Kamis, 19 Januari 2012

Bahasa Daerah dalam Cengkraman Modernisasi Dokumentasi Bahasa Solusi Terakhir


Budaya, Kebudayaan dan Bahasa merupakan suatu hal yang tak dapat dipisahkan adanya. Ketiga hal tersebut saling terkait satu sama lain. Bahkan ada yang selalu mempertengtangkan antara apa yang ada duluan, apakah bahasa atau budaya. Hal tersebut menurut saya tak perlu diperdebatkan, karena budaya dan bahasa bagai dua sisi koin yang tak dapat terpisah. Kebudayaan sendiri kalau saya lihat dari segi sejarah dan jenisnya dapat saya kategorikan dalam dua jenis yaitu, budaya klasik (tradisional) dan budaya modern. Hal tersebut seirama dengan bahasa yang kini juga banyak melahirkan genre bahasa seperti bahasa proken, bahasa alay, bahasa banci dan genre-genre bahasa lainnya.

Secara etika dan keilmuan hal tersebut tidak melanggar, tetapi akan berefek pada eksistensi bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Bahasa daerah mengalami degradasi yang sangat luar biasa, baik dalam intensitas penggunaannya di masyarakat maupun di media. Hal tersebut memungkingkan terjadinya hegemoni kebudayaan yang akhirnya akan memberi peluang untuk terjadinya penjajahan gaya baru. Penjajahan gaya baru yang dimaksud adalah penjajahan yang sistematis, yaitu penjajahan kebudayaan oleh bangsa lain. Penjajahan ini dimulai dengan tindak perusakan bahasa dan budaya lokal suatu negara, kemudian penjajah melakukan transformasi budaya kontemporernya dengan begitu cepat. Kemudian dilakukanlah langkah untuk melakukan dominasi bahasa dan  budaya sebagai tindak hegemoni kebudayaan. Hal tersebut dapat terjadi jika bahasa daerah dan budaya lokal telah mengalami degradasi, sehingga budaya kontemporer akan mudah sekali menggantikan budaya lokal masyarakat.


Hal yang menyebabkan degradasi bahasa daerah  menurut Sumarsono dan Partana (2002:237) juga disebabkan oleh sekolah. Sekolah sering juga dituding sebagai faktor penyebab bergesernya bahasa ibu murid karena sekolah biasanya mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak. Hal ini pula yang kadangkala menjadi penyebab bergesernya posisi bahasa daerah. Para orang tua tidak mau mengajari anaknya bahasa daerah karena mereka berpikir bahwa anaknya akan susah memahami mata pelajaran yang disampaikan oleh gurunya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya anak tidak mampu berbahasa daerah atau paling tidak anak hanya dapat memahami bahasa daerah tanpa mampu berinteraksi. Oleh karena itu perlu ada upaya pemertahanan bahasa agar bahasa daerah dapat terpelihara kelestariannya.

Masalah pemertahanan ini tidak menjadi isu pada kelompok penutur bahasa besar dan kuat. Semuanya berjalan baik, dan pemertahanan tidak dilakukan sepenuhnya secara sadar. Untuk bahasa minoritas, terpinggirkan, dan terancam punah, masalah pemertahanan bahasa menjadi isu dan mesti dilakukan penuh kesadaran dan dengan berbagai upaya. Karenanya, definisi pemertahanan bahasa yang ada biasanya dikaitkan dengan pemertahanan bahasa untuk bahasa terdesak/minoritas, yang didalamnya terkandung usaha terencana dan sadar untuk mencegah merosotnya penggunaan bahasa dalam kaitan berbagai kondisi tertentu, yang bisa mengarah ke perpindahan bahasa (language shift) atau ke kematian bahasa (language death), (Nahir 1984; Marshall 1994, dalam Arka 2010)). Apabila bahasa telah mengalami kematian maka upaya pemertahanan bahasa tidak dapat lagi dilakukan dan ketika hal ini terjadi maka bahasa akan mengalami kepunahan. 

Bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup sehingga perlu dibina dan dipelihara.hal tersebut karena bahasa daerah memiliki peranan yang luar biasa dalam memberikan identitas pada suatu negara. Oleh kerena itu, untuk menjaga peran dan entitas tersebut maka perlu dilakukan pembinaan dan pemeliharaan dalam bentuk yang riil dan berkelanjutan serta tidak mengurangi entitas bahasa daerah tersebut.

