Sabtu, 05 Mei 2012

Kebijakan Kontra Rakyat di Negara yang Pseoudo Independence


Kemerdekaan yang Pseudo
Membincang tentang Indonesia, maka akan membincang tentang panggung drama yang bak sebuah cerita sinetron yang tak ada putusnya. Sebuah drama kehidupan yang terjadi bagai sebuah siklus panjang yang terus berulang. Korupsi, rasis, terorisme, bahkan kejadian seperti banjir, pencurian, pemerkosaan maupun pelecehan seksual menjadi perbincangan sehari-hari di media-media massa dan layaknya sudah menjadi menu wajib yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Para pemimpin yang dengan mudah mengeluarkan kebijakan tanpa pernah memikirkan efek dari kebijakan tersebut, bawahan yang mengatasnamakan dirinya rakyat yang dengan mudah memprotes setiap kebijakan dari pemerintah yang seolah tak ada kebijakan yang benar, bahkan sangat miris rasanya melihat insan terdidik (red: Mahasiswa) yang mengaku sebagi agent of change, social control, and stock holder yang tahunya hanya memprotes tanpa pernah ada solusi. Apakah memang sudah tak ada sinergitas? Aku lantas teringat pada sebuah kalimat bijak dari Emha Ainun Najib “ Ketika negara sudah tak mampu lagi mengakomodir kepentingan rakayatnya, maka sudah sepatutnya negara itu dibubarkan”. Apakah ini yang mereka cari? Kalau itu yang mereka cari, maka aku yang akan menjadi orang pertama yang kontra terhadap mereka. Karena memaknai negara, memaknai bangsa dan memaknai Indonesia bukan dengan cara memaknai kata I-N-D-O-N-E-S-I-A.

Memaknai Indonesia bukanlah sekadar memaknai bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Marauke, sebuah pemahaman literal ala anak ingusan. Memaknai Indonesia adalah memaknai nasioanalisme, sebuah kata yang sudah sering terdengar di telinga masyarakat Indonesia. Nasionalisme bukanlah sebuah kata yang dangkal akan makna, nasionalisme yang hakiki bukanlah sebuah nasionalisme simbolik. Nasionalisme yang hanya bersifat simbolik; bendera, lagu kebangsaan, burung garuda dan keindahan alam dan budaya Indonesia yang seolah hanya menjadi sebuah melodi pengantar tidur. Memaknai Indonesia saja hanya dari satu perspektif akan memerlukan berbagi disiplin ilmu dan akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendiskusikannya. Memaknai tentang kemerdekaan Indonesia tak hanya cukup dengan mengetahui 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan Indonesia, dan tak hanya cukup dengan mengetahui bahwa Ir. Soekarno dan Moh. Hatta adalah proklamator kemerdekaan Indonesia. Memaknai kemerdekaan Indonesia adalah memaknai tentang berapa besar pengaruh proklamasi kemerdekaan Indonesia terhadap nasib rakyat Indonesia, kebijakan-kebijakan yang lahir pasca kemerdekaan pro terhadap rakyat ataukah sebaliknya, apa yang menjadi harapan sebenarnya oleh rakyat Indonesia pasca kemerdekaan yang ditandai dengan proklamasi tersebut.

Saya teringat ketika saya masih duduk di sekolah dasar dan mendengarkan cerita-cerita heroik tentang Indonesia, mereka bercerita tentang kehebatan sejarah Indonesia, tentang kekayaan alamnya, tentang luas daerahnya, tentang sumber daya alamnya, dan semua cerita ”Peng-aguman” lainnya. Ketika saya beranjak dewasa dan beranjak dari pemikiran literal atau lebih tepatnya dapat saya katakan sebagai pemikiran “terdikte” menjadi pemikiran kritis, saya mulai tersadar dan mulai mencari dimana realita dari cerita-cerita yang saya dengar dulu. Apakah cerita-cerita tersebut hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur? Mereka dulu mengatakan bahwa Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan saya “aminkan” hal tersebut. Apakah ini yang mereka katakan sebagai merdeka, Ya, saya tahu sejarah memang mencatatkan bahwa kita telah merdeka 66 tahun silam, tapi apakah kita telah merasakan dampak darai kemerdekaan tersebut? Saya lantas berpikir apakah sebuah negara layak dikatakan sebagai negara yang merdeka ketika masih banyak rakyatnya yang tidak mengenyam pendidikan, masih banyak rakyatnya yang tinggal di kolom jembatan, masih banyak rakyatnya  yang sehari makan sehari puasa, dan masih banyak rakyatnya yang harus mencuri sekaleng susu untuk menghidupi anaknya. Saya pun menyimpulkan bahwa Indonesia telah berada pada kemerdekaan yang pseudo (palsu).

