“Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani” Istilah ini mungkin sudah
sangat melekat di telinga orang Indonesia, apalagi bagi mereka yang telah
pernah atau sedang mengecap pendidikan. Sebuah ungkapan atau bisa saya sebut
sebagai falsafah yang memuat tujuan pendidikan yang seharusnya secara utuh.
Bahwa hakikat dari tujuan pendidikan bukan hanya untuk mencerdaskan dari segi Intelegence Quation (IQ) tetapi juga
dari segi Emotional Quation (EQ) dan Spritual Quation (SQ). Hal tersebut
sebenarnya tertuang dalam ungkapan atau lebih tepatnya ajaran kepemimpinan Ki Hadjar
Dewantara tersebut. Ajaran tersebut mengajarkan dan mengharapkan orang yang
menjadi peserta didik disamping dapat
menjadi suri tauladan atau panutan, juga mampu menjadi motivator, inisiator, serta penggugah
semangat dan pemberi dorongan moral agar masyarakat di sekitarnya merasakan
arti penting dari “Orang Terdidik”
Hal yang sangat ideal dan merupakan cita-cita mulia dari para
pejuang pendidikan di negara ini. Tentunya hal ini juga menjadi cita-cita dari
setiap pemerintah dan masyarakat Indonesia. Sama seperti koin yang memiliki dua
sisi, seperti itu pula masa depan penddikan di Indonesia saat ini. Satu sisi
ada harapan agar cita-cita ideal yang tertuang dalam semboyan Tut Wuri Handayani dapat terwujud dan di
sisi lain ada perasaan skeptis cita-cita
tersebut dapat terwujud melihat semrawut pendidikan di negara ini.
Kemerdekaan Indonesia sejak 66 tahun silam, seharusnya
menjadi momentum bangkitnya nasib pendidikan di Indonesia, bukan seperti
sekarang ini yang justru stagnan. Perubahan kurikulum dari CBSA sampai KTSP
bukanlah menjadi jawaban yang tepat akan persoalan tersebut, salah satu bukti
kongkrit atas ketakpuasan masyarakat terhadap sistem pendidikan saat ini yaitu
lahirnya berbagai sekolah alternatif, sekolah pendidikan pembebasan, bahkan
sekolah gerbong. Ini tentunya juga terkait dengan kualitas tenaga pengajar yang
masih rendah, monoton, dan hanya terpaku pada kemampuan akademik siswa saja,
bahkan lebih dari itu tenaga pengajar kadang hanya terpaku pada kemampuan mathematic siswa, sehingga siswa yang tak tahu matematika
dianggap sebagi siwa yang bodoh.
Banyaknya permalasalahan yang terjadi di negeri ini pada saat
ini disebabkan oleh belum berhasilnya sistem pendidikan dalam membentuk figur
yang ber- Tut Wuri Handayani, figur
yang tak hanya cerdas secara IQ, tetapi
juga secara EQ dan SQ. Sehingga lahirlah seorang koruptor
yang cerdas dalam hal Intelegence Quation
tetapi rendah dalam Emotional Quation
dan Spritual Quation. Hal yang
lebih miris ketika melihat tayangan di televisi pada saat pelaksanaan UN, dalam
tayangan tersebut diberitakan bahwa banyak guru yang memberikan kunci jawaban
ke pada siswanya. Sebuah tindakan yang seharusnya tak dilakukan oleh seorang
pendidik, karena hal itu menandakan kurang yakinnya tenaga pendidik akan kualitas
pendidikan yang mereka ajarkan selama 3 tahun kepada siswanya, selain itu hal
ini juga tentunya akan berimplikasi pada karakter siswa. Karakter peserta didik
akan menjadi seorang yang memiliki mental culas, hal ini mungkin sesuai dengan
istilah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Evaluasi dan Proyeksi atau Euforia Utopis
Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2
Mei selayaknya menjadi hari evaluasi dan proyeksi bagi para penyelenggara
pendidikan. Ketakberhasilan dalam melahirkan figur-figur manusia berpendidikan
dan ber-Tut Wuri Handayani, seharusnya menjadi pukulan telak bagi para
penyelenggara pendidikan untuk memperbaiki diri dan sistemnya. Program-program
perbaikan tenaga pendidik, sistem pendidikan, kurikulum, fasilitas pendidikan
merupakan program yang mesti diutamakan. Hal tersebut sebenarnya telah
dilaksanakan tapi kurang maksimal dan belum sesuai dengan harapan.