Fenomena kepunahan bahasa tak hanya mendapat perhatian pemerintah daerah maupun pusat, bahkan organisasi dunia pun merasa prihatin dengan fenomena kepunahan bahasa itu. Salah satu organisasi PBB yang melakukan proyek pelestarian budaya yaitu UNESCO. Salah satu pilot project UNESCO di Indonesia berkaitan dengan bahasa ibu adalah program pendidikan keaksaraan melalui bahasa ibu di Cibago-Subang-Jawa Barat. Program ini secara khusus ditujukan bagi pengembangan pendidikan masyarakat buta aksara dengan memanfaatkan kekayaan bahasa ibunya, yaitu bahasa Sunda, sebagai sumber belajar yang fungsional dalam pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung) (Kuswara, 2010).

Program pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu ini menggunakan tingkatan kelas sebagai berikut:
*      Tingkat 1, kelas untuk warga belajar pemula yang hanya mampu berbicara (atau sebagian besar) dalam bahasa ibunya (mother tongue), dalam hal ini bahasa Sunda.

*      Tingkat 2, kelas untuk warga belajar yang ingin lancar menulis dan membaca dalam bahasa ibunya dan juga ingin memahami dan mampu berbicara dalam bahasa mayoritas (bahasa nasional/bahasa Indonesia).
*      Tingkat 3, kelas untuk warga belajar yang sudah siap mentransfer keaksaraan dalam bahasa mayoritas.
*      Tingkat 4, kelas untuk warga belajar yang dapat melanjutkan pembelajarannya baik dalam bahasa ibu maupun dalam bahasa mayoritas (bilingual).

Materi pembelajarannya memadukan antara kekayaan bahasa ibu dengan kecakapan hidup (life skills), diantaranya adalah: menyanyi lagu Sunda, menulis peribahasa Sunda, menulis babasan Sunda, menulis surat berbahasa Sunda, mengambil lahang aren, membuat gula aren, dan dongeng asal muasal lokasi setempat. Komunitas tersebut tak hanya diajarkan untuk dapat melestarikan bahasanya, tetapi juga diajarkan keterampilan lain. Hal tersebut dimaksudkan agar komunitas tersebut tak hanya memilki kecakapan hidup, tetapi juga mampu memelihara bahasa dan budayanya.

Dalam proses belajar mengajar tutor menggunakan strategi belajar, membaca, menulis, berhitung, diskusi, dan aksi (calistungdasi). Penggunaannya fleksibel sesuai situasi dan kondisi materi yang disampaikan tutor. Bahkan, terkadang menggunakan alat musik dalam seni jaipong atau rebana sebagai raginya. Artinya, semua bahan belajar tersebut sedapat mungkin diambil dari pengembangan tradisi lokal (Kuswara, 2010)
Selain itu, warga belajar pun didorong untuk membuat bahan belajar sendiri berdasarkan pengalamannya. Banyak dari warga belajar, yang meskipun buta aksara tetapi memiliki pengalaman yang luar biasa dalam keterampilan tradisional, misalnya: mengambil dan membuat lahang aren, pengetahuan dongeng lokal, musik Sunda, dan keterampilan tradisional lainnya, sehingga masyarakat setempat dapat memertahankan bahasa ibunya secara berkelanjutan dan upaya pemertahan bahasa dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Kekayaan bahasa dan budaya Sunda ini kemudian dijadikan salah satu sumber belajar bagi warga belajar, tutor, dan penyelenggara yang bermanfaat bagi pengembangan keterampilan yang memadai untuk menggunakan beraneka ragam informasi tertulis dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang dimaksudkan dalam konsep ini adalah kemampuan memproses informasi bahan-bahan menjadi suatu hal yang aplikatif dalam kehidupan tradisional mereka (Kuswara, 2010)

Pemerintah di setiap daerah di Indonesia telah melakukan langkah-langkah strategis untuk mencegah kepunahan bahasa daerahnya. Beberapa daerah yang telah melakukan upaya pemertahanan bahasa diantaranya yaitu Jawa Barat dengan menerbitkan tiga peraturan daerah (Perda), yaitu: (1) Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah, (2) Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang pemeliharaan kesenian, dan (3) Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang pengelolaan kepurbakalaan, kesejarahan, nilai tradisional dan museum. Tiga serangkai perda di atas ditandatangani Gubernur Jawa Barat pada 13 Januari 2003 dan merupakan fondasi kebijakan perencanaan bahasa yang menempatkan bahasa daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah. Peraturan daerah seyogianya segera diikuti dengan pembentukan tim perencana bahasa daerah yang beranggotakan para pakar terkait seperti ahli perencanaan bahasa, linguistik, sastra, seni, pengajaran bahasa, penerbitan, naskah, dan kebudayaan. Karena kebudayaan etnis dibangun melalui bahasa etnis, maka bahasa etnis harus direkayasa, yakni dipertahankan dan diberdayakan melalui strategi kebudayaan sebagai upaya revitalisasi jati diri untuk menunjang kebudayaan nasiona (Alwasilah, 2010)

Langkah yang paling efektif untuk mencegah kepunahan bahasa adalah dengan melakukan pendokumentasian bahasa dimaksudkan agar bahasa tersebut tidak mengalami kepunahan ketika para penuturnya telah lupa bahasanya. Hal itu bisa terjadi karena ada dokumentasi bahasa yang bisa diajarkan ke penutur bahasa tersebut. Di daerah Bali tepatnya Bahasa Rongga telah dilakukan proses pendokumentasian bahasa yang dilakukan oleh seorang ahli linguistik. Usaha pemertahanan bahasa itu dilakukan dengan mendokumentasikan teks-teks yang beranotasi dengan rekaman audio/video, lengkap dengan terjemahan Indonesia dan Inggris. Ini merupakan bahan arsip bahasa yang sudah dikirim ke ELAR London, dan akan pula dikirim ke Paradisec. Pengolahan data juga telah menghasilkan kamus tiga bahasa (Rongga-Inggris; Rongga-Indonesia) serta daftar lacak kata (finderlist) (Arka, Seda, Gelang, Nani, and Ture 2007), bahan ajar untuk SD berupa buku panduan pengajaran kelas empat (Yanani, Arka, and Ture 2007) dan kumpulan cerita yang sudah disadur dalam tiga bahasa (Rongga, Indonesia, dan Inggris) (Arka and Ture 2007), buku tatabahasa ringkas (Arka, Kosmas, and Suparsa 2007), tulisan lepas yang sudah dipublikasikan dan dipresentasikan pada forum (inter)nasional tentang berbagai aspek bahasa Rongga (Arka 2004a, 2004b, 2005; Kosmas and Arka 2005; Arka 2006b, 2006a, 2007b, 2007a, in progress, to appear). Selain itu terdapat pula karya tesis mahasiswa Universitas Udayana yang turut meneliti bahasa dan budaya Rongga (Arka, 2010, dalam Sumitri 2007, Kosmas 2007, Suparsa 2007).

Melihat fenomena kepunahan bahasa tersebut yang makin mengancam bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia maka tak ada jalan lain untuk mengantisipasi hal tersebut selain melakukan dokumentasi bahasa. Hal ini saya pikir cukup efektif dalam mencegah sekaligus sebagi langkah penyembuhan bahasa. Semoga bahasa dan kebudayaan Indonesia tetap terjaga kelestariannya

Sumber:
Alwasilah, Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa
Alwasilah, Chaedar. 1986. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung:
Penerbit Angkasa
Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PTAsdi Mahasetya
Arka, I Wayan, 2010. Kompleksitas, Pemertahanan, dan Revitalisasi Bahasa dan Budaya Minoritas (Online). www.infogigi.com. Diakses pada tanggal 3 Maret 2011.
Azhar, Iqbal Nurul. 2010. Setting-Setting Diglosia Dan Strategi Menghadapinya (Studi Terhadap Pemertahanan Bahasa Ibu Oleh Mahasiswa Madura) (Online). pusatbahasaalazhar.wordpress.com. Diakses pada tanggal 3 Maret 2011.
Kuswara, 2010. Pendidikan Keaksaraan dan Pemertahanan Bahasa (Online). www.jugaguru.com. Diakses pada tanggal 3 Maret 2011.
Putera, Prakoso Bhairawa, 2010. Bangka Pos dan Pemertahanan Bahasa Ibu (Bagian II) (Online). (http://prakosobhairawa.blogspot.com). Diakses pada tanggal 3 Maret 2011.
Safriandi, 2010. Pergeseran, Pemertahanan, dan Kepunahan Bahasa (Online). wordpress.com. Diakses pada tanggal 3 Maret 2011.
Sumarsono dan Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yokyakarta: Penerbit Sabda
Widagsa, Rudha, 2010. Pemertahanan Bahasa, Perpindahan Bahasa, Kehilangan Bahasa, dan Kematian Bahasa (Online). http://widagsa.blogspot.com
Widiyanto, 2010. Perangkat Legislasi Kebahasadaerahan dan Revitalisasi Bahasa Jawa (Online), (http://sumpiuh.com). Diakses pada tanggal 3 Maret 2011

2 komentar:

itulah kenapa saya lebih demen memadukan bahasa indonesia yang enggak EYD EYD amat, mending bahasa jawane melu dinggo men ora kelalen

Reply Comment

@anotherorion: Hehehe,,, iya sob. Penting menjaga bahasa daerah sebagai identitas lokal kita.

Reply Comment
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...