Sabtu, 01 September 2012

Bahasa Indonesia dalam Sejarah


Sumber

Membincang persoalan bahasa daerah dan eksistensinya, maka saya teringat pertemuan pertama saya dengan seorang mahasiswa yang kemudian saya tahu asal daerahnya dari Bone, sebuah wilayah yang menggunakan Bahasa Bugis sebagai bahasa sehari-hari. Saya pun mencoba berbincang dengan dia dengan menggunakan Bahasa Bugis tapi di luar dugaan saya, ia ternyata tidak dapat berbahasa Bugis. Setelah saya telusuri, ternyata ia telah lama tinggal di Makassar yang notabene merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Saya pun berpikir, apakah ketika kita meninggalkan daerah asal kita, maka semua identitas yang menyangkut asal daerah kita juga harus ditanggalkan termasuk “bahasa ibu” kita? Saya ingin lanjut untuk bertanya kepada mahasiswa tersebut mengenai kebudayaan daerahnya, adat istiadat, upacara adat yang dimiliki oleh daerah asalnya. Tapi jangankan budaya, adat istiadat, atau  upacara adat atau warisan leluhur lainnya, Bahasa Bugis saja tak mampu ia kuasai apalagi yang namanya budaya daerah. Mungkinkah kebanggaan terhadap etnis bagi masyarakat urban sudah tak berlaku lagi? Padahal bila dipikir, etnis merupakan sebuah hal yang patut dibanggakan selain dari agama dan Negara.

Hal tersebut bukanlah sebuah hal baru dan asing . Itu sudah lumrah dan hampir terjadi di setiap daerah di Indonesia.  Hal tersebut disebabkan oleh jumlah bahasa di Indonesia yang sangat banyak yaitu 726 ragam bahasa, terdiri dari 719 bahasa lokal/daerah (masih aktif digunakan sampai sekarang), 2 bahasa sekunder tanpa penutur asli, dan 5 bahasa tanpa diketahui penuturnya [1].

Kekayaan akan bahasa tersebut merupakan sebuah aset negara yang tak terhitung nilainya. Selain berkedudukan sebagai bahasa interetnik, bahasa daerah juga berfungsi sebagai salah satu penopang nasionalisme bangsa. Jadi, jelaslah bahwa tak hanya Bahasa Indonesia yang perlu dibudayakan, melainkan bahasa daerah juga. Sebenarnya bahasa daerah pernah menjadi kebanggaan bagi masyarakat penuturnya sebelum diakuinya bahasa “Melayu Riau” sebagai bahasa persatuan dan bahasa pemersatu bangsa.

Tersebutlah tanggal 28 Oktober 1928 sebagai hari dicanangkannya sebuah bahasa di daerah Melayu Riau yang awalnya merupakan bahasa kerajaan di daerah tersebut sebagai bahasa persatuan sekaligus bahasa pemersatu bangsa. Berawal dari hal tersebut, maka dimulailah babakan baru dalam hal komunikasi interetnik maupun komunikasi antaretnik. Sebuah hal yang memberi perubahan besar bagi bangsa yang berjuluk negeri seribu satu pulau ini.

Dalam masa kejayaan Bahasa Melayu Riau yang kemudian dikenal sebagai “Bahasa Indonesia” telah banyak perubahan besar yang terjadi di negara yang memiliki ratusan bahasa dan kebudayaan daerah ini. Perubahan tersebut berupa  dominasi bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian dan bahasa untuk berkomunikasi lintas etnik. Namun, dominasi tersebut tak seharusnya menggiring kepunahan ratusan bahasa daerah. Hal itu karena mengingat fungsi dan entitas bahasa daerah itu sendiri yang tak kalah pentingnya jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia, yaitu sebagai pilar utama penyangga nasionalisme.

Hal tersebut sebenarnya telah diatur Dalam Pasal 42 ayat (1) tentang pemertahanan bahasa daerah. Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan jaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. (2) Pengembangan, pembinaan, dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sitematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan. Pasal tersebut menegaskan bahwa bahasa daerah memiliki kedudukan dan fungsi yang harus dijaga oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah dan lembaga kebahasaan [2].

Bahasa daerah mengalami degradasi yang sangat luar biasa, baik dalam intensitas penggunaannya di masyarakat maupun di media. Hal tersebut memungkingkan terjadinya hegemoni kebudayaan yang akhirnya akan memberi peluang untuk terjadinya penjajahan gaya baru. Penjajahan gaya baru yang dimaksud adalah penjajahan yang sistematis, yaitu penjajahan kebudayaan oleh bangsa lain. Penjajahan ini dimulai dengan tindak perusakan bahasa dan budaya lokal suatu negara, kemudian penjajah melakukan transformasi budaya kontemporernya dengan begitu cepat. Kemudian dilakukanlah langkah untuk melakukan dominasi bahasa dan  budaya sebagai tindak hegemoni kebudayaan. Hal tersebut dapat terjadi jika bahasa daerah dan budaya lokal telah mengalami degradasi, sehingga budaya kontemporer akan mudah sekali menggantikan budaya lokal masyarakat.

Hal tersebut telah diwanti-wanti oleh para pakar bahasa termasuk seorang pakar budaya dan bahasa Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. Zainuddin Taha pada acara Seminar Bahasa, ia mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen dari 5.000 bahasa di dunia terancam punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa. Selanjutnya, dikatakan olehnya bahwa kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di Indonesia sendiri, katanya, keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang tinggal di perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minor) seperti Bahasa Torilangi, Kajang, Lise, dan Tolotang, tetapi juga pada bahasa yang jumlah penuturnya tergolong besar (bahasa mayor) seperti bahasa Jawa, Bali, Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu.

Tetapi rupanya masalah pemertahanan ini tidak menjadi isu besar pada kelompok penutur bahasa mayor. Semuanya dianggap berjalan baik, dan pemertahanan tidak dilakukan sepenuhnya secara sadar. Untuk bahasa minoritas, terpinggirkan, dan terancam punah, masalah pemertahanan bahasa menjadi isu dan mesti dilakukan penuh kesadaran dan dengan berbagai upaya. Karenanya, definisi pemertahanan bahasa yang ada biasanya dikaitkan dengan pemertahanan bahasa untuk bahasa terdesak/minoritas, yang didalamnya terkandung usaha terencana dan sadar untuk mencegah merosotnya penggunaan bahasa dalam kaitan berbagai kondisi tertentu, yang bisa mengarah ke perpindahan bahasa (language shift) atau ke kematian bahasa (language death), [3]. Apabila bahasa telah mengalami kematian maka upaya pemertahanan bahasa tidak dapat lagi dilakukan dan ketika hal ini terjadi maka bahasa akan mengalami kepunahan.

Bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup sehingga perlu dibina dan dipelihara.hal tersebut karena bahasa daerah memiliki peranan yang luar biasa dalam memberikan identitas pada suatu negara. Oleh kerena itu, untuk menjaga peran dan entitas tersebut maka perlu dilakukan pembinaan dan pemeliharaan dalam bentuk yang riil dan berkelanjutan serta tidak mengurangi entitas bahasa daerah tersebut.

Pemerintah di setiap daerah di Indonesia telah melakukan langkah-langkah strategis untuk mencegah kepunahan bahasa daerahnya. Beberapa daerah yang telah melakukan upaya pemertahanan bahasa diantaranya yaitu Jawa Barat dengan menerbitkan tiga peraturan daerah (Perda), yaitu: (1) Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah, (2) Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang pemeliharaan kesenian, dan (3) Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang pengelolaan kepurbakalaan, kesejarahan, nilai tradisional dan museum [4]. Tiga serangkai perda di atas ditandatangani Gubernur Jawa Barat pada 13 Januari 2003 dan merupakan fondasi kebijakan perencanaan bahasa yang menempatkan bahasa daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah. Peraturan daerah seyogianya segera diikuti dengan pembentukan tim perencana bahasa daerah yang beranggotakan para pakar terkait seperti ahli perencanaan bahasa, linguistik, sastra, seni, pengajaran bahasa, penerbitan, naskah, dan kebudayaan. Karena kebudayaan etnis dibangun melalui bahasa etnis, maka bahasa etnis harus direkayasa, yakni dipertahankan dan diberdayakan melalui strategi kebudayaan sebagai upaya revitalisasi jati diri untuk menunjang kebudayaan nasional. Ini merupakan sebuah langkah besar dalam upaya pemertahanan bahasa daerah, tetapi hal tersebut tidak terlalu memberikan dampak yang siginifikan, karena kebijakan tanpa aplikatif tidak akan menghasilkan apa-apa

Melihat fenomena tersebut, saya berpikir bahwa pencegahan kepunahan bahasa tak seharusnya diambil dari atas ke bawah, yaitu berupa lahirnya UU tentang kebahasaan, Perda, dan kebijakan-kebijakan lainnya. Melainkan harus dimulai dari sumbernya, yaitu pembelajaran bahasa daerah kepada generasi penerus penutur bahasa daerah tersebut.

Hal tersebut harus dimulai di lingkungan penutur bahasa daerah tersebut, sekolah-sekolah, maupun pembelajaran nonformal lainnya. Pembelajaran tersebut secara khusus ditujukan bagi pengembangan pendidikan masyarakat penutur bahasa daerah dengan memanfaatkan kekayaan bahasa ibunya sebagai sumber belajar yang fungsional dalam pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung.
Program pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu ini menggunakan tingkatan kelas sebagai berikut
  1. Tingkat 1, kelas untuk warga belajar pemula yang hanya mampu berbicara (atau sebagian besar) dalam bahasa ibunya, (mother tongue).
  2. Tingkat 2, kelas untuk warga belajar yang ingin lancar menulis dan membaca dalam bahasa ibunya.
  3. Tingkat 3, kelas untuk warga belajar yang sudah siap mentransfer keaksaraan dalam bahasa mayoritas yaitu bahasa Indonesia.
  4. Tingkat 4, kelas untuk warga belajar yang dapat melanjutkan pembelajarannya baik dalam bahasa ibu maupun dalam bahasa mayoritas (bilingual).


Materi pembelajarannya memadukan antara kekayaan bahasa ibu dengan kecakapan hidup (life skills), diantaranya adalah: menyanyi lagu bahasa daerah, menulis peribahasa daerah,  menulis surat berbahasa daerah, dan dongeng asal muasal lokasi setempat. Komunitas tersebut tak hanya diajarkan untuk dapat melestarikan bahasanya, tetapi juga diajarkan keterampilan lain. Hal tersebut dimaksudkan agar komunitas tersebut tak hanya memilki kecakapan hidup, tetapi juga mampu memelihara bahasa dan budayanya.

Dalam proses belajar mengajar tutor menggunakan strategi belajar, membaca, menulis, berhitung, diskusi, dan aksi. Penggunaannya fleksibel sesuai situasi dan kondisi materi yang disampaikan tutor. Bahkan, terkadang menggunakan alat musik dalam seni daerah. Artinya, semua bahan belajar tersebut sedapat mungkin diambil dari pengembangan tradisi lokal.

Ini merupakan sebuah solusi kongkrit dalam upaya pemertahan bahasa daerah, selain dari pembentukan komunitas-komunitas binaan tersebut upaya lain yang mesti dilakukan yaitu pengajaran bahasa daerah di sekolah sebagai bahasa pengantar pendidikan tingkat awal. Bahasa pengantar yang saya maksudkan disini yaitu penggunaan bahasa daerah di sekolah bagi anak-anak sekolah kelas satu sampai kelas tiga, ini merupakan sebuah upaya pentransformasian arti bahasa daerahnya ke bahasa mayoritas yaitu bahasa Indonesia.

Tak hanya berhenti sampai disitu upaya tersebut harus berkesinambungan dengan memasukkan pelajaran bahasa daerah dalam mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) yang merupakan mata pelajaran wajib yang tercantum dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. hal ini agar pemahaman terhadap bahasa daerah tak hanya sebatas mengetahui arti dan makna kata, tetapi dalam bentuk aplikatif dan produktif juga dipahami. Misalnya bagi masyarakat Bugis mampu mengenal, memahami dan melafalkan elong ugi, ada pappaseng, parikadong dan budaya-budaya tutur lainnya.

Hal tersebut perlu dilakukan, jangan sampai manusia Indonesia kehilangan ke-diri-annya. Ia diideologisasi untuk terus mengarahkan pandangannya ke barat. Menganggap identitas kebangsaan sebagai sesuatu yang kolot, jauh dari imaji modernitas sebagaimana tawaran ideologi televisi. Inilah sebuah pilihan yang mesti diambil yaitu menjadi manusia bermakna atau menjadi identitas “diri” identitas merk (kata lainnya; “saya adalah apa yang saya kenakan”).

Catatan Kaki:
[1] Lewis, M. Paul (ed.), 2009. Ethnologue: Languages of the World, Sixteenth edition.  Dallas, Tex.: SIL International.
[2] Widiyanto, 2010
[3] Nahir 1984; Marshall 1994, dalam Arka 2010
[4] Alwailah, 2010 

4 komentar:

aku pernah ditanyain "kamu bahasa ibunya apa?" aku jawab "bahasa indonesia."
"salah. bahasa ibumu bahasa jawa karena kamu asli jawa."
yaa... ternyata yah

Reply Comment

serius banget ya...
tapisuka, tambah ilmu pengetahuan :)

Reply Comment

@Ocha Rhoshandha: Iya, bahasa ibu itu adalah bahasa pertama. bisa saja bahasa ibu kita adalah bahasa Indonesia jika bahasa pertamanya adalah bahasa Indonesia.

:) Salam semangat

Reply Comment

@Javas K. Niscala: Hehehe, pusing mau nulis apa sob jadi nulis artikel aja. hehehe

Reply Comment
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...