Salah satu program yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam
meningkatkan kualitas tenaga pendidik adalah dengan melaksanakan sertifikasi
guru. Program sertifikasi guru ini diharapkan dapat meningkatkan
profesionalisme guru. Program ini sebenarnya berangkat dari tujuan yang mulia,
tetapi karena dibekali oleh mental culas sehingga program ini menjadi hampir
tak ada gunanya. Penulis mengatakan hal tersebut karena berdasarkan fakta
penelitian dan pengalaman secara empirik yang didapat oleh penulis. Sebuah
lembaga penelitian mahasiswa tingkat universitas di Universitas Negeri Makassar
pernah melakukan penelitian tentang perbandingan tingkat profesionalisme guru
yang telah sertifikasi dengan guru yang belum sertifikasi dan hasilnya sangat
mengherankan karena ternyata tak ada perbedaan yang signifikan diantara
keduanya. Hal ini tentunya disebabkan oleh cara untuk mendapatkan sertikasi
tersebut. Penulis yang banyak bergelut dalam dunia organisasi kampus sudah
sering kali mendapati tenaga pendidik atau calon tenaga pendidik yang selalu
meminta sertifikat, baik itu sertifikat seminar, pemateri bahkan lebih parah
lagi ada beberapa tenaga pendidik yang meminta karya tulis ilmiah untuk
dijadikan kelengkapan berkas. Sebuah tindakan yang seharusnya tak dilakukan
oleh seorang tenaga pendidik.
Program lainnya yang telah dilaksanakan cukup lama adalah
Ujian Akhir Nasional, program ini ternyata juga cukup membuktikan kurang
yakinnya tenaga pendidik dengan kualitas pendidikan yang mereka berikan serta
juga menjadi ajang pewarisan sifat culas kepada peserta didik. Hal ini lahir karena perasaan tak yakin dan tak
percaya diri bahwa materi yang mereka ajarkan telah sesuai dengan kurikulum
atau silabus yang telah ditetatapkan secara nasional. Hampir setiap tahun dalam
pelaksanaan UAN selalu ditemukan tenaga pendidik yang memberikan kunci jawaban
kepada siswanya, entah itu melalui SMS, kertas kecil, bahkan ada yang
terang-terangan masuk ke dalam ruangan untuk memberikan kunci jawaban kepada
siswanya secara lisan. Bukankah ini merupakan pola pewarisan sifat secara
alamiah, sebuah pola pewarisan sifat culas dan curang. Jadi, wajarlah ketika
para peserta didik menjadi seorang koruptor, politikus culas, hakim yang berat
sebelah karena mereka telah dididik sejak kecil untuk melakukan hal tersebut
dari orang yang seharusnya menjadi figur bagi mereka.
Sayangnya hal tersebut tak menjadi sebuah evaluasi dan akan
melahirkan proyeksi dalam memperbaiki nasib pendidikan saat ini. Justru menjadi
sebuah pesta euforia yang utopis, tenaga pendidik yang merayakan keberhasilan
semunya ketika mampu menjadi seorang tenaga pendidik yang mendapat tunjangan
sertifikasi dan berhasil menjawab soal-soal UN dengan siswa sebagai media
perantaranya. Siswa yang merayakan kelulusannya, melakukan pawai seraya
mempertontonkan keberhasilannya menjawab soal-soal UN meski bukan hasil
pemikirannya. “Sebuah penggung drama yang sangat konyol.”
Menjadi Figur untuk Melahirkan Figur
Air keruh tidak mungkin berasal dari hulu air yang jernih,
setidaknya prinsip itu yang bisa menjadi patokan berpikir bagi para tenaga
pendidik bahwa mental dan karakter peserta didik ditentukan oleh mereka.
Seorang pendidik mesti menjadi figur yang dapat diteladani oleh peserta didik,
sehingga lahirlah figur-figur masa depan pemegang tongkat estafet perjuangan
bangsa dalam mengisi kemerdekaan.
Semoga ke depannya para pendidik sadar akan perannya dan
sadar akan tanggung jawabnya, bahwa mereka tak hanya berperan dan bertanggung
jawab untuk mengajar tetapi mendidik, yaitu melahirkan manusia-manusia yang
cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual.
0 komentar:
Posting Komentar