Kemerdekaan
yang Pseudo

Memaknai
Indonesia bukanlah sekadar memaknai bahwa Indonesia adalah negara kepulauan
yang terbentang dari Sabang sampai Marauke, sebuah pemahaman literal ala anak
ingusan. Memaknai Indonesia adalah memaknai nasioanalisme, sebuah kata yang
sudah sering terdengar di telinga masyarakat Indonesia. Nasionalisme bukanlah
sebuah kata yang dangkal akan makna, nasionalisme yang hakiki bukanlah sebuah
nasionalisme simbolik. Nasionalisme yang hanya bersifat simbolik; bendera, lagu
kebangsaan, burung garuda dan keindahan alam dan budaya Indonesia yang seolah
hanya menjadi sebuah melodi pengantar tidur. Memaknai Indonesia saja hanya dari
satu perspektif akan memerlukan berbagi disiplin ilmu dan akan membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk mendiskusikannya. Memaknai tentang kemerdekaan
Indonesia tak hanya cukup dengan mengetahui 17 Agustus 1945 adalah hari
kemerdekaan Indonesia, dan tak hanya cukup dengan mengetahui bahwa Ir. Soekarno
dan Moh. Hatta adalah proklamator kemerdekaan Indonesia. Memaknai kemerdekaan
Indonesia adalah memaknai tentang berapa besar pengaruh proklamasi kemerdekaan
Indonesia terhadap nasib rakyat Indonesia, kebijakan-kebijakan yang lahir pasca
kemerdekaan pro terhadap rakyat ataukah sebaliknya, apa yang menjadi harapan
sebenarnya oleh rakyat Indonesia pasca kemerdekaan yang ditandai dengan
proklamasi tersebut.
Saya
teringat ketika saya masih duduk di sekolah dasar dan mendengarkan
cerita-cerita heroik tentang Indonesia, mereka bercerita tentang kehebatan
sejarah Indonesia, tentang kekayaan alamnya, tentang luas daerahnya, tentang
sumber daya alamnya, dan semua cerita ”Peng-aguman” lainnya. Ketika saya
beranjak dewasa dan beranjak dari pemikiran literal atau lebih tepatnya dapat
saya katakan sebagai pemikiran “terdikte” menjadi pemikiran kritis, saya mulai
tersadar dan mulai mencari dimana realita dari cerita-cerita yang saya dengar
dulu. Apakah cerita-cerita tersebut hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur?
Mereka dulu mengatakan bahwa Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan saya
“aminkan” hal tersebut. Apakah ini yang mereka katakan sebagai merdeka, Ya,
saya tahu sejarah memang mencatatkan bahwa kita telah merdeka 66 tahun silam,
tapi apakah kita telah merasakan dampak darai kemerdekaan tersebut? Saya lantas
berpikir apakah sebuah negara layak dikatakan sebagai negara yang merdeka
ketika masih banyak rakyatnya yang tidak mengenyam pendidikan, masih banyak
rakyatnya yang tinggal di kolom jembatan, masih banyak rakyatnya yang sehari makan sehari puasa, dan masih
banyak rakyatnya yang harus mencuri sekaleng susu untuk menghidupi anaknya.
Saya pun menyimpulkan bahwa Indonesia telah berada pada kemerdekaan yang pseudo (palsu).
Kebijakan
Lucu bin Miris
Hal
yang lebih lucu dan lebih miris dari hal tersebut adalah ditengah kondisi dan
realitas sosial tersebut, justru pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang tak ayalnya tak ingin mengubah dan tak peduli dengan kondisi yang dialami
rakyat tersebut. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan justru makin mencekik
nasib rakyat dan makin melonggarkan ikat pinggang dan mengempukkan kursi sang
penguasa. Contoh paling nyata yaitu pembangunan gedung wakil rakyat yang
memakan biaya berkisar Rp1.162.202.186.793 (Rp1,162 triliun). Biaya tersebut
belum termasuk anggaran fasilitas pendukung misalnya Perlengkapan IT, Security System dan Furniture/mebelair, penerapan UU perguruan tinggi yang tentunya
mengarah pada komersialisasi pendidikan, dan yang paling terbaru adalah fenomena
akan dinaikkannya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) serta pembatasan penjualan
BBM.
Hal
tersebut menjadi sangat ironi melihat bahwa Indonesia adalah salah satu anggota
OPEC, jadi mengapa sebuah negara penghasil minyak harga minyaknya justru
dikontrol oleh negara konsumen minyak (red: Amerika dan konco-konconya). Padahal
jika melihat harga minyak di negara angota-anggota OPEC lainnya, ada setidaknya
sepuluh negara yang memasang harga minyaknya dibawah harga minyak di Indonesia
saat ini, diantaranya Uni Emirat Arab ($ 0,37 atau Rp 4.300 per liter), Bahrain
($ 0,27 atau Rp 3.159 per liter), Qatar ($ 0,22 atau Rp 2.575 per liter),
Kuwait ($ 0,21 atau Rp 2.457 per liter), Libya ($ 0,14 atau Rp 1.636 per liter),
Arab Saudi ($ 0,12 atau Rp 1.404 per liter), Iran ($ 0,11 atau Rp.1.287 per
liter), Nigeria ($ 0,10 atau Rp 1.170 per liter), Turkmenistan ($ 0,08 atau Rp 936
per liter), Venezuela ($ 0,05 atau Rp 585 per liter) [1]. Hal lain yang mebuat
ironi adalah fakta di lapangan yang membuktikan bahwa tak ada alas an untuk
menaikkan harga minyak di Indonesia, yaitu di sektor BBM (perdagangan Migas)
APBN Indonesia Surplus Rp. 97,955 [2].
Tak
hanya itu pemerintah juga pernah membuat sebuah kebijakan aneh dalam dunia
pendidikan yaitu penerapan Badan Hukum Pendidikan yang merunut pada Peraturan
Pemerintah nomor 66 (PP 66) yang justru tak sinkron dengan Undang-undang Dasar tentang
BUMN yang melarang badan usaha milik negara untuk mengelola dapur keuangannya
sendiri. Padahal jika secara struktural kebijakan, Undang-undang Dasar lebih
tinggi jika dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah.
Hal
ini tentunya menyadarkan kita akan permasalahan-permasalahan yang terjadi di
Indonesia, negara yang menyatakan
kedaulatannya dan kemerdekaannya 66
tahun silam. Semoga pemerintah nantinya tersadarkan apa yang diinginkan rakyat
Indonesia dan rakyatpun tersadar akan kebijakan-kebijakan pemerintah yang
berkedok malaikat yang nantinya akan melilit leher mereka. Semoga Indonesia
bisa menjadi negara yang berdaulat seutuhnya dan merdeka secara keseluruhan.
Catatan Kaki:
[1] Penulis mengambil data dari tulisan
yang ditulis oleh Thamzil Thahir yang dipublikasikan di Tribun Timur.com pada
tanggal 22 Maret 2012
[2] Penulis mengambil data dari tulisan
yang dipublikasikan oleh Uniqpost pada tanggal 29 Maret 2012.
0 komentar:
Posting Komentar