Sabtu, 05 Mei 2012

Euforia Utopis di Tengah Generasi Culas (Refleksi Peringatan Hari Pendidikan Nasional)

Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani” Istilah ini mungkin sudah sangat melekat di telinga orang Indonesia, apalagi bagi mereka yang telah pernah atau sedang mengecap pendidikan. Sebuah ungkapan atau bisa saya sebut sebagai falsafah yang memuat tujuan pendidikan yang seharusnya secara utuh. Bahwa hakikat dari tujuan pendidikan bukan hanya untuk mencerdaskan dari segi Intelegence Quation (IQ) tetapi juga dari segi Emotional Quation (EQ) dan Spritual Quation (SQ). Hal tersebut sebenarnya tertuang dalam ungkapan atau lebih tepatnya ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara tersebut. Ajaran tersebut mengajarkan dan mengharapkan orang yang menjadi peserta didik disamping  dapat menjadi suri tauladan atau panutan, juga  mampu menjadi motivator, inisiator, serta penggugah semangat dan pemberi dorongan moral agar masyarakat di sekitarnya merasakan arti penting dari “Orang Terdidik”
.
Hal yang sangat ideal dan merupakan cita-cita mulia dari para pejuang pendidikan di negara ini. Tentunya hal ini juga menjadi cita-cita dari setiap pemerintah dan masyarakat Indonesia. Sama seperti koin yang memiliki dua sisi, seperti itu pula masa depan penddikan di Indonesia saat ini. Satu sisi ada harapan agar cita-cita ideal yang tertuang dalam semboyan Tut Wuri Handayani dapat terwujud dan di sisi lain ada perasaan skeptis cita-cita tersebut dapat terwujud melihat semrawut pendidikan di negara ini.

