Minggu, 20 Mei 2012

Perjalanan di Kampung Sendiri

Siang itu begitu terik, mentari seakan memanggang setiap inchi kulitku, peluh mengalir dari setiap pori-pori di tubuhku. Menyusuri tengah ular hitam raksasa yang membentang dari ujung selatan sulawesi hingga ujung utara sulawesi, tepatnya mungkin di daerah tiga dimensi Pangkep. Siang itu enam bocah penjelajah yang tak satupun berasal dari daerah yang sama mencoba menaklukkan teriknya siang, eloknya gelombang, dan hijaunya mangrove daerah Pangkep. 

Cerita berawal dengan tibanya saya di rumah teman lama saya, sampai di rumah tersebut saya lansung bertemu dengan dia yang kebetulan saat itu sedang tak berangkat kerja, yah kan pada saat itu sedang hari libur. Aku sedikit kaget melihat kondisi teman saya yang dulunya punya badan kekar dan berotot kini tak ubahnya seperti seorang bocah yang kekurangan gizi, kurus, dan pucat. Ternyata ia baru saja sembuh dari sakitnya selama lebih dari sebulan. Aku dan yang lain tak lama disana menuai nostalgia lama yang mungkin sudah terkubur, kami hanya singgah untuk minta izin titip motor dan helm. Yah saat itu kami memang bermaksud untuk menyeberang ke sebuah pulau dan tak mungkin kan kami menggunakan sepeda motor untuk menyeberang.

Setelah agak lama menunggu dan bercerita dengan seorang lelaki pulau yang usut punya usut ternyata adalah keluarga saya sendiri, kami pun berangkat ke Pulau dengan menggunakan kapal penumpang. Jangan berpikir kalau kapal yang kami tumpangi adalah kapal besar seperti yang ada di pelabuhan-pelabuhan besar, yah panjangnya mungkin hanya sekitar 7 meter dengan lebar 2-3 meter. Kami tak masuk ke dalam kapal saat itu, saya lebih memilih duduk di atas atap kapal sambil sesakali mengusap peluh yang mengalir dan meandangi setiap sudut di sungai yang penuh dengan mangrove tersebut. Terhenyak sebentar kemudia tersadar kembali, betapa indahnya Indonesia, betapa kayanya negeriku, tapi mengapa di sudut sana masih ada orang tua yang memungut nasi basi hanya untuk bertahan hidup. Ah aku mungkin tak pantas berkata begitu, toh aku tak pernah  juga membantu mereka. Ini bukan apatis tapi hanya memantaskan diri saja.

Sudut yang tak terduga, hal yang tak sempat terpikir muncul seketika di hadapanku, Rumah Rompong? Selama ini aku tak pernah menyangka bahwa ternyata di daerah saya ternyata ada juga orang yang mau tinggal di atas rumah-rumah kecil layaknya rumah orang Bajo, tapi bedanya rumah mereka punya tiang. Beratap rumbia dengan dinding anyaman bambu, pasti sejuk sekali jika berteduh di tempat itu. Elok juga yah, mungkin jika mereka ingin makan, mungkin mereka tinggal mengambil ikan peliharaan yang hidup di keramba-keramba yang sengaja mereka simpan di samping rumah mereka. Tak jauh dari rumah itu tampaklah pria yang berbaring diatas salah satu ranting pohon bakau sambil melemparkan pancingnya ke arah tengah sungai. Mungkin kami dianggap aneh karena duduk diatap kapal sehingga ia pun melambaikan tangannya dan tersenyum renyah ke arah kami. Saya membalasnya dengan lambaian tangan pula, tanda menerima keramahannya.

Bangau dan burung-burung kecil bersiul-siul ceria bersama dengan deru kapal menembus tenangnya sungai limbangeng saat itu. deretan rumah-rumah sederhana terhias rapi di tepian sungai. Tapi ada hal yang agak menimbulkan pertanyaan di benakku. Kenapa ada antena TV di rumah tersebut padahal tak ada listrik, apa mereka menggunakan genset? Hal yang paling menimbulkan pertanyaan adalah mengapa anak-anak, orang tua, dan gadis-gadis tersebut memandangi kami layaknya seorang idola, apakah penampilan kami cukup aneh, ataukah baru kali ini mereka melihat ada orang yang berpanas-panasan duduk di atap kapal? yah entahlah? toh itu juga tak penting bagiku untuk saya pikirkan.

Kurang lebih 25 menit mengarungi sungai, akhirnya kami sampai di muara, patok bambu yang sampai sekarang aku tak tahu fungsinya menyambut mata kami. Lepas dulu dari pemandangan yang cukup absurd, saya mencoba melepaskan pandangan jauh ke depan. Lima buah pulau terlihat dengan sangat jelas, sambung menyambung bagai sebuah daratan yang terpisah fatamorgana. Lelah mengagumi indahnya dari kejauhan saya pun berganti mengamati debur ombak di buritan, indah juga yah kataku. Sementara aku menikmati indahnya setiap sudut dunia, teman yang lain pun sibuk mengusap peluh di keningnya. Yah sudahlah, tak lama juga kok, tinggal 20 menit. Sebenarnya aku berharap saya bisa melihat lumba-lumab atau ikan terbang, tapi tak ada tanda-tanda bahkan indikasi adanya hal tersebut. Bersambung

Saya masih mau bercerita, tapi harus kutunda dulu. Aku mau sarapan dulu,,,, Lapar!!!!

Cerita ini adalah cerita tuk mengingatkan kita saudara nantinya ketika kita beranjak dan pergi.

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...