Sabtu, 08 September 2012

Koruptor juga Teroris

Sumber
Sebelas tahun yang lalu tepatnya 11 September 2011 semenjak aksi peledakan Menara Berkembar World Trade Center (Pusat Dagangan Dunia) di Bandar Raya New York yang diduga dilakukan oleh kelompok Al-Qaedah, namun gaung dari peristiwa tersebut masih terdengar sampai saat ini. Efek dari peristiwa tersebut tentunya tidak dirasakan hingga saat ini, berbeda halnya dengan korupsi yang efeknya memang tidak dirasakan secara lansung oleh masyarakat tetapi memberikan efek yang berkelanjutan. Sebuah peristilahan yang saya buat untuk kedua hal tersebut adalah teroris membunuh dengan bom sedangkan teroris membunuh dengan               dasi, kedua  teroris dengan sekejap sedangkan koruptor membunuh bagai menebar racun biologis, pelan, massif, dan pasti.

Abai dan Terabaikan

Sebuah hal yang sangat miris jika melihat penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia adalah penanganannya yang sangat lambang, bertele-tele dan tidak secara tuntas. Sebuah kasus korupsi bernilai miliaran rupiah dengan mudahnya akan hilang dan tertutupi oleh kasus-kasus kecil seperti misalnya isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau bahkan isu teroris yang kemungkinan saja hanya berupa by design oleh kelompok-kelompok tertentu. Rakyat seakan dimainkan untuk berpikir bahwa kasus tersebut telah selesai dan tidak perlu lagi dipikirkan. Jika dibandingkan dengan penanganan kasus terorisme, hal tersebut tentunya sangat jauh berbeda. Lihat saja berita tentang Osama bin Ladem yang hingga saat ini namanya masih bergema tak kala mendekati tanggal 11 September, Nurdin M Top yang kasusnya tetap diusut hingga ke akar-akarnya meskipun Nurdin M Top sendiri telah tewas dan kasus-kasus lainnya yang berujung pada keberhasilan penuntasan kasus terorisme. 

Pertanyaan yang paling mendasar dari perbandingan kedua kasus tersebut adalah apakah pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dengan  kasus tersebut serius untuk menuntaskan hingga ke akar-akarnya kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia seperti halnya penuntasan kasus-kasus terorisme? Jika dilihat dari sisi pemikiran kritis maka kita akan menyimpulkan bahwa pemerintah dan pihak-pihak terkait telah “abai” untuk hal tersebut. Sebagai contohnya kasus Gurita Cikeas atau Bank Century yang hingga saat ini belum ditemukan ujung pangkalnya, kasus korupsi Simulator SIM, bahkan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang terjadi pada September 1997 yang sampai saat ini masih terasa efeknya juga belum selesai bahkan kasusnya telah tenggelam oleh kasus-kasus lain yang juga belum mampu dituntaskan. 

Ancaman hukuman yang berat serta pencopotan jabatan secara struktural dan fungsional seakan tak memberikan efek jerah kepada para pelaku korupsi maupun calon generasi koruptor. Hal tersebut terjadi karena mereka melihat bukti secara empiris yang melihat para senior-seniornya masih melenggang dengan bebasnya di luar sel tahanan padahal mereka telah terbukti menjadi tersangka kasus korupsi. Ini tentunya akan memberikan efek buruk kepada orang-orang yang mungkin sebelumnya tak memiliki niat untuk melakukan korupsi, tapi melihat lemahnya penanganan kasus korupsi di negara ini sehingga ia pun berubah haluan. Toh, mereka berpikir bahwa ancaman hukuman hanya sekadar gertakan sambal belaka.