Kemerdekaan Indonesia sejak 66 tahun silam, seharusnya menjadi momentum bangkitnya nasib pendidikan di Indonesia, bukan seperti sekarang ini yang justru stagnan. Perubahan kurikulum dari CBSA sampai KTSP bukanlah menjadi jawaban yang tepat akan persoalan tersebut, salah satu bukti kongkrit atas ketakpuasan masyarakat terhadap sistem pendidikan saat ini yaitu lahirnya berbagai sekolah alternatif, sekolah pendidikan pembebasan, bahkan sekolah gerbong. Ini tentunya juga terkait dengan kualitas tenaga pengajar yang masih rendah, monoton, dan hanya terpaku pada kemampuan akademik siswa saja, bahkan lebih dari itu tenaga pengajar kadang hanya terpaku pada kemampuan mathematic  siswa, sehingga siswa yang tak tahu matematika dianggap sebagi siwa yang bodoh.
Banyaknya permalasalahan yang terjadi di negeri ini pada saat ini disebabkan oleh belum berhasilnya sistem pendidikan dalam membentuk figur yang ber- Tut Wuri Handayani, figur yang tak hanya cerdas secara IQ, tetapi juga secara EQ dan SQ. Sehingga lahirlah seorang koruptor yang cerdas dalam hal Intelegence Quation tetapi rendah dalam Emotional Quation dan Spritual Quation. Hal yang lebih miris ketika melihat tayangan di televisi pada saat pelaksanaan UN, dalam tayangan tersebut diberitakan bahwa banyak guru yang memberikan kunci jawaban ke pada siswanya. Sebuah tindakan yang seharusnya tak dilakukan oleh seorang pendidik, karena hal itu menandakan kurang yakinnya tenaga pendidik akan kualitas pendidikan yang mereka ajarkan selama 3 tahun kepada siswanya, selain itu hal ini juga tentunya akan berimplikasi pada karakter siswa. Karakter peserta didik akan menjadi seorang yang memiliki mental culas, hal ini mungkin sesuai dengan istilah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Evaluasi dan Proyeksi atau Euforia Utopis
Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei selayaknya menjadi hari evaluasi dan proyeksi bagi para penyelenggara pendidikan. Ketakberhasilan dalam melahirkan figur-figur manusia berpendidikan dan  ber-Tut Wuri Handayani, seharusnya menjadi pukulan telak bagi para penyelenggara pendidikan untuk memperbaiki diri dan sistemnya. Program-program perbaikan tenaga pendidik, sistem pendidikan, kurikulum, fasilitas pendidikan merupakan program yang mesti diutamakan. Hal tersebut sebenarnya telah dilaksanakan tapi kurang maksimal dan belum sesuai dengan harapan.
Salah satu program yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas tenaga pendidik adalah dengan melaksanakan sertifikasi guru. Program sertifikasi guru ini diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme guru. Program ini sebenarnya berangkat dari tujuan yang mulia, tetapi karena dibekali oleh mental culas sehingga program ini menjadi hampir tak ada gunanya. Penulis mengatakan hal tersebut karena berdasarkan fakta penelitian dan pengalaman secara empirik yang didapat oleh penulis. Sebuah lembaga penelitian mahasiswa tingkat universitas di Universitas Negeri Makassar pernah melakukan penelitian tentang perbandingan tingkat profesionalisme guru yang telah sertifikasi dengan guru yang belum sertifikasi dan hasilnya sangat mengherankan karena ternyata tak ada perbedaan yang signifikan diantara keduanya. Hal ini tentunya disebabkan oleh cara untuk mendapatkan sertikasi tersebut. Penulis yang banyak bergelut dalam dunia organisasi kampus sudah sering kali mendapati tenaga pendidik atau calon tenaga pendidik yang selalu meminta sertifikat, baik itu sertifikat seminar, pemateri bahkan lebih parah lagi ada beberapa tenaga pendidik yang meminta karya tulis ilmiah untuk dijadikan kelengkapan berkas. Sebuah tindakan yang seharusnya tak dilakukan oleh seorang tenaga pendidik.
Program lainnya yang telah dilaksanakan cukup lama adalah Ujian Akhir Nasional, program ini ternyata juga cukup membuktikan kurang yakinnya tenaga pendidik dengan kualitas pendidikan yang mereka berikan serta juga menjadi ajang pewarisan sifat culas kepada peserta didik. Hal ini  lahir karena perasaan tak yakin dan tak percaya diri bahwa materi yang mereka ajarkan telah sesuai dengan kurikulum atau silabus yang telah ditetatapkan secara nasional. Hampir setiap tahun dalam pelaksanaan UAN selalu ditemukan tenaga pendidik yang memberikan kunci jawaban kepada siswanya, entah itu melalui SMS, kertas kecil, bahkan ada yang terang-terangan masuk ke dalam ruangan untuk memberikan kunci jawaban kepada siswanya secara lisan. Bukankah ini merupakan pola pewarisan sifat secara alamiah, sebuah pola pewarisan sifat culas dan curang. Jadi, wajarlah ketika para peserta didik menjadi seorang koruptor, politikus culas, hakim yang berat sebelah karena mereka telah dididik sejak kecil untuk melakukan hal tersebut dari orang yang seharusnya menjadi figur bagi mereka.
Sayangnya hal tersebut tak menjadi sebuah evaluasi dan akan melahirkan proyeksi dalam memperbaiki nasib pendidikan saat ini. Justru menjadi sebuah pesta euforia yang utopis, tenaga pendidik yang merayakan keberhasilan semunya ketika mampu menjadi seorang tenaga pendidik yang mendapat tunjangan sertifikasi dan berhasil menjawab soal-soal UN dengan siswa sebagai media perantaranya. Siswa yang merayakan kelulusannya, melakukan pawai seraya mempertontonkan keberhasilannya menjawab soal-soal UN meski bukan hasil pemikirannya. “Sebuah penggung drama yang sangat konyol.”
Menjadi Figur untuk Melahirkan Figur
Air keruh tidak mungkin berasal dari hulu air yang jernih, setidaknya prinsip itu yang bisa menjadi patokan berpikir bagi para tenaga pendidik bahwa mental dan karakter peserta didik ditentukan oleh mereka. Seorang pendidik mesti menjadi figur yang dapat diteladani oleh peserta didik, sehingga lahirlah figur-figur masa depan pemegang tongkat estafet perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan.
Semoga ke depannya para pendidik sadar akan perannya dan sadar akan tanggung jawabnya, bahwa mereka tak hanya berperan dan bertanggung jawab untuk mengajar tetapi mendidik, yaitu melahirkan manusia-manusia yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual.

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...