Minggu, 20 Mei 2012

Senja, Keluarga, dan Andromeda (Awal cerita)

Aku akan melanjutkan cerita yang sempat terhenti. Pertama sampai di sebuah dermag nan elok. Pulau itu membentang memanjang dari utara ke selatan, bermaksud menginjakkan kaki karena berharap telah sampai tiba-tiba kapal kembali bergerak. Ah, ternyata itu bukanlah pulau yang kami ingin tuju. Katanya sih, pulau tersebut adalah pulaunya para petani tambak. 

Aku pun bertanya kepada seorang bocah yang berbaring di tumpukan makanan di ats kapal, dan katanya pulau yang di sebelah utara tak jauh dari pulau pertama yang dituju. Sampai di pulau tersebut seperti para pelancong biasanya kami pun mengabadikan gambar di pulau yang kental sekali akan nuansa sejarah dan keislamannya itu. Setelah puas mengabadikan gambar, kami bergegas menuju rumah keluarga yang ada di pulau itu dengan mengikuti seorang penduduk asli yang mau menolong kami. Sampai di rumah yang ingin kami tuju. Wah pintu tertutup, jangan-jangan ia keluar, kataku dalam hati. Tapi aku tak boleh membuat mereka khawatir, jadi aku mencoba mengetuk pintu dan memberi salam. tak begitu lama terdengarlah suara "Niga?" Iye, iya wahyu pole ko Jennae, Jawabku. Oh, Anakna Haji Rafi, jawabnya dengan tiba-tiba. Aku heran, kok ia bisa tahu secepat itu, tapi aku tak mau mempermasalahkan itu, toh itu jauh lebih bagus daripada harus lama memperkenalkan diri.

Setelah perkenalan singkat itu, kami dipersilahkan masuk ke dalam rumah yang lumayan besar itu. Setelah agak lama mengobrol  kami meminta izin untuk mengambil air wudhu, yah waktu itu sudah hampir Ashar padahal kami belum shalat dhuhur. Setelah shalat kami melanjutkan mengobrol, bercerita tentang perkembangan pulau yang sudah 13 tahun tak ku kunjungi. Ternyata banyak perubahan selama 13 tahun, rumah-rumah yang dulunya masih tak sebanyak itu, mesjid yang belum seelok itu, sekolah yang sudah cantik dan lain-lain. Tapi satu yang tak berubah adalah keramahan penduduk. Yah, Pulau Salemo, pulau penghafal Qur'an, pulau dengan keramahan penduduk, dan pulau keluarga tak berujung.

obrolan yang diselingi canda tersebut dan ditemani dengan secangkir teh hangat begitu mengakrabkan kami. kami seakan bagai anak dan ibu yang baru bertemu selama bertahun-tahun. Lama bercerita, kami memutuskan untuk ke dermaga depan rumah, memandangi indahnya laut. Di sebelah selatan dermaga tampaklah dua orang bocah yang dengan ceria mendayung sampannya dan menebar bubunya ke laut. Terlihat di sudut yang lain seorang lelaki setengah baya dengan ekspresi berbeda lari menju galangan kapal danberteriak ke arah ke dua bocah tersebut "We Reweko!!!!" , dari ekspresinya saya dapat menebak kalau orang tua itu adalah ayah dari bocah tersebut yang sedang mengkhawatirkan jangan samapai bocah tersebut tenggelam di laut. Ke dua bocah tersebut terus saja melanjutkan menebar bubu nya, seakan tak memperdulikan teriakan lelaki setangah baya tersebut. Hingga kahirnya sampan itu tiba di ujung selatan pulau, mereka secara bersamaan melompat dan berenang tanpa sehelai kainpun melekat di badan mereka. Di ujung pulau tersebut telah berdiri seorang bocah dengan celana bokser hijau, dan tiba-tiba melompat dan berenang menuju sampan. Seperti layaknya maraton, kini sampan itu dikendalikan oleh bocah kecil tersebut. 

Setelah merasa tak ada objek yang menarik lagi, sayapun beranjak ke rumah untuk skadar meluruskan badan. Ternyata di ruang tamu telah terjamu makanan dengan ikan paforit saya sewaktu kecil, ikan bete-bete. Tanpa  a-i-u setelah kami dipersilahkan, kami pun menikmati masakan yang dihidangkan dengan lahapnya. Setelah kenyang saya bermaksud untuk berjalalan-jalan keliling pulau, yang lain pun tak tinggal diam, mereka bermaksud ke rumah-rumah warga untuk observasi, saya membiarkan mereka jalan duluan.