Perbandingan Efek

Pemikiran praktis dari masyarakat dan mungkin juga pemerintah sehingga sangat ambisius dalam menangani kasus-kasus terorisme, namun seakan mati kutu dalam menangani kasus-kasus korupsi adalah terorisme berkenaan lansung dengan keamanan negara dan juga berkenaan lansung dengan nyawa masyarakat. Sebuah pemikiran yang tepat menurut penulis, namun masih keliru jika menganggap bahwa kasus korupsi tidak berkenaan dengan keamanan negara, nyawa rakyat, kemisikinan serta kebobrokan moral.  Hal tersebut tentu saja dapat saling berkaitan, tengoklah kasus yang sering kali muncul dalam berita-berita nasional yang selalu membandingkan antara pencuri kelas teri dengan pencuri kelas kakap. Contohnya kasus seorang nenek yang mencuri singkong yang kemudian selau diperbandingkan dengan kasus korupsi oleh pencuri kelas kakap baik dari segi jumlah maupun dari segi beratnya hukuman. Padahal jika melihatnya secara cermat bisa saja sebuah hipotesa terlahir bahwa keboborokan moral masyarakat dipicu oleh keboborokan moral pemimpin yang menjadi modelnya. Hal tersebut tentunya tidak mustahil melihat sisi pemikiran manusia yang selalu cenderung untuk meniru sifat pemimpinnya atau yang menjadi model bagi dirinya. Efek lain yang ditimbulkan adalah efek sistemik berupa kemiskinan, kasus korupsi pada September 1997 yaitu kasus Likuiditas Bank Indonesia atau lebih dikenal dengan istilah BLBI yang efeknya masih terasa hingga sekarang berupa tingginya utang luar negeri Indonesia yang tentunya berakibat pada melemahnya perekonomian nasional. 

Sedangkan jika kita melihat efek dari isu terorisme seperti pada kasus bom bali, JW Marriot dan kasus terbaru yaitu kasus isu terorisme di Solo memang memberikan efek rasa takut serta was-was lansung kepada masyarakat tetapi tidak berdampak secara sistemik atau berkelanjutan. Ada efek secara tidak lansung yang diakibatkan seperti penurunan jumlah wisatawan karena alasan keamanan seperti yang terjadi pasca bom Bali, tetapi hal tersebut tidak berlansung lama. Penulis dalam hal ini tidak bermaksud mengatakan bahwa penanganan kasus terorisme tidaklah penting, tetapi justru berpikir bahwa “kasus terorisme yang pelik dan menggunakan senjata saja bisa diselasaikan mengapa kasus korupsi yang hanya mengandalakan dasi dan kursi jabatan kok tak bisa diselesaikan?”

Ketegasan Tindakan

Ancaman hukuman penjara seumur hidup tidak akan mampu memberikan efek jerah serta menhentikan aksi korupsi di Indonesia jika tidak dibarengi dengan aplikasi nyata dari ancaman hukuman tersebut. Sehingga tak perlu ada peninjaun kembali tentang hukum yang mengatur tentang hukuman bagi para pelaku korupsi, sebab sebenarnya jika ditinjau dari segi aturan tertulis sudah cukup jelas dan sudah cukup ideal hukum tersebut. Hanya saja dalam segi pelaksanaan dari hukum tersebut yang kadang menyimpang dari aturan.

Kedua, Pengusutan sebuah kasus korupsi haruslah sampai pada akar dari kasus tersebut, sehingga tak seperti memotong ranting sebuah kasus sedang batang dan akarnya masih dibiarkan untuk tumbuh. Hal tyersebut masih sangat terlihat dari penanganan kasus korupsi di Indonesia, seperti pada penanganan kasus Gayus Tambunan yang seharusnya menyeret nama lain yang merupakan batang dan akar dari segala kasus. 

Ketiga, Pengosentrasian penanganan sebuah kasus, sehingga tak akan ditenggelamkan oleh kasus-kasus lain yang mungkin saja merupakan penagalihan isu dari pihak-pihak tertentu.

Dari beberapa hal tersebut maka perlu dijalin sebuah kerja sama antara masyarakat, media massa, serta pihak-pihak yang bersangkutan agar kiranya tetap melakukan pengawasan serta menindaklanjuti kasus-kasus yang belum terselesaikan. Sehingga nantinya penanganan kasus korupsi dapat seintegratif penaganganan kasus isu terorisme.

3 komentar:

sepakat...
Koruptor memang bisa disebut sebagai korupsi.... 11-12 lah.. hahahah :D

Reply Comment

sayang sekali, tapi koruptor itu harus dibuktikan, dan sudah sangat jelas berduit banyak..

apapun bisa digelintirkan

Reply Comment

nice post :)
ditunggu kunjungan baliknya yaah ,

Reply Comment
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...