irian, dan Sumatera. Selain dari kelima pulau tersebut masih sangat banyak pulau-pulau yang berada di Indonesia, baik pulau yang telah  memiliki nama maupun pulau yang belum bernama, pulau yang telah berpenghuni maupun pulau yang telah berpenghuni. Dari hasil data Wikipesia yang merupakan salinan data dari Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia diungkpakan bahwa jumlah pulau yang ada di Indonesia adalah 17.504 pulau yang terdiri dari 7.870 pulau yang telah diberi nama dan 9.634 pulau yang belum diberi nama. 

Banyaknya pulau dan luas daerah Indonesia mempengaruhi banyaknya suku, komunitas adat, kebudayaan, bahasa dan adat istiadat yang ada di Indonesia. Pluralitas tersebut merupakan aset yang sangat besar bagi Indonesia jika dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Hal tersebut dapat terjadi karena budaya dan istiadat yang masih khas memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan, misalnya budaya yang ada di Bali yang merupakan objek wisata budaya yang tak ditanyakan lagi kepopulerannya, begitu pula dengan objek wisata budaya yang ada di Tana Toraja. 


Sebenarnya jika dilihat dari beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia, masih banyak tempat serta komunitas adat yang dapat dijadikan sebagai objek wisata budaya yang tentunya dapat meningkatkan devisa negara dari bidang pariwisata. Sayangnya hal tersebut tak menjadi perhatian utama pemerintah. Selain itu ada beberapa komunitas adat yang hanya mendapat perhatian jika dibutuhkan, sehingga upacara adat yang mereka anggap sacral kini hanya menjadi tontonan murahan belaqka. Tak perlu terlalu jauh melihat, cukup di Tanah Sulawesi ada beberapa komunitas adat yang memiliki kebudayaan yang khas dan tak dimiliki oleh daerah lain di dunia. Contohnya komunitas adat Bissu yang memiliki upacara adat mappasili yang makin lama makin terpinggirkan, komunitas adat Karampuang, komunitas adat Towani Tolotang dan komunitas-komunitas adat lainnya yang tentunya merupakan peninggalan sejarah panjang Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan.

Khusus pada komunitas adat Bissu, komunitas ini semakin lama semakin terpinggirkan dan tak mendapat perhatian pemerintah. Selain itu upacara-upacara adat yang biasanya dilaksanakan kini semakin berkurang dalam hal kuantitas maupun kualitas. Penyebabnya adalah adanya pergeseran nilai yang disebabkan oleh adanya intervensi dari pemerintah daerah dalam pelaksanaan upacara adat komunitas tersebut.

Ada beberapa faktor penyebab sehingga upacara-upacara Bissu ini mengalami pergeseran dan penyesuaian dengan waktu dan lingkungannya. Penyebab-penyebab tersebut terdiri dari faktor eksternal dan internal komunitas Bissu itu sendiri. Salah satu faktor eksternal yang sangat berpengaruh yaitu perubahan sistem kenegaraan dari kerajaan menjadi republik. Peranan berwibawa, kharismatik dan sangat dipatuhi digantikan oleh seorang presiden yang masa jabatannya relatif singkat. Demikian pula dengan memudarnya peranan lembaga-lembaga adat, sangat berpengaruh pula terhadap perkembangan Bissu. Pada masa pemerintahan kerajaan Bugis, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas Bissu diperoleh dari hasil sawah kerajaan. Para Bissu juga memeroleh sumbangan dari para dermawan, seperti para pedagang, kaum tani dan bangsawan yang datang sendiri atau rutin memberikan sedekahnya. Selain itu sepetak atau dua petak tanah persawahan dari kerajaan diserahkan pengelolahannya oleh raja kepada Puang Matowa Bissu. Sawah yang merupakan tempat untuk upacar Palili tersebut, hasilnya untuk biaya upacara-upacara dan biaya hidup komunitas Bissu selama setahun.

Adat istiadat yang dijalankan oleh pemerintah oleh pemerintah kerajaan Bugis dahulu mengandung makna malebbi na malempu, yaitu kemuliaan dan kejujuran. Karena itu seluruh tata aturannya ditaati dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Moral menjadi sasaran utama aturan, sehingga apa yang menjadi tujuan dan sasaran upacara akan tercapai dengan baik. Ketika aturan-aturan lisan bermuatan moral tersebut digantikan dengan aturan-aturan tertulis, maka masyarakat tradisional mulai kehilangan kekuatan. Undang-undang tertulis banyak dimanfaatkan orang-orang yang pandai dan cerdik berpikir untuk kepentingan material lahiriyahnya. Terpuruklah komunitas Bissu, sejak Puang Matowa meninggal tanah adat sekarang menjadi kekuasaan pemerintah. Kini tak ada lagi sumber dana tetap untuk biaya upacara dan biaya hidup para Bissu yang tinggal di Bola Arajang. Kini mereka dan upacara tersebut hampir seluruhnya tergantung kepada sswadaya masyarakat pendukungnya yang maskin menyusutdan dari bantuan pemerintah setempat.