Setelah merasa ini adalah waktu yang tepat, saya pun melangkahkan kakiku keluar rumah. arah yang saya tuju pertama adalah lapangan sepak bola. Sampai di lapangan tersebut, lapangan tersebut telah ramai oleh orang desa yang hendak melepaskan kejenuhan setelah semalaman bekerja mencari nafkah. Aku tak begitu tertarik untuk menonton, aku lebih memilih bernaung di satu-satunya pohon kelapa yang ada di pulau tersebut. Dengan sok akrab saya pun mencoba memulai pembicaraan dengan bertanya ke salah seorang lelaki yang juga sedang duduk sambil menyaksikan sepak bola pulau tersebut. "Pak, rumahnya Abbase ke gairo?" tanyaku. Oh, Agaro engka tau tudan-tudang, jawabnya sambil menunjuk salah satu rumah di antara rumah-rumah yang berjejer. Dengan langkah yang pasti saya bergegas ke rumah tersebut. Singkat cerita kau berkenalan dengan orang tua setengah baya dengan memperkanalkan asal daerah dan nama orang tua, namaya juga sepupu satu kali pastilah ia masih ingat. iko paeng,,, katanya sambil mempersilahkan saya duduk di sebelahnya. Saya pun berkenalan dengan anak-anaknya yang notabene adalah sepupu dua kali saya. Tak lama berselang keluarlah teh hangat dan cemilan, aku menyambutnya dengan penuh semangat. kebetulan saat itu aku sedang haus setelah berkeliling pulau.

Lama bercerita, senjapun menjelang. Aku harus pamit, dengan menggunakan jalan yang memang seharusnya saya jalani, saya pun kembali dengan berlari-lari kecil. Berharap masih mendapati senja, siluet, jingga dan sunset di dermaga. Wah, hampir aku ketinggalan indahnya senja di pelabuhan kecil. Lansung saja saya mengambil posisi yang saya anggap bagus untuk berfose, "klik" gambar pun kini ada dalam kamera. Tak cukup dua kali kutip mataharipun tenggelam di celah-celah pulau dan hilang dalam lautan lepas.

Puas memandang lembayung, memandang jingga dan mendang indahnya senja kamipun beranjak kembali ke rumah. Shlat adalah hal pertma yang kami kerjakan, meskipun hati sudah tertarik sekali untuk menikmati makanan yang sudh tersaji dengan indahnya. Setelah shalat barulah kami melahap masakan tersebut. Singkat cerita kami pun kembali ke dermaga, aku kembali dengan hoby baruku "Memandangi Bintang". Entah sejak kapan hoby itu ada, tapi aku sih merasa aku suka bintang sejak mengenal dia yang kusebut Andromeda. Aku akan menceritakan siapa Andromeda dalam edisi yang lain. Aku memandangi sebuah bintang yang kelihatannya sangat indah sambil menelpon orang yan membuatku menyukai bintang. Aku memulai percakapan dengan bertanya ***, coba kamu tengok langit deh, ada mars elok banget. Katanya itu bukan mars tapi venus, yah aku mengalah saja aku kan memang baru suka sama bintang. Lama berbincang sinyalpun hilang, tak apalah yang penting  aku sudah melihat Venus dan berbincang dengan Andromeda.

Kami kembali berjalan menuju dermaga satu, dermaga ini agak berbeda dengan dermaga yang tadi yang kelihatan sunyi. Dermaga ini terlihat lebih ramai. Seperti kebiasaan saya "Sok Kenal" saya mencoba bercakap dengan salah seorang penduduk asli pulau itu, setelah lama bercakap dan melakukan penelusuran silsilah keluarga ternyata ia adalah keluarga saya juga, dan ternyata saya punya sekitar sepuluan sepupu di pulau tersebut.

Hal yang tak boleh ketinggalan adalah wawancara, sambil menulusuri silsilah keluarga saya juga melakukan wawancara. Sehingga aku dapat mengetahui bahwa penghasilan selama beberapa tahun terakhir masyarakat di pulau tersebut mengalami penurunan yang sangat drastis. Hasil lau seperti kepiting, udang, ikan tenggiri dan hasil laut lainnya menurun secara drastis. Setelah lama berdiskusi, akhirnya pembicaraan kami harus dihentikan karena lampu di pulau itu harus padam pada pukul 23.00. Tapi hal tersebut tak akan terjadi 2 tahun ke depan, setelah panel surya difungsikan tentunya.

Kami pun tiba di rumah, dan empat orang teman saya telah tertidur. tinggal saya bersama salah seorang temanku yang masih tersadar. Mereka berempat pulang duluan saat di dermaga. Karena harus berangkat pagi-pagi besoknya sayapu pergi untuk tidur.

Sekadar menuliskan sebuah cerita yang merupakan bagian dari hidup saya, tanda *** sengaja tak kusebut. Biarlah waktu yang menjawab siapa yang saya maksud Andromeda.


2 komentar:

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

aku senang baca cerita anda,.terutama tentang andromeda,.bahasanya menarik :D

Reply Comment
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...