![]() |
Sumber |
Membincang persoalan
bahasa daerah dan eksistensinya, maka saya teringat pertemuan pertama saya
dengan seorang mahasiswa yang kemudian saya tahu asal daerahnya dari Bone,
sebuah wilayah yang menggunakan Bahasa Bugis sebagai bahasa sehari-hari. Saya
pun mencoba berbincang dengan dia dengan menggunakan Bahasa Bugis tapi di luar
dugaan saya, ia ternyata tidak dapat berbahasa Bugis. Setelah saya telusuri,
ternyata ia telah lama tinggal di Makassar yang notabene merupakan salah satu
kota besar di Indonesia. Saya pun berpikir, apakah ketika kita meninggalkan
daerah asal kita, maka semua identitas yang menyangkut asal daerah kita juga
harus ditanggalkan termasuk “bahasa ibu” kita? Saya ingin lanjut untuk bertanya
kepada mahasiswa tersebut mengenai kebudayaan daerahnya, adat istiadat, upacara
adat yang dimiliki oleh daerah asalnya. Tapi jangankan budaya, adat istiadat,
atau upacara adat atau warisan leluhur lainnya, Bahasa Bugis
saja tak mampu ia kuasai apalagi yang namanya budaya daerah. Mungkinkah
kebanggaan terhadap etnis bagi masyarakat urban sudah tak
berlaku lagi? Padahal bila dipikir, etnis merupakan sebuah hal yang patut
dibanggakan selain dari agama dan Negara.
Hal tersebut bukanlah
sebuah hal baru dan asing . Itu sudah lumrah dan hampir terjadi di setiap
daerah di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah bahasa di
Indonesia yang sangat banyak yaitu 726 ragam bahasa, terdiri dari 719
bahasa lokal/daerah (masih aktif digunakan sampai sekarang), 2 bahasa sekunder
tanpa penutur asli, dan 5 bahasa tanpa diketahui penuturnya [1].
Kekayaan akan bahasa
tersebut merupakan sebuah aset negara yang tak terhitung nilainya. Selain
berkedudukan sebagai bahasa interetnik, bahasa daerah juga berfungsi sebagai
salah satu penopang nasionalisme bangsa. Jadi, jelaslah bahwa tak hanya Bahasa
Indonesia yang perlu dibudayakan, melainkan bahasa daerah juga. Sebenarnya
bahasa daerah pernah menjadi kebanggaan bagi masyarakat penuturnya sebelum diakuinya
bahasa “Melayu Riau” sebagai bahasa persatuan dan bahasa pemersatu bangsa.
Tersebutlah tanggal 28
Oktober 1928 sebagai hari dicanangkannya sebuah bahasa di daerah Melayu Riau
yang awalnya merupakan bahasa kerajaan di daerah tersebut sebagai bahasa persatuan
sekaligus bahasa pemersatu bangsa. Berawal dari hal tersebut, maka dimulailah
babakan baru dalam hal komunikasi interetnik maupun komunikasi antaretnik.
Sebuah hal yang memberi perubahan besar bagi bangsa yang berjuluk negeri seribu
satu pulau ini.
Dalam masa kejayaan
Bahasa Melayu Riau yang kemudian dikenal sebagai “Bahasa Indonesia” telah
banyak perubahan besar yang terjadi di negara yang memiliki ratusan bahasa dan
kebudayaan daerah ini. Perubahan tersebut berupa dominasi bahasa
Indonesia sebagai bahasa keseharian dan bahasa untuk berkomunikasi lintas
etnik. Namun, dominasi tersebut tak seharusnya menggiring kepunahan ratusan
bahasa daerah. Hal itu karena mengingat fungsi dan entitas bahasa daerah itu
sendiri yang tak kalah pentingnya jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia,
yaitu sebagai pilar utama penyangga nasionalisme.
Hal tersebut sebenarnya
telah diatur Dalam Pasal 42 ayat (1) tentang pemertahanan bahasa daerah.
Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra
daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan
bermasyarakat sesuai dengan perkembangan jaman dan agar tetap menjadi bagian
dari kekayaan budaya Indonesia. (2) Pengembangan, pembinaan, dan perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sitematis, dan
berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.
Pasal tersebut menegaskan bahwa bahasa daerah memiliki kedudukan dan fungsi
yang harus dijaga oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah dan lembaga
kebahasaan [2].
Bahasa daerah mengalami
degradasi yang sangat luar biasa, baik dalam intensitas penggunaannya di
masyarakat maupun di media. Hal tersebut memungkingkan terjadinya hegemoni
kebudayaan yang akhirnya akan memberi peluang untuk terjadinya penjajahan gaya
baru. Penjajahan gaya baru yang dimaksud adalah penjajahan yang sistematis,
yaitu penjajahan kebudayaan oleh bangsa lain. Penjajahan ini dimulai dengan
tindak perusakan bahasa dan budaya lokal suatu negara, kemudian penjajah melakukan
transformasi budaya kontemporernya dengan begitu cepat. Kemudian dilakukanlah
langkah untuk melakukan dominasi bahasa dan budaya sebagai tindak
hegemoni kebudayaan. Hal tersebut dapat terjadi jika bahasa daerah dan budaya
lokal telah mengalami degradasi, sehingga budaya kontemporer akan mudah sekali
menggantikan budaya lokal masyarakat.