Kebijakan Lucu bin Miris

Hal yang lebih lucu dan lebih miris dari hal tersebut adalah ditengah kondisi dan realitas sosial tersebut, justru pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tak ayalnya tak ingin mengubah dan tak peduli dengan kondisi yang dialami rakyat tersebut. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan justru makin mencekik nasib rakyat dan makin melonggarkan ikat pinggang dan mengempukkan kursi sang penguasa. Contoh paling nyata yaitu pembangunan gedung wakil rakyat yang memakan biaya berkisar Rp1.162.202.186.793 (Rp1,162 triliun). Biaya tersebut belum termasuk anggaran fasilitas pendukung misalnya Perlengkapan IT, Security System dan Furniture/mebelair, penerapan UU perguruan tinggi yang tentunya mengarah pada komersialisasi pendidikan, dan yang paling terbaru adalah fenomena akan dinaikkannya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) serta pembatasan penjualan BBM.

Hal tersebut menjadi sangat ironi melihat bahwa Indonesia adalah salah satu anggota OPEC, jadi mengapa sebuah negara penghasil minyak harga minyaknya justru dikontrol oleh negara konsumen minyak (red: Amerika dan konco-konconya). Padahal jika melihat harga minyak di negara angota-anggota OPEC lainnya, ada setidaknya sepuluh negara yang memasang harga minyaknya dibawah harga minyak di Indonesia saat ini, diantaranya Uni Emirat Arab ($ 0,37 atau Rp 4.300 per liter), Bahrain ($ 0,27 atau Rp 3.159 per liter), Qatar ($ 0,22 atau Rp 2.575 per liter), Kuwait ($ 0,21 atau Rp 2.457 per liter), Libya ($ 0,14 atau Rp 1.636 per liter), Arab Saudi ($ 0,12 atau Rp 1.404 per liter), Iran ($ 0,11 atau Rp.1.287 per liter), Nigeria ($ 0,10 atau Rp 1.170 per liter), Turkmenistan ($ 0,08 atau Rp 936 per liter), Venezuela ($ 0,05 atau Rp 585 per liter) [1]. Hal lain yang mebuat ironi adalah fakta di lapangan yang membuktikan bahwa tak ada alas an untuk menaikkan harga minyak di Indonesia, yaitu di sektor BBM (perdagangan Migas) APBN Indonesia Surplus Rp. 97,955 [2].

Tak hanya itu pemerintah juga pernah membuat sebuah kebijakan aneh dalam dunia pendidikan yaitu penerapan Badan Hukum Pendidikan yang merunut pada Peraturan Pemerintah nomor 66 (PP 66) yang justru tak sinkron dengan Undang-undang Dasar tentang BUMN yang melarang badan usaha milik negara untuk mengelola dapur keuangannya sendiri. Padahal jika secara struktural kebijakan, Undang-undang Dasar lebih tinggi jika dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah. 

Hal ini tentunya menyadarkan kita akan permasalahan-permasalahan yang terjadi di Indonesia,  negara yang menyatakan kedaulatannya dan  kemerdekaannya 66 tahun silam. Semoga pemerintah nantinya tersadarkan apa yang diinginkan rakyat Indonesia dan rakyatpun tersadar akan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkedok malaikat yang nantinya akan melilit leher mereka. Semoga Indonesia bisa menjadi negara yang berdaulat seutuhnya dan merdeka secara keseluruhan.

Catatan Kaki:
[1] Penulis mengambil data dari tulisan yang ditulis oleh Thamzil Thahir yang dipublikasikan di Tribun Timur.com pada tanggal 22 Maret 2012
[2] Penulis mengambil data dari tulisan yang dipublikasikan oleh Uniqpost pada tanggal 29 Maret 2012.

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...