Ketika para Bissu dan penganut fanatik upacara tradisional mappalili mengusulkan upacara tersebut dilaksanakan lagim maka aparat pemerintah desa di kecamatan ikut campur tangan. Terjadi kompromi tentang lama masa upacara dan beberapa tata upacara, tentunya dengan pertimbangan alas an keamanan. Mereka membuat aturan tersebut agar setiap pelaksanaan upacara mappalili berjalan dengan lancer. Walaupun terkadang terjadi kekacauan kekacauan kecil pada penonton dan masyarakat atau kecelakaan-kecelakaan pada Bissu, namun semuanya dapat diatasi sesuai dengan aturan yang diterapkan pada saat itu. 

Dampak dari campur tangan aparat pemerintahan tersebut adalah berkurangnya kualitas dan kuantitas upacara-upacara adat komunitas Bissu. selain itu dampak lain dari campur tangan aparat pemerintah adalah diambilnya beberapa hak Bissu menjadi wewenang  pemerintah. Penentuan hari upacara yang dahulunya ditentukan oleh ramalan Puang matowa, kini hanya ditentukan oleh aparat pemerintah. Kadang rapat penentuan pelaksanaan upacara mappalili harus ditunda, karena adanya agenda di pemerintahan. Tata laksana upacara mapplili yang berjalan sekarang juga diambil alih pengaturannya oleh pemerintah setempat. Jika dahulu ada upacara palili berarti ada pula Bissu dan mabBissu. Sekarang, yang ada hanya upacar mappalili saja, tanpa mabBissu. Jika dahulu arak-arakan palili diiringi dua belas bendera, sekarang hanya tiga bendera saja.

Seperti terjadi dimana-mana di nusantara ini, lambat laun tata upacara diarahkan hanya  untuk menambah devisa dan menarik wisatawan semata. Upacara dan benda-benda pusaka yang dulunya sakral, menjadi seni kemasan untuk para wisatawan dan menjadi ajang hiburan saja. Tidak sedikit masyarakat mempergunakan kesempatan upacara sakral mapalili ini sebagai ajang main-main. Padahal, sebagaima  yang dipercaya masyarakat Segeri, bahwa upacara mapalili sebagai salah satu upacara sakral mempunyai banyak pantangan yang harus ditaati oleh warga masyarakat. Kini para komunitas Bissu  tidak hanya meladeni hajatan masyarakat yang sesekali mengundang mereka, tetapi mereka juga menari untuk suguhan wisatawan yang berkunjung ke Segeri. Bahkan Dinas Pariwisata Kabupaten Pangkep telah menurunkan fungsi dan derajat komunitas Bissu Segeri menjadi sebuah objek penghasil devisa atau penambah Pendapatan Daerah (PAD).

Selain perubahan sistem pemerintahan faktor lain yang memengaruhi perkembangan Bissu di daerah Segeri  adalah penyebaran agama Islam yang menganggap seluruh kegiatan Bissu tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam murni. Penyebaran agama Islam di daerah Segeri membawa dampak pada perubahan kepercayaan dari kepercayaan yang telah mereka anut sebelumnya menjadi kepercayaan kepada Allah, hal tersebut tentu berpengaruh terhadap perkembanagan komunitas Bissu. Para Bissu dianggap melawan sunatullah, karena keberadaanya yang ambivalen atau berpenampilan fisik sebagai seorang laki-laki tapi berperilaku layaknya  seorang wanita. Selain itu kepercayaanya yang memandang bahwa benda-benda pusaka memiliki kekuatan gaib atau lazim disebut dinamisme bertentangan dengan ajaran Islam yang memandang bahwa mempercayai kekuatan gaib di luar kehandak Tuhan adalah salah satu bentuk kemusrykan

Hal-hal tersebut membuat keberadaan Bissu sekarang ini di ambang kepunahan, bahkan kemungkinan Bissu sekarang ini merupakan generasi terakhir.

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...