Hal tersebut telah
diwanti-wanti oleh para pakar bahasa termasuk seorang pakar budaya dan bahasa
Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. Zainuddin Taha pada acara Seminar
Bahasa, ia mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen dari 5.000
bahasa di dunia terancam punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa.
Selanjutnya, dikatakan olehnya bahwa kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu
hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya
meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih
menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di Indonesia
sendiri, katanya, keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini
semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang
tinggal di perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah
yang jumlah penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minor) seperti Bahasa Torilangi,
Kajang, Lise, dan Tolotang, tetapi juga pada bahasa yang jumlah penuturnya
tergolong besar (bahasa mayor) seperti bahasa Jawa, Bali, Banjar, dan Lampung,
termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan seperti Bugis, Makassar,
Toraja, dan Massenrempulu.
Tetapi rupanya masalah
pemertahanan ini tidak menjadi isu besar pada kelompok penutur bahasa mayor.
Semuanya dianggap berjalan baik, dan pemertahanan tidak dilakukan sepenuhnya
secara sadar. Untuk bahasa minoritas, terpinggirkan, dan terancam punah,
masalah pemertahanan bahasa menjadi isu dan mesti dilakukan penuh kesadaran dan
dengan berbagai upaya. Karenanya, definisi pemertahanan bahasa yang ada
biasanya dikaitkan dengan pemertahanan bahasa untuk bahasa terdesak/minoritas,
yang didalamnya terkandung usaha terencana dan sadar untuk mencegah merosotnya
penggunaan bahasa dalam kaitan berbagai kondisi tertentu, yang bisa mengarah ke
perpindahan bahasa (language shift) atau ke kematian bahasa (language
death), [3]. Apabila bahasa telah mengalami kematian maka upaya
pemertahanan bahasa tidak dapat lagi dilakukan dan ketika hal ini terjadi maka
bahasa akan mengalami kepunahan.
Bahasa daerah merupakan
bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup sehingga perlu dibina dan
dipelihara.hal tersebut karena bahasa daerah memiliki peranan yang luar biasa
dalam memberikan identitas pada suatu negara. Oleh kerena itu, untuk menjaga
peran dan entitas tersebut maka perlu dilakukan pembinaan dan pemeliharaan
dalam bentuk yang riil dan berkelanjutan serta tidak mengurangi entitas bahasa
daerah tersebut.
Pemerintah di setiap
daerah di Indonesia telah melakukan langkah-langkah strategis untuk mencegah
kepunahan bahasa daerahnya. Beberapa daerah yang telah melakukan upaya
pemertahanan bahasa diantaranya yaitu Jawa Barat dengan menerbitkan tiga
peraturan daerah (Perda), yaitu: (1) Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang
pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah, (2) Perda Nomor 6 Tahun 2003
tentang pemeliharaan kesenian, dan (3) Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang pengelolaan
kepurbakalaan, kesejarahan, nilai tradisional dan museum [4]. Tiga serangkai
perda di atas ditandatangani Gubernur Jawa Barat pada 13 Januari 2003 dan
merupakan fondasi kebijakan perencanaan bahasa yang menempatkan bahasa daerah
sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah.
Peraturan daerah seyogianya segera diikuti dengan pembentukan tim perencana
bahasa daerah yang beranggotakan para pakar terkait seperti ahli perencanaan
bahasa, linguistik, sastra, seni, pengajaran bahasa, penerbitan, naskah, dan
kebudayaan. Karena kebudayaan etnis dibangun melalui bahasa etnis, maka bahasa
etnis harus direkayasa, yakni dipertahankan dan diberdayakan melalui strategi
kebudayaan sebagai upaya revitalisasi jati diri untuk menunjang kebudayaan
nasional. Ini merupakan sebuah langkah besar dalam upaya pemertahanan bahasa
daerah, tetapi hal tersebut tidak terlalu memberikan dampak yang siginifikan,
karena kebijakan tanpa aplikatif tidak akan menghasilkan apa-apa
Melihat fenomena
tersebut, saya berpikir bahwa pencegahan kepunahan bahasa tak seharusnya
diambil dari atas ke bawah, yaitu berupa lahirnya UU tentang kebahasaan, Perda,
dan kebijakan-kebijakan lainnya. Melainkan harus dimulai dari sumbernya, yaitu
pembelajaran bahasa daerah kepada generasi penerus penutur bahasa daerah
tersebut.
Hal tersebut harus
dimulai di lingkungan penutur bahasa daerah tersebut, sekolah-sekolah, maupun
pembelajaran nonformal lainnya. Pembelajaran tersebut secara khusus ditujukan
bagi pengembangan pendidikan masyarakat penutur bahasa daerah dengan
memanfaatkan kekayaan bahasa ibunya sebagai sumber belajar yang fungsional
dalam pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung.
Program pembelajaran
keaksaraan melalui bahasa ibu ini menggunakan tingkatan kelas sebagai berikut
- Tingkat 1, kelas untuk warga belajar pemula yang hanya mampu berbicara (atau sebagian besar) dalam bahasa ibunya, (mother tongue).
- Tingkat 2, kelas untuk warga belajar yang ingin lancar menulis dan membaca dalam bahasa ibunya.
- Tingkat 3, kelas untuk warga belajar yang sudah siap mentransfer keaksaraan dalam bahasa mayoritas yaitu bahasa Indonesia.
- Tingkat 4, kelas untuk warga belajar yang dapat melanjutkan pembelajarannya baik dalam bahasa ibu maupun dalam bahasa mayoritas (bilingual).
Materi pembelajarannya
memadukan antara kekayaan bahasa ibu dengan kecakapan hidup (life
skills), diantaranya adalah: menyanyi lagu bahasa daerah, menulis
peribahasa daerah, menulis surat berbahasa daerah, dan dongeng asal
muasal lokasi setempat. Komunitas tersebut tak hanya diajarkan untuk dapat
melestarikan bahasanya, tetapi juga diajarkan keterampilan lain. Hal tersebut
dimaksudkan agar komunitas tersebut tak hanya memilki kecakapan hidup, tetapi
juga mampu memelihara bahasa dan budayanya.
Dalam proses belajar
mengajar tutor menggunakan strategi belajar, membaca, menulis, berhitung,
diskusi, dan aksi. Penggunaannya fleksibel sesuai situasi dan kondisi materi
yang disampaikan tutor. Bahkan, terkadang menggunakan alat musik dalam seni
daerah. Artinya, semua bahan belajar tersebut sedapat mungkin diambil dari
pengembangan tradisi lokal.
Ini merupakan sebuah
solusi kongkrit dalam upaya pemertahan bahasa daerah, selain dari pembentukan
komunitas-komunitas binaan tersebut upaya lain yang mesti dilakukan yaitu
pengajaran bahasa daerah di sekolah sebagai bahasa pengantar pendidikan tingkat
awal. Bahasa pengantar yang saya maksudkan disini yaitu penggunaan bahasa
daerah di sekolah bagi anak-anak sekolah kelas satu sampai kelas tiga, ini
merupakan sebuah upaya pentransformasian arti bahasa daerahnya ke bahasa
mayoritas yaitu bahasa Indonesia.
Tak hanya berhenti
sampai disitu upaya tersebut harus berkesinambungan dengan memasukkan pelajaran
bahasa daerah dalam mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) yang merupakan mata
pelajaran wajib yang tercantum dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. hal ini
agar pemahaman terhadap bahasa daerah tak hanya sebatas mengetahui arti dan
makna kata, tetapi dalam bentuk aplikatif dan produktif juga dipahami. Misalnya
bagi masyarakat Bugis mampu mengenal, memahami dan melafalkan elong
ugi, ada pappaseng, parikadong dan budaya-budaya tutur lainnya.
Hal tersebut perlu
dilakukan, jangan sampai manusia Indonesia kehilangan ke-diri-annya. Ia
diideologisasi untuk terus mengarahkan pandangannya ke barat. Menganggap
identitas kebangsaan sebagai sesuatu yang kolot, jauh dari imaji modernitas
sebagaimana tawaran ideologi televisi. Inilah sebuah pilihan yang mesti diambil
yaitu menjadi manusia bermakna atau menjadi identitas “diri”
identitas merk (kata lainnya; “saya adalah apa yang saya kenakan”).
Catatan Kaki:
[1] Lewis, M. Paul
(ed.), 2009. Ethnologue: Languages of the World, Sixteenth edition. Dallas,
Tex.: SIL International.
[2] Widiyanto, 2010
[3] Nahir 1984;
Marshall 1994, dalam Arka 2010
[4] Alwailah,
2010
4 komentar:
aku pernah ditanyain "kamu bahasa ibunya apa?" aku jawab "bahasa indonesia."
Reply Comment"salah. bahasa ibumu bahasa jawa karena kamu asli jawa."
yaa... ternyata yah
serius banget ya...
Reply Commenttapisuka, tambah ilmu pengetahuan :)
@Ocha Rhoshandha: Iya, bahasa ibu itu adalah bahasa pertama. bisa saja bahasa ibu kita adalah bahasa Indonesia jika bahasa pertamanya adalah bahasa Indonesia.
Reply Comment:) Salam semangat
@Javas K. Niscala: Hehehe, pusing mau nulis apa sob jadi nulis artikel aja. hehehe
Reply CommentPosting Komentar