![]() |
Sumber |
Abai dan Terabaikan
Sebuah
hal yang sangat miris jika melihat penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia
adalah penanganannya yang sangat lambang, bertele-tele dan tidak secara tuntas.
Sebuah kasus korupsi bernilai miliaran rupiah dengan mudahnya akan hilang dan
tertutupi oleh kasus-kasus kecil seperti misalnya isu kenaikan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM) atau bahkan isu teroris yang kemungkinan saja hanya berupa by design oleh kelompok-kelompok
tertentu. Rakyat seakan dimainkan untuk berpikir bahwa kasus tersebut telah
selesai dan tidak perlu lagi dipikirkan. Jika dibandingkan dengan penanganan
kasus terorisme, hal tersebut tentunya sangat jauh berbeda. Lihat saja berita
tentang Osama bin Ladem yang hingga saat ini namanya masih bergema tak kala
mendekati tanggal 11 September, Nurdin M Top yang kasusnya tetap diusut hingga
ke akar-akarnya meskipun Nurdin M Top sendiri telah tewas dan kasus-kasus
lainnya yang berujung pada keberhasilan penuntasan kasus terorisme.
Pertanyaan
yang paling mendasar dari perbandingan kedua kasus tersebut adalah apakah
pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dengan
kasus tersebut serius untuk menuntaskan hingga ke akar-akarnya
kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia seperti halnya penuntasan
kasus-kasus terorisme? Jika dilihat dari sisi pemikiran kritis maka kita akan
menyimpulkan bahwa pemerintah dan pihak-pihak terkait telah “abai” untuk hal
tersebut. Sebagai contohnya kasus Gurita Cikeas atau Bank Century yang hingga
saat ini belum ditemukan ujung pangkalnya, kasus korupsi Simulator SIM, bahkan
kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang terjadi pada September 1997 yang
sampai saat ini masih terasa efeknya juga belum selesai bahkan kasusnya telah
tenggelam oleh kasus-kasus lain yang juga belum mampu dituntaskan.
Ancaman
hukuman yang berat serta pencopotan jabatan secara struktural dan fungsional
seakan tak memberikan efek jerah kepada para pelaku korupsi maupun calon
generasi koruptor. Hal tersebut terjadi karena mereka melihat bukti secara
empiris yang melihat para senior-seniornya masih melenggang dengan bebasnya di
luar sel tahanan padahal mereka telah terbukti menjadi tersangka kasus korupsi.
Ini tentunya akan memberikan efek buruk kepada orang-orang yang mungkin
sebelumnya tak memiliki niat untuk melakukan korupsi, tapi melihat lemahnya
penanganan kasus korupsi di negara ini sehingga ia pun berubah haluan. Toh,
mereka berpikir bahwa ancaman hukuman hanya sekadar gertakan sambal belaka.
Perbandingan Efek
Pemikiran
praktis dari masyarakat dan mungkin juga pemerintah sehingga sangat ambisius
dalam menangani kasus-kasus terorisme, namun seakan mati kutu dalam menangani
kasus-kasus korupsi adalah terorisme berkenaan lansung dengan keamanan negara
dan juga berkenaan lansung dengan nyawa masyarakat. Sebuah pemikiran yang tepat
menurut penulis, namun masih keliru jika menganggap bahwa kasus korupsi tidak
berkenaan dengan keamanan negara, nyawa rakyat, kemisikinan serta kebobrokan
moral. Hal tersebut tentu saja dapat
saling berkaitan, tengoklah kasus yang sering kali muncul dalam berita-berita
nasional yang selalu membandingkan antara pencuri kelas teri dengan pencuri
kelas kakap. Contohnya kasus seorang nenek yang mencuri singkong yang kemudian
selau diperbandingkan dengan kasus korupsi oleh pencuri kelas kakap baik dari
segi jumlah maupun dari segi beratnya hukuman. Padahal jika melihatnya secara
cermat bisa saja sebuah hipotesa terlahir bahwa keboborokan moral masyarakat dipicu
oleh keboborokan moral pemimpin yang menjadi modelnya. Hal tersebut tentunya
tidak mustahil melihat sisi pemikiran manusia yang selalu cenderung untuk
meniru sifat pemimpinnya atau yang menjadi model bagi dirinya. Efek lain yang
ditimbulkan adalah efek sistemik berupa kemiskinan, kasus korupsi pada
September 1997 yaitu kasus Likuiditas Bank Indonesia atau lebih dikenal dengan
istilah BLBI yang efeknya masih terasa hingga sekarang berupa tingginya utang
luar negeri Indonesia yang tentunya berakibat pada melemahnya perekonomian
nasional.
Sedangkan
jika kita melihat efek dari isu terorisme seperti pada kasus bom bali, JW
Marriot dan kasus terbaru yaitu kasus isu terorisme di Solo memang memberikan
efek rasa takut serta was-was lansung kepada masyarakat tetapi tidak berdampak
secara sistemik atau berkelanjutan. Ada efek secara tidak lansung yang
diakibatkan seperti penurunan jumlah wisatawan karena alasan keamanan seperti
yang terjadi pasca bom Bali, tetapi hal tersebut tidak berlansung lama. Penulis
dalam hal ini tidak bermaksud mengatakan bahwa penanganan kasus terorisme
tidaklah penting, tetapi justru berpikir bahwa “kasus terorisme yang pelik dan
menggunakan senjata saja bisa diselasaikan mengapa kasus korupsi yang hanya
mengandalakan dasi dan kursi jabatan kok tak bisa diselesaikan?”
Ketegasan Tindakan
Ancaman
hukuman penjara seumur hidup tidak akan mampu memberikan efek jerah serta
menhentikan aksi korupsi di Indonesia jika tidak dibarengi dengan aplikasi
nyata dari ancaman hukuman tersebut. Sehingga tak perlu ada peninjaun kembali
tentang hukum yang mengatur tentang hukuman bagi para pelaku korupsi, sebab
sebenarnya jika ditinjau dari segi aturan tertulis sudah cukup jelas dan sudah
cukup ideal hukum tersebut. Hanya saja dalam segi pelaksanaan dari hukum
tersebut yang kadang menyimpang dari aturan.
Kedua,
Pengusutan sebuah kasus korupsi haruslah sampai pada akar dari kasus tersebut,
sehingga tak seperti memotong ranting sebuah kasus sedang batang dan akarnya
masih dibiarkan untuk tumbuh. Hal tyersebut masih sangat terlihat dari
penanganan kasus korupsi di Indonesia, seperti pada penanganan kasus Gayus
Tambunan yang seharusnya menyeret nama lain yang merupakan batang dan akar dari
segala kasus.
Ketiga,
Pengosentrasian penanganan sebuah kasus, sehingga tak akan ditenggelamkan oleh
kasus-kasus lain yang mungkin saja merupakan penagalihan isu dari pihak-pihak
tertentu.
Dari beberapa hal
tersebut maka perlu dijalin sebuah kerja sama antara masyarakat, media massa,
serta pihak-pihak yang bersangkutan agar kiranya tetap melakukan pengawasan
serta menindaklanjuti kasus-kasus yang belum terselesaikan. Sehingga nantinya
penanganan kasus korupsi dapat seintegratif penaganganan kasus isu terorisme.
3 komentar:
sepakat...
Reply CommentKoruptor memang bisa disebut sebagai korupsi.... 11-12 lah.. hahahah :D
sayang sekali, tapi koruptor itu harus dibuktikan, dan sudah sangat jelas berduit banyak..
Reply Commentapapun bisa digelintirkan
nice post :)
Reply Commentditunggu kunjungan baliknya yaah ,
Posting Komentar