Kamis, 16 Agustus 2012

Tentang Hujan dan Rindu

Sumber Gambar
Sore yang menggenggam sejuta harap dalam pelukan jingga, membawaku pada memori masa lalu. Mencoba abai akan penat yang sedari tadi mengernyitkan keningku dalam ruang tak berarah. Segaris warna mulai kudalami dari tujuh rona yang tercipta dari semburat jingga yang menyisip masuk lewat celah kecil di jendela kamar. Ada yang berbeda dari cahaya yang menyusup itu, ia seakan membentuk sebuah lengkungan indah hasil bias dari gemercik hujan yang turun dan mentes perlahan di jendela. Aku teringat pada mitos yang tak pernah kuyakini benarnya, hujan di siang terik adalah pertanda kematian. Yah, mungkin hal itu benar jika kali ini aku berada pada masa kematian rasa.

Kembali kuamati pelangi kecil itu, ia membawaku pada masa tanpa beban, tanpa kecewa dan masa yang penuh mimpi. Menikmati setiap rintik yang jatuh dari atap daun rumbia di rumah-rumah tetangga. Kadang bertelanjang dada dan kadang pula tanpa sehelai benang di tubuh. Berlari di lapangan berlumpur belakang rumah, bermain bola sepak tanpa pernah berpikir sesak di sekitar. Kadang pula menyelam di tambak-tambak warga di tengah badai sambil menunggu buah mangga yang jatuh bersama riuhnya hujan. Tak pernah peduli akan marah ibu yang selalu saja mengkhawatirkanku. Aku kadang berpikir ingin kembali ke masa itu. Masa yang seakan jarak antara dunia dan surga tak dapat kulihat.

Terenyuh ku dalam lamunanku, kembali menelusuri ruang waktu yang seakan tak hentinya melahirkan beribu fantasi. Aku pernah mencoba kembali ke masa itu, yah meski tak mungkin sesempurna dulu. Gerimis hujan malam itu membawaku pada sebuah rindu, rindu yang kadang membuatku tertawa dan terisak dalam bahagia. Aku kembali berlari di tengah rintik hujan, melepas sebuah penat dan mencoba mengurai kenangan yang telah sekusut kain yang terurai lepas. Tertawa lepas di bawah tarian latar sang hujan, berteman dengan angin yang membawa kabar tak sempurna dan berfantasi dengan angan yang tak pernah putus.

Akupun pernah mencoba bermimpi untuk sekadar mewarnai indahnya hujan dan pelangi yang dicipta olehnya. Aku melukis sebuah cerita dengan fantasiku bersama hujan, berjalan dengan menggenggam tanganmu di bawah rintiknya. Aku mencoba membuatnya berbeda dengan cerita sinetron, aku tak membuka jaketku untuk memberimu naungan. Aku hanya menggenggam setiap jemarimu dan menulusuri jalanan berlumpur menuju puncak tanpa batas pandang. Di sana kita duduk, menimati dingin dan dekapan hangat dari rasa yang saling menyatu. Kita tak saling menatap tetapi memandang pada sebuah tujuan rasa yang sama. Kita tak saling berucap namun saling mengirim rasa yang sama. Hanya senyuman yang tersungging di bibir kita yang menandakan bahwa pesan rasaku telah sampai padamu.

Ah,,,aku kembali meronai wajahku dengan berkas cahaya yang masih tersisa dan dengan segar air yang masih menetes. Aku hanya ingin bersamamu menikmati senja di bibir pantai, menikmati rintik hujan bersama genggamanmu, memaksa bintang untuk berkedip, dan menikmati tarian latar ilalang di pagi buta. Entah itu sebuah lamunan atau mimpi, tapi itulah harapku untukmu. Karena telah kutitip pada waktu untuk mengungkap tiga kata yang sulit terucap saat ini. 

Mencoba berfantasi dengan hujan dan rindu yang selalu hadir silih berganti dan tak pernah mengenal musim. Hehehe

5 komentar:

Saya tertari sama bahasanya bang, sangat menarik.

Reply Comment

bahasanya bagus, menyentuh. sastrawan ya bang? :OO

Reply Comment

@Ditsakus Paleojavanicus: Hmmmm,,, aku hanya mencoba merangkai kata yang ad dalam lintasan pikirku.

Reply Comment

SALAM MERDEKA!!

sebuah tulisan melankolis namun menghanyutkan.. :)

Reply Comment
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...