Jumat, 21 September 2012

Rumah Peradaban, Kampung Peradaban

Sejak aku menjadi mahasiswa aku tak pernah merasa jauh dari keluarga. Sebab di sini, di kota yang wajahnya tiap hari dipenuhi dengan asap kendaraan aku menemukan kelaurga baru. Keluarga sekaligus teman berbagi, bercerita, berkelana, gila-gilaan dan teman berbagi bahak dan juga tangis. Dari sekian banyak keluargaku di Makassar, sekarang aku sangat betah untuk bercengkrama dengan "keluarga nalarku". 

Aku sebenarnya belum terlalu lama berada dalam keluarga tersebut. Aku mulai bergabung di keluarga tersebut tahun 2010 silam, namun aku merasa telah manjadi bagian dari keluarga tersebut. Aku dulunya menjadi anak termuda dalam keluarga tersebut. Dimanja dan selalu mendapat bimbingan dari kakak-kakaknya. Sekarang aku hampir menjadi orang yang paling tua dalam keluarga tersebut. Kenangan pun sudah banyak yang terukir di bawah atap yang kami sebut rumah peradaban. 

Rumah peradaban itu setiap paginya pasti lengang, sunyi, dan kadang hanya suara TV yang tak pernah berhenti mengoceh mulai dari terbenamnya matahari. "Bangun meki nak, ada roti bakar sama susu di meja" itu adalah kalimat sindiran yang sangat melekat dan seringkali terucap dari bibir sahabat kala matahari telah menerobos masuk ke dalam kamar. Pernah kami harus mencuci 83 piring, 32 mangkok, lusinan gelas dan sendok hingga kami harus meluruskan badan setelahnya. Pernah juga kami harus mengangkat sampah hingga beberapa kali ke mobil sampah. Namun, dibalik semua itu banyak kisah manis yang terukir di sana.

Mungkin nanti kita masih akan antri untuk mandi, ketuk-ketuk kamar untuk meminta menyegerakan mandi. Berbagi bantal dan kasur dan harus mengatur kipas angin sebagai pengusir nyamuk. Bantal kami di rumah tersebut adalah sandaran sofa, tapi satu yang agak susah yaitu masalah kipas angin. Aku gak suka pakai kipas angin kalau mau tidur sedangkan teman yang lain sangat suka sehingga aku harus cari tempat tidur yang jauh dari kipas. Satu hal yang tak boleh kita tinggalkan kawan, aku ingin kita masih bisa makan bersama dengan beralaskan daun pisang yang dibentangkan panjang. Sungguh itu sangat nikmat.

Mungkin kita tidak akan pernah lagi melihat si Sumriani, Musdalifah ataukah siswa-siswa SMP yang tiap hari lewat depan rumah. Atau mungkin pula kita akan senang karena tak akan lagi bertemu dengan Irwan. Hahahaha. Semoga tak ada Irwan varu saudara. Sekarang kita sudah pindah rumah. Sekarang kita tak lagi berada di rumah peradaban. Aku ingin menyebutnya kampung peradaban. Di sini kita akan mengukir cerita baru, kisah baru dan tentu prestasi baru. 

Selamat tinggal rumah peradaban dan selamat datang di Kampung Peradaban

1 komentar:

selamat pindah rumah ya...
kapan open house nih...
undang-undang dong!

Reply Comment
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...