Sabtu, 28 Januari 2012

Catatan Kelam Akhir Januari


Ternyata tak hanya cinta dan kekecewaan yang bisa meningkatkan nafsu menulis, ternyata musibah pun bisa. Setidaknya itulah yang kurasakan pada bulan ini, sebuah kisah kelam di akhir Januari. Mungkin cerita ini agak kurang pas jika saya tulis di blog ini, tapi saya merasa tidak ada tempat lain untuk menuliskan kekecewaan saya ini selain di tempat ini.


Gambar: phonank.blogspot.com

Kemarin (Jum’at/27 Januari 2012) mungkin merupakan hari dimana rekor yang paling saya banggakan akhirnya jatuh dan tak dapat saya pertahankan lagi. Supaya lebih sistematis dan alurnya tidak menjadi flashback maka saya akan menceritakan mulai dari awal. Pagi itu semua berjalan seperti biasa, bangun kesiangan, shalat subuh pukul 06.30, selesai sholat lansung tidur lagi hingga si pemilik blog Cermin Buram membangunkanku dari tidurku yang entah saat itu aku bermimpi atau tidak. Saya pun tersentak dari karpet biru yang sebenarnya tak layak untuk dijadikan tempat untuk membaringkan tubuh. Si cermin buram pun memanggil saya ke Ruang Kesekretariatan di tempat itu sudah duduk dua orang kakak saya yaitu pemilik blog SajakAntiGalau dan kembarannya namaku.

Selasa, 24 Januari 2012

Eksistensi Bissu; Masih Bisakah Mereka Bertahan?


Menurut histori atau sejarah Bissu merupakan penjaga warisan budaya Bugis kuno yang masih ada sampai sekarang, hanya saja banyak kalangan yang menyatakan bahwa komunitas Bissu tersebut melanggar peraturan daerah (Perda) syariat Islam karna dinilai musyrik, memuja dewa dan tidak menikah (karena mereka adalah kalangan waria). Namun, jika kita kembali merunut, dapat dinilai bahwa peranan Bissu itu sendiri sangat berperan dalam pengembangan usaha pertanian dan berfungsi sebagai sandro (dukun) di kampung-kampung di tanah Bugis.
Dalam budaya Bugis masa zilam, Bissu memunyai kedudukan yang sangat terhormat dan disegani, sebagai penyambung lidah raja dengan rakyat. Bissu juga merupakan perantara antara langit dengan bumi, hal ini dimungkinkan karena kemampuannya yang menguasai basa torilangi (bahasa langit) yang hanya bisa dimengerti oleh para Bissu dan dewa.
Dalam naskah sureq Lagaligo dikisahkan bahwa Bissu pertama yang ada di bumi bernama Lae-lae, yang diturunkan bersama Batara Guru. Dari sinilah diyakini tradisi Bissu berawal yaitu di daerah Luwu dan menyebar ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Jadi asal muasal Bissu di daerah Segeri yaitu dari daerah Luwu.

Senin, 23 Januari 2012

Ciri-ciri Penelitian Kualitatif


Setiap sesuatu pasti memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang membedakannya dengan objek lain, begitupun dengan penelitian kualitatif. Sebenarnya jika diamati ciri-ciri ini juga yang perlu dipahami agar dapat membedakan antara penelitian kualitatif dengan penelitian lainnya. Ada beberapa cirri penelitian kualitatif yang menonjol yang saya rangkum dari berbagai sumber dan dari berbagai persfektif, sebagai berikut:

  1. Data pada penelitian kualitatif lebih berupa kata-kata, frasa, gambar, ataupun simbol daripada angka-angka
  2. Teori yang digunakan bertujuan untuk memahami, menggambarkan atau bahkan menemukan bukan untuk mengetes, menguji atau menguatkan teori lain.
  3. Tidak ada modifikasi tempat/setting atau dengan kata lain data yang dikumpulkan dalam kondisi asli atau natural setting
  4. Peneliti bertindak sebagi instrument penelitian dan bertugas mengumpulkan dan mengolah data tersebut dengan cara wawancara dan analisis data.
  5. Judul dapat berubah setelah turun lapangan, karena judul ditentukan oleh mekanisme dan meklanisme dapat berubah karena perubahan objek di lapangan.

Minggu, 22 Januari 2012

Sejarah Penelitian Kualitatif

Kemarin telah berbicara mengenai pengertian penelitian kualitatif. Sekarang saya mencoba menuangkan pikiran saya dalam hal historis atau sejarah penelitian kualitatif itu sendiri. Sebelum melangkah terlalu jauh perlu diketahui terlebih dahulu  fase-fase sejarah dari penelitian kualitatif yang ditulis oleh Denzin dan Lincoln (dalam Santana:2010). Denzin dan Lincoln membagi fase sejarah riset menjadi Sembilan fase, yaitu sebagi berikut:

1.      Fase Traditional (1900-1950) atau sering disebut sebagai fase heroik, yaitu fase bagi pekerja lapangan mengaitkan amatannya ke dalam kerangka realisme sosial, positivisme, dan objektivisme. Positivisme sendiri dalam faham ini diartikan sebagai sebuah faham yang meyakini bahwa realitas sosial sebagai fenomena yang tetap, abadi dan tidak berubah, Kalangan ini lebih menekankan pada kepercayaan tentang keteraturan dan pola interaksi manusia dengan yang lainnya. Selain itu kelompok pada fase ini juga menganggap bahwa antara sang pengamat dan objek yang diamati harus terpisah dan tak berhubungan agar menjaga objektivitas dalam pengamatan.
2.      Fase Modernist atau golden age (1950-1970), fase ini merupakan kelanjutan dari fase tradisional yang telah mengalami pengembangan. Pengembangan tersebut terlihat pada sudut pandang para peneliti yang mengembangkan gagasan-gagasan emansipatoris ke dalam berbagai wacana subjek-riset. Pada Fase ini juga mengungkap mengenai struktur kritik sosial dengan menggunakan pandangan positivisme dan postpositivism.
3.      Fase Blurred Genres (1970-1986), yaitu fase ketiga dalam sejarah perkembangan penelitian kualitatif. Fase ini diwarnai dengan  pendekatan naturalism, postpositivism dan constructivism.  Pada fase ini terjadi perubahan besar dalam ruang lingkup, orientasi dan paradigma penelitian, para periset kualitatif mulai menjadi sensitif pada kerja politik dan etik mereka. Pada fase ini para peneliti telah berusaha untuk meninggalkan dan menghentikan keleluasaan mereka dalam menampilkan penafsiran subjektif, dan menghasilkan multiperspektif ‘thick descriptions’ melalui genre kesastraan.

Sabtu, 21 Januari 2012

Pengertian Penelitian Kualitatif

Ada dua aliran besar dalam dunia penelitian sosial yaitu, penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Kedua aliran ini selalu menjadi bahan perdebatan dalam diskusi-diskusi di kelas maupun dalam dunia organisasi penelitian. Bagi peneliti yang menggunakan metode penelitian kuantitatif timbul anggapan bahwa penelitian yang paling benar adalah penelitian yang menggunakan statistik dan angka-angka dalam menganalisis data yang telah diperoleh. Hal tersebut kemudia ditentang oleh pemuja penelitian kualitatif dengan dasar bahwa dalam penelitian sosial, yang menjadi objek penelitian adalah manusia yang sifat dan karakternya cenderung berubah-rubah sehingga tak mungkin diungkap dengan angka-angka, sehingga perlu pendeskripsian secara jelas.
Ada perbedaan mendasar antara penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Perbedaan tersebut bias dilihat dari segi struktur penulisannya, metode penelitian maupun tujuan dari penelitian kedua genre penelitian tersebut. Berdasarkan struktur penulisan contohnya dalam penelitian kualitatif tidak terdapat hipotesis sedangkan dalam penelitian kuantitatif ada, hal tersebut karena objek dari penelitian kualitatif adalah kondisi sosial yang cenderung berubah-rubah. Sedangkan pada tujuan penelitian, penelitian kualitatif lebih mengutamakan esensi dari fenomena atau kejadian yang diteliti, sedangkan kualitatif lebih mengutamakan frekuensi atau kuantitas dari objek penelitian. Selain itu hasil dari penelitian kualitatif lebih menekankan pada pengembangan dan penemuan teori-teori baru sedangkan penelitian kuantitatif lebih kepada membuktikan sebuah teori tau menguatkan teori yang telah ada. Untuk memahami lebih lanjut mengenai penelitian kualitatif, maka perlu dipahami terlebih dahulu pengertian penelitian kualitatif dari para ahli sebagai berikut:

Jumat, 20 Januari 2012

“Emansipasi Wanita: Politik Eksploitasi Tenaga Kerja”


Bangsa Eropa dan Amerika memang telah maju dalam hal pendidikan dan teknologi, tak hanya itu bangsa tersebut pun termasuk negosiator ulung. Tak hanya dalam hal bisnis, bahkan dalam hal politik dan humaniora pun mereka adalah negosiator yang sangat ahli. Dengan tipu muslihatnya, negara-negara ke tiga seakan bertekuk lutut di hadapan negara dari dua benua tersebut. Meraka bagai seorang negosiator dengan tipe Kucing Manis, membuai setiap bangsa dengan janji-janji manis, ekspektasi tinggi yang berakhir pada harapan-harapan kosong.

Kembali pada permasalahan politik dan humaniora, ada sebuah istilah yang mengusik sisi lain dari hati saya yaitu “Emansipasi Wanita”. Istilah yang beberapa tahun terakhir sering didengung-dengungkan oleh orang-orang yang menganggap memiliki faham feminisme. Feminisme sendiri merupakan istilah yang dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869). Gerakan ini lahir karena menganggap wanita dijajah secara gender dan dijajah secara pemikiran. Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.

Kamis, 19 Januari 2012

Bahasa Daerah dalam Cengkraman Modernisasi Dokumentasi Bahasa Solusi Terakhir


Budaya, Kebudayaan dan Bahasa merupakan suatu hal yang tak dapat dipisahkan adanya. Ketiga hal tersebut saling terkait satu sama lain. Bahkan ada yang selalu mempertengtangkan antara apa yang ada duluan, apakah bahasa atau budaya. Hal tersebut menurut saya tak perlu diperdebatkan, karena budaya dan bahasa bagai dua sisi koin yang tak dapat terpisah. Kebudayaan sendiri kalau saya lihat dari segi sejarah dan jenisnya dapat saya kategorikan dalam dua jenis yaitu, budaya klasik (tradisional) dan budaya modern. Hal tersebut seirama dengan bahasa yang kini juga banyak melahirkan genre bahasa seperti bahasa proken, bahasa alay, bahasa banci dan genre-genre bahasa lainnya.

Secara etika dan keilmuan hal tersebut tidak melanggar, tetapi akan berefek pada eksistensi bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Bahasa daerah mengalami degradasi yang sangat luar biasa, baik dalam intensitas penggunaannya di masyarakat maupun di media. Hal tersebut memungkingkan terjadinya hegemoni kebudayaan yang akhirnya akan memberi peluang untuk terjadinya penjajahan gaya baru. Penjajahan gaya baru yang dimaksud adalah penjajahan yang sistematis, yaitu penjajahan kebudayaan oleh bangsa lain. Penjajahan ini dimulai dengan tindak perusakan bahasa dan budaya lokal suatu negara, kemudian penjajah melakukan transformasi budaya kontemporernya dengan begitu cepat. Kemudian dilakukanlah langkah untuk melakukan dominasi bahasa dan  budaya sebagai tindak hegemoni kebudayaan. Hal tersebut dapat terjadi jika bahasa daerah dan budaya lokal telah mengalami degradasi, sehingga budaya kontemporer akan mudah sekali menggantikan budaya lokal masyarakat.

Rabu, 18 Januari 2012

Bissu: “Komunitas Adat yang Berada di Ambang Kepunahan”


Indonesia merupakan negara kepulaun yang terdiri dari lima pulau besar yaitu, Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Irian, dan Sumatera. Selain dari kelima pulau tersebut masih sangat banyak pulau-pulau yang berada di Indonesia, baik pulau yang telah  memiliki nama maupun pulau yang belum bernama, pulau yang telah berpenghuni maupun pulau yang telah berpenghuni. Dari hasil data Wikipesia yang merupakan salinan data dari Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia diungkpakan bahwa jumlah pulau yang ada di Indonesia adalah 17.504 pulau yang terdiri dari 7.870 pulau yang telah diberi nama dan 9.634 pulau yang belum diberi nama. 

Banyaknya pulau dan luas daerah Indonesia mempengaruhi banyaknya suku, komunitas adat, kebudayaan, bahasa dan adat istiadat yang ada di Indonesia. Pluralitas tersebut merupakan aset yang sangat besar bagi Indonesia jika dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Hal tersebut dapat terjadi karena budaya dan istiadat yang masih khas memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan, misalnya budaya yang ada di Bali yang merupakan objek wisata budaya yang tak ditanyakan lagi kepopulerannya, begitu pula dengan objek wisata budaya yang ada di Tana Toraja